Tag: Transformasi Produksi

  • Reinterpretasi Kenaikan Harga BBM

    Mengurai Benang Kusut dalam Imajinasi BBM

    (Ditulis untuk jurnal politik “Bersatu”, dimuat di indoprogress.blogspot.com)

    “[…]sepertinya sebanyak 60 persen dari harga minyak saat ini adalah murni spekulasi.”

    F. William Engdahl, penulis buku A Century of War: Anglo-American Oil Politics and the New World Order.

    “OPEC menentukan harga di depan koma dan para pedagang menentukan yang dibelakangnya.”

    Robert Mabro, Institute for Research on Energy, Oxford.

    ISU Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia, boleh dibilang telah menjadi alat pengganggu kekuasaan. Siapapun yang menduduki kursi kepresidenan Republik Indonesia, pasti bergetar hatinya jika mesti berhadapan dengan masalah BBM.

    Bayang-bayang kejatuhan Presiden Suharto pada 1998, yang didorong oleh aksi massa meluas akibat keputusan menaikkan harga BBM, tampak masih melekat kuat di benak politisi, baik yang loyal kepada pemerintah berkuasa maupun yang bersikap oposisi. Tahun tersebut, memang menjadi akhir masa panjang BBM murah untuk rakyat Indonesia. Sebelumnya, prestise sebagai anggota OPEC, pengekspor minyak, benar-benar terasa dan mewakili imajinasi Indonesia sebagai negeri yang kaya raya akan sumber daya alam. Maka, wajar, jika kini baik pemerintah maupun oposisi nominal yang ada, selalu melakukan perang posisi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM.

    Kenaikan harga BBM tahun ini, adalah kenaikan yang ketujuh setelah jatuhnya Suharto. Begitu kebijakan menaikkan harga BBM ditandatangani, serentak pemerintah yang berkuasa mengeluarkan sejumlah alasan dengan tekanan berbeda-beda: dari mulai beban anggaran akibat krisis (1998), penyelundupan BBM (2000 dan 2001), tingginya harga minyak dunia (2003 dan 2005), sampai pemerataan atau realokasi subsidi dari orang kaya ke orang miskin (2008). Selain beragam alasan utama, baik pemerintah Megawati dan SBY, sama-sama mengedepankan pemahaman mereka atas “kebijakan yang tidak populer.” Silang-sengkarut alasan yang dikemukakan pemerintah-pemerintah ini cukup mengherankan, karena salah satu menteri yang berhubungan dengan harga BBM ini tetap orang yang sama, Purnomo Yusgiantoro (hampir 7 tahun!).

    Dalam pertarungan ini, kesan mencari-cari alasan dalam kenaikan harga BBM memperkuat interpretasi kalangan sosialis, nasionalis, dan islamis, yang menggarisbawahi ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat. Mereka memiliki kesamaan dalam isu pengaruh asing (baca: imperialisme), yang dihubungkan dengan liberalisasi hulu dan hilir migas Indonesia. Rantai pengikat isu ini adalah kemunculan SPBU-SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum) Shell dan Petronas, yang menyaingi SPBU-SPBU franchise Pertamina. Ketiga aliran politik tersebut secara permukaan memiliki muara agenda yang mirip dan terhubung dengan persoalan kesejahteraan rakyat, agenda “nasionalisasi” dalam bentuk dan tingkat yang masih kabur. Tentunya, masing-masing aliran juga memiliki definisi teoritik tentang “nasionalisasi,” baik secara kegunaan maupun idealisasi.

    Namun, tulisan ini bukan ingin menyandingkan pemaparan naratif ketiga aliran tersebut dalam isu BBM, yang, meski seharusnya memiliki tiga set diskursus yang berbeda, sama-sama mengandalkan diskursus populis di mana simplifikasi adalah mata uangnya. Tulisan ini berusaha menghindari situasi dimana pengkritisian terhadap diskursus mereka, dapat melahirkan kesimpulan bahwa berbagai jargon setiap aliran ternyata bisa dipertukarkan (umat = rakyat, kelas tertindas = marhaen, tolak neoliberalisme = tolak “Barat”), terlepas dari makna orisinal sesungguhnya.

    Tulisan ini lebih merupakan upaya klarifikasi diri (self-clarification), untuk mencari landasan dalam diskusi mengenai alternatif atas kenaikan BBM. Saya menyadari sepenuhnya, ini bukan upaya yang mudah, selain persoalan keterbatasancorpus, pengenalan terhadap aspek-aspek dasar persoalan BBM (ekonomi perminyakan, industri dan teknologi perminyