Ulasan Buku Vedi Hadiz: Islamic Populism in Indonesia and the Middle East

Dalam buku terbarunya, Islamic Populism in Indonesia and the Middle East,1 Vedi Hadiz mencoba melihat sebuah trend politik global dari populisme yang kini menjadi tantangan pada berbagai negeri. Hadiz yang kini menjadi Profesor Studi Asia di Universitas Melbourne menawarkan apa yang ia sebut sebagai pendekatan baru dalam mempelajari perpolitikan Islam. Ia mencoba melihat kecenderungan jangka panjang gerakan Islam dari kacamata sosiologi historis dan politik ekonomi, dengan pendekatan komparatif di beberapa negeri berpenduduk mayoritas Muslim: Indonesia, Mesir dan Turki.

Tak diragukan bahwa buku ini membawa pendekatan baru, terutama dalam konteks studi politik dan budaya muslim di Indonesia yang didominasi pengaruh cultural studies yang dipelopori oleh Clifford Geertz dengan istilah santri, priyayi dan abangan. Atau bahkan lebih jauh lagi dengan masa kejayaan Orientalisme di mana Snouck Hurgronje, penasihat kebijakan kolonial Hindia Belanda, adalah salah satu pelopornya.

Buku ini merupakan riset Hadiz beberapa tahun sebelumnya, sehingga cukup update dari sisi pendekatan komparasi dengan dua negara lainnya. Lagian, buku ini terbit di saat yang “tepat”, dalam konteks Indonesia, terkait dengan gelombang gerakan kaum Muslimin yang bereaksi terhadap kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki T. Purnama, calon gubernur pentahana DKI Jakarta.

Beberapa Poin Rangkuman

Dengan sembilan bab sepanjang total hampir 190 halaman, bangunan argumentasi Hadiz memberikan konteks kesejarahan, dalam beberapa hal mengulas genealogi, melakukan komparasi perkembangan gerakan Muslim di ketiga negeri, dan menyoroti lebih dalam pada beberapa titik kelok dari populisme Muslim. Kombinasi analisis sosiologi historis dan ekonomi politik merajut berbagai pengetahuan sebelumnya dapat bermanfaat untuk mereka yang relatif awam mengenai gerakan Islam politik, terutama di Indonesia.

Hadiz juga menyadari bahwa populisme sebagai sebuah fenomena politik yang sulit didefinisikan. Studi yang mulai dipopulerkan oleh Ionescu dan Gellner, dan kemudian Canovan diulas cukup baik untuk kemudian disandingkan dalam berbagai studi yang lebih kekinian seperti yang dibawa Laclau. Meski banyak mengamini Laclau yang lebih menekankan rantai ekuivalensi tuntutan-tuntutan yang berasal dari berbagai kelompok masyarakat sebagai pembentuk gerakan populis,2 Hadiz lebih menegaskan kemunculan gerakan populis sebagai produk perjuangan/pertarungan kontemporer atas kekuasaan dan sumber daya material sekaligus sebagai resultat dari konflik yang terjadi dalam berbagai konteks sosial dan historis.

Argumen tersebut mengantarkan Hadiz kepada satu kesimpulan yang kemudian menjadi pisau analisis dalam buku ini, yaitu populisme sebagai sebuah gerakan lintas kelas sosial yang asimetris. Menurutnya, dalam gerakan populis ada berbagai kepentingan kelas yang bisa jadi antagonistik dan berbeda tingkat artikulasinya.

Dengan perspektif demikian, Hadiz memaparkan kemunculan populisme Muslim sebagai warisan dari kebangkitan gerakan Pan-Islamisme yang muncul pada awal Abad 20 seiring dengan memudarnya Kekaisaran Utsmaniyah. Tema sentral dari gerakan tersebut adalah pembangunan ummat demi munculnya jaman kejayaan Islam. Hadiz menggarisbawahi bahwa kemunculan gerakan tersebut sebagai reaksi terhadap dua hal. Pertama, “Dominasi Barat” yang pada saat itu direpresentasikan oleh masifnya kekuasaan kolonial negeri-negeri Eropa yang menjajah Afrika dan Asia. Kedua, “Pengaruh Barat” dalam bentuk gaya hidup, sistem nilai bahkan ideologi dan sistem politik/ekonomi seperti kapitalisme, sekularisme, pluralisme dan demokrasi.

Dalam pandangan Hadiz, kristalisasi gerakan politik Islam terjadi pasca Perang Dunia II di mana ide-ide Pan-Islamisme bergerak ke latar belakang sementara panggung dikuasai oleh ide-ide nasionalisme dan sosialisme. Dominasi kedua ide tersebut terlihat di negeri-negeri Arab, Afrika Utara, dan Indonesia. Kristalisasi gerakan berada di dalam masa kekuasaan otoriter/represif seperti dalam kasus gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir ataupun penumpasan DI/TII dan pembubaran Masyumi pada windu terakhir kekuasaan Sukarno.

Bekas mendalam yang sama di satu sisi juga ditinggalkan oleh desakan-desakan modernisasi, namun di sisi lain juga oleh pendalaman konflik Perang Dingin di negeri-negeri Dunia Ketiga menyebabkan pertarungan keras antara kelompok-kelompok politik Islam/Muslim dengan kelompok-kelompok Nasionalis/Kiri. Runtuhnya gerakan Kiri juga membuat negara-negara tersebut kembali melakukan represi terhadap politik Islam. Dengan tekanan-tekanan modernisasi yang memperbesar ketimpangan sosial dan ekonomi dan represi negara, terjadi penguatan makna ummat menjadi dekat dengan menjadi bagian dari massa tertindas. Menurut Hadiz, inilah yang menjadi landasan struktural populisme Islam.

Bagian yang kemudian disorot adalah terkait dengan periode kebuntuan perjuangan Negara Islam, di mana kekuatan-kekuatan arus utama Islam (di Indonesia diidentifikasi sebagai jaringan NU dan Muhammadiyah) memilih untuk tidak terlibat di hadapan kekuatan koersif Negara. Kondisi tersebut mempersulit gerakan-gerakan politik Islam dan membuat mereka terpinggirkan dan menghadapi kebuntuan. Beberapa kelompok memilih jalan bawah tanah dan perjuangan bersenjata/kekerasan, sementara banyak lainnya berfokus pada aktivitas dakwah. Perbedaan-perbedaan yang terjadi kemudian mendorong fragmentasi gerakan menjadi organisasi-organisasi atau jaringan-jaringan yang lebih kecil dan lokal.

Menariknya, Hadiz kemudian mengajukan studi kasus tentang perkembangan gerakan Darul Islam (DI) setelah kekalahannya di 1960an. Ia berpendapat bahwa DI memiliki pengaruh dan inspirasi yang sangat besar hingga sekarang. DI sendiri tidak ada bandingannya dalam komparasi dengan dua negeri lainnya dalam hal regenerasi dan diversifikasi jaringan turunannya (banyak di antaranya terlibat dalam konflik di Poso, Ambon, bahkan jejaring radikal/ekstrimis). Pada bagian ini, terlihat kaitan penting antara keturunan/keluarga anggota DI dengan jaringan/organisasi yang terinspirasi oleh DI. Namun sebagai catatan, problem inkoherensi dalam pewarisan ideologi membuat para “pewaris” cita-cita DI tidak mendapatkan posisi politik yang kuat.

Sistem politik demokrasi yang berdiri sejak 1999 menciptakan sebuah tantangan baru untuk gerakan politik Islam. Namun sistem elektoral yang tersedia juga membuat mereka harus bersaing dengan sesama mereka sendiri maupun dengan partai-partai yang terkait dengan ormas-ormas Muslim arus utama seperti NU dan Muhammadiyah. Upaya representasi ummat ini pun pada akhirnya memperoleh 18% suara pada Pileg 2004, +/- 25% pada Pileg 2009 dan 31.5% pada 2014. Jika difokuskan pada partai-partai yang secara terbuka memproyeksikan ummat hanya mencapai 15% dari total suara 2014.3 Tercatat juga bagaimana langkah elektoral memiliki pengaruh dan kemenangan dalam politik, seperti perda-perda berbasis syariah. Akan tetapi, kompetisi elektoral, baik dengan partai-partai nasionalis maupun dengan partai-partai terkait arus utama Muslim, menyebabkan mereka memoderasi isu-isu ataupun propaganda/kampanye non elektoral mereka.

Bersamaan dengan berjalannya demokrasi elektoral, pengaruh diskursus-diskursus ekonomi dan pemerintahan yang beraliran Neoliberal juga meluas. Akses yang baru diperoleh dari politik elektoral/kepartaian juga telah menumbuhkan pengusaha-pengusaha baru, meskipun tidak sebesar para pebisnis besar. Pada abad 20, gerakan politik Islam dekat dengan proteksionisme sebagai alat pelindung kepentingan ummat. Meskipun tetap menyuarakan penolakan/perlawanan, berbagai pimpinan politik dan bisinis Islam juga memperlihatkan penerimaan dan mencari peran-peran baru di luar dari sebagai “korban” globalisasi. Hadiz, mengutip Mohamed Nour, juru bicara Partai Al Nour Mesir yang juga pengusaha teknologi perangkat lunak, tidak selamanya politik Islam bertentangan dengan kapitalisme. Pandanganini menyatakan bahwa etika Islam dapat berperan dalam mengendalikan kerusakan kapitalisme, dalam bentuk bisnis yang bernuansa nilai-nilai Islam. Di Indonesia, salah satu pimpinan politik Islam yang diwawancarai Hadiz malah menyatakan dukungannya untuk bergabung dalam sistem ekonomi kapitalis dunia melalui pengembangan bakat-bakat wirausaha dari ummat.

Satu catatan kesimpulan yang penting dari buku Hadiz ini adalah tingkat adaptasi yang diambil oleh berbagai aliran dalam politik Islam untuk masuk ke dalam politik elektoral yang sekuler dan terlibat dalam neoliberalisme global. Di lain pihak, kondisi kerentanan akibat kebijakan-kebijakan neoliberal, yang notabene di mana partai-partai politik Islam terlibat di dalamnya, juga berkontribusi di dalam tendensi populis di masyarakat. Kerentanan ini pada akhirnya akan menjadi ruang beroperasinya lembaga-lembaga amal dan kemanusiaan yang baik langsung maupun tidak langsung terafiliasi dengan gerakan politik Islam.

Menimbang Pendekatan Sosiologi Historis dan Ekonomi Politik dalam Mengkaji Populisme

Mengamini pembahasan Hadiz dan banyak peneliti/penulis sebelumnya seperti Laclau, populisme sebagai sebuah fenomena politik memang sulit didefinisikan. Ide-ide yang banyak diekspresikan sebagai pendefinisian populisme juga memiliki ambiguitas. Semisal kata Demokrasi yang memiliki akar demos yang berarti rakyat dalam bahasa Yunani. Populisme memiliki akar bahasa Latin dari populus. Keduanya sama-sama berarti rakyat, namun memiliki nuansa politik yang berbeda. Demos memiliki nuansa mulia/noble sedangkan populus lebih bermakna gerombolan/mob.

Momen-momen kesejarahan populisme juga bervariasi bentuk, proses terjadi, dan kelompok sosial konstitutifnya. Kasus-kasus klasiknya misal di Rusia dengan Narodnaya Volya yang merepresentasikan gerakan agraria di akhir abad 19. Di Amerika, di mana istilah populisme ini berasal adalah gerakan perlawanan petani atas kehancuran harga-harga dan mahalnya pinjaman dan transportasi, juga di akhir abad 19. Periode yang sama juga muncul dua gelombang populisme dengan Bonapartisme (Napoleon III) dan Boulangisme, di mana keduanya adalah resultat dari pertarungan tiga matra yaitu modal versus buruh, desa/tani versus kota, dan elit baru (borjuasi) versus elit lama (bangsawan).

Yang membedakan pendekatan Hadiz dari literatur yang diulasnya dalam buku ini adalah terlihatnya Hadiz menempatkan populisme Islami sebagai sesuatu yang given, yang perlu dipotret melalui lensa Sosiologi Historis dan Ekonomi Politik, di mana tekanannya, seperti diulas pada bagian sebelumnya tulisan ini, adalah basis kelas konstitutif dan sumber pertarungan politik dan ekonominya. Meskipun cukup menarik dalam literatur tentang populisme hingga kini, pendekatan ini memiliki dua problem dalam analisis selanjutnya.

