* Sebuah pengantar untuk diskusi Asikbaca (kelompok pembaca di Banda Aceh)
MoU Helsinki membawa sebuah dampak perluasan demokrasi di Indonesia. Untuk pertama kali sejak demokrasi parlementer ditutup oleh dekrit presiden 1959, partai lokal kembali mewarnai politik negara ini.
Meski hanya dibuka di Aceh, partai lokal setidaknya membuka kesempatan untuk aktor-aktor politik yang sebelumnya bermain di luar pertarungan elektoral di Aceh. Jika sebelumnya pilkada Aceh telah dimenangkan oleh kandidat independen, yang sebelumnya di luar jejaring oligarki warisan ORBA, partai lokal di Aceh membawa lebih banyak lagi aktor yang sebelumnya ekstra parlementer (dan bermakna di luar oligarki) namun sekaligus juga komponen oligarki yang melakukan reposisi elektoral.
Dalam kacamata studi geopolitik, sebagai studi atas pertarungan antar kekuasaan pada sebuah wilayah dan perebutan pengaruh atas populasi yang hidup di sana, pergulatan partai lokal akan menjadi observasi yang menarik. Bukan karena unsur kebaruannya, tetapi karena potensinya dan antusiasme aktor lokal, termasuk yang berasal dari komponen oligarki. Hasil pertarungan sementara dari Pilkada 2006, kandidat independen (baca:GAM-SIRA) memenangkan 8 dari 20 kabupaten/kota di Aceh. Apakah Pilkada Aceh 2006 akan menjadi pola untuk Pemilu 2009?
Beberapa pertanyaan yang dapat menjadi poros diskusi sehubungan partai lokal di Aceh:
1. Saat ini terdapat 6 partai lokal di Aceh. Jika Partai Aceh, Partai SIRA, dan PRA merupakan berasal dari komponen-komponen perjuangan rakyat Aceh berhadapan “politik NKRI” yang sebelumnya mengorbit di luar jejaring oligarki nasional, maka PAAS, PBA, dan PDA diwarnai oleh komponen-komponen yang sebelumnya berada dalam jejaring oligarki nasional (antara lain dari PAN dan PPP). Sejauh manakah aktor baru dan komponen oligarki nasional akan melibatkan partisipasi rakyat?
2. Jika “ke-Aceh-an” adalah mata uang dari partai-partai ini, akan bagaimanakah pergulatan antar partai-partai lokal ini dalam memenangkan diri mereka sebagai representan dari Aceh? Kendaraan ide apakah yang akan dikedepankan untuk meraih suara, di luar metode “tradisional” Orde Baru (uang dan intimidasi)?
3. Karena sementara ini masih terlalu dini untuk mengukur kinerja dan prestasi aktor-aktor lokal non oligarki (baru 1 tahun setelah Pilkada dan Pemilu 2009 belum dimulai), apakah kita bisa melirik sejenak ke pengalaman negeri-negeri lain yang mempraktekan sistem kepartaian dengan partai lokal?
Leave a Reply