Latar Belakang
Dalam Nineteen Eighty-Four, George Orwell mengisahkan Winston Smith yang bekerja untuk Kementerian Urusan Kebenaran (Ministry of Truth). Tugas Smith adalah “menyesuaikan” arsip-arsip sejarah dengan garis pemerintah yang berkuasa. Ia mengganti isi kalimat dan bahkan menghilangkan orang-orang tertentu dalam foto-foto sejarah. Sebagaimana telah diketahui luas, praktek “merekayasa” sejarah inipun tidak terlepas dalam berbagai rejim penguasa dan Rejim Orde Baru adalah salah satu yang mempraktekkan hal ini.
Sejarah memang bukan sekadar catatan atas apa yang telah terjadi, dalam penulisan sejarah tidaklah terlalu asing pemberian makna dilakukan yang kemudian menjadikan sejarah sebagai sumber legitimasi kekuasaan. Obsesi atas legitimasi sejarah yang menjangkiti Orde Baru mendorong pendirian berbagai museum dan monumen, pembangunan Taman Makam Pahlawan, buku induk sejarah Indonesia yang mengagungkan Soeharto dan mengebiri peran politisi sipil (bahkan Soekarno), dan seterusnya. Asvi Warman Adam, dalam sebuah artikel di Majalah Tempo edisi 16 Maret 2009 tentang kontroversi buku Letjen (Purn) Sintong Panjaitan, memberikan catatan penutup: “Pentingnya sejarah untuk melegitimasi kekuasaan telah disadari oleh Nasution dan Soeharto. Pada masa Orde Baru penulisan sejarah dilakukan secara sepihak. Dalam era reformasi, perang kesaksian sejarah yang terbuka berkecamuk dan belum berakhir sampai hari ini. Masyarakat dapat membandingkan dan menilai kebenaran masing-masing versi. Namun, yang jelas, berbagai pelanggaran hak asasi pada masa lampau, apa pun dalihnya, perlu diungkap agar tidak terulang pada masa mendatang.”
Sebagai bagian dari upaya pelurusan sejarah ini, berbagai sejarawan berupaya menghadirkan pengungkapan sejarah, namun seringkali hal ini tidak sejalan dengan berbagai kelompok yang kini bermukim di kekuasaan negara. Menteri Pendidikan Bambang Soedibyo pada tahun 2007 meminta Kejaksaan Agung menarik buku sejarah untuk SMP dan SMA, yang diikuti seremoni pembakaran buku di berbagai kota yang mengingatkan kita pada aksi yang dilakukan Nazi setelah berkuasa.
Pelurusan sejarah kini juga kembali muncul dalam pertarungan politik mendekati Pemilu 2009. Buku Sintong Panjaitan disinyalir oleh Partai Gerindra sebagai upaya untuk menjatuhkan pamor Prabowo Subianto. Meski berkisah tentang perjalanan Sintong Panjaitan sebagai prajurit pasukan khusus, ada beberapa peristiwa hidupnya yang beririsan dengan Prabowo yang digambarkan Sintong sebagai pihak yang tak segan menggunakan pasukan untuk menanggapi isu kekuasaan.
Pokok Diskusi
Suka atau tidak suka, karena menjadi sumber legitimasi, sejarah adalah pertaruhan dalam pertarungan kekuasaan. Sehingga, upaya pelurusan sejarah atas “sejarah resmi” memiliki signifikansi yang cukup penting dalam masyarakat yang sedang melalui proses transisi politik seperti di Aceh.
Poin pertama diskusi ini adalah pembahasan mengenai cakupan proses pelurusan sejarah. Bagaimanakah proses pelurusan sejarah dapat mempengaruhi perubahan politik?
Poin kedua berkaitan dengan sejarah Aceh yang berkaitan dengan transisi politik yang kini berlangsung. Seperti apakah prioritas-prioritas pelurusan sejarah yang harus dilakukan di Aceh?
Leave a Reply