Problem pertama, jika dilihat dalam uraian buku ini, banyak diskusi terfokus pada aktor politik (tokoh, organisasi politik) yang terlihat untuk mengkerangkakan mereka sebagai “kaum populis”. Sementara itu, tidak cukup perhatian diberikan kepada fenomena dan dinamika gerakan sosial/politiknya. Akibatnya, potret yang muncul adalah sebuah gerakan sosial dan politik yang terus menerus ada di ketiga negara dan menggabungkan dan sekaligus mengaburkan berbagai tipologi gerakan seperti ekstrimisme, radikal, moderat, dan “imitasi” ke dalam satu keranjang. Padahal, jika ditilik tidak seluruh kontinum waktu tersebut terdapat momen populis ataupun, seperti kasus DI, setiap periode dan diversifikasi gerakan memiliki karakter/kampanye dan ideologi/propaganda yang berbeda dan belum tentu dapat dikatakan populis.

Problem kedua, meski tetap penting kombinasi kedua pendekatan tersebut untuk memberikan perspektif dalam menghadapi secara material dan strategis, namun tidak cukup memberikan gambaran atas dinamika gerakan populis dalam sebuah momentum politik. Ini terlihat dengan kurangnya elaborasi terkait dengan konsep dan signifikansi dari ummat. Narasi tentang ummat adalah sebuah proyeksi yang suka atau tidak suka dekat dengan konsep bangsa atau nation dalam nasionalisme. Pada konsep ummat lah kita dapat menakar kapan politik Islam adalah sebuah gerakan populis, kapan ia menjadi kontribusi khazanah politik, dan kapan ia hanya menjadi politik sektarian.

Untuk catatan penutup, ada baiknya kita melihat pendekatan lain dalam mencoba menjelaskan populisme. Dorna4, misalnya, dalam upaya memberikan perspektif psikologi politik mengajukan karakterisasi dari populisme sebagai berikut.

Proposisi Dorna dimulai dari argumen bahwa kecenderungan populis ada di dalam setiap demokrasi. Munculnya gerakan populisme adalah pertanda dari krisis. Maka wajar gerakan tersebut akan lebih bersifat emosional, dan mensyaratkan penyelidikan dari dimensi psikologis.

Sebagai respon atas adanya krisis, populisme sebenarnya adalah kritik terhadap status quo. Ia adalah bentuk kemarahan dan ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga (negara) yang dianggap busuk atau korup. Ketika kelembagaan yang ditolak, ini berarti juga termasuk tokoh-tokoh dan mekanisme politik di dalamnya. Ini yang menyebabkan pembesaran gerakan populisme akan diiringi oleh kemunculan seorang pemimpin yang kharismatik.

Dalam banyak hal, agenda politik yang menggerakkan massa adalah isu-isu yang muncul dari dinamika politik dan bukan program politik yang terdefinisi dengan baik. Mirip dengan nasionalisme, khususnya dalam argumen Imagined Communities Ben Anderson, populisme adalah momen gerakan yang disokong oleh adanya industri media (cetak). Karena itu, dibandingkan ideologi dan program politik, kekuatan dan raison d’être dari populisme adalah seruan (mobilisasi) kepada rakyat.

  1. Hadiz, V. R. (2016). Islamic populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press.
  2. Laclau, E. (2005). On populist reason. London: Verso, hal 129-148.
  3. Hadiz menggunakan kategori “pureIslamic Parties yang diadopsi dari Alamsyah, Andi Rahman. (2013). ‘Islamic Parties at an Impasse, Need Reform to Avoid the Worst’, Jakarta Post, February 25, www.thejakartapost.com/news/2013/02/25/ islamic-parties-impasse-need-reform-avoid-worst.html
  4. Dorna, A. (2004). De l’âme et de la cité: Crise, populisme, charisme et machiavélisme. Paris: L’Harmattan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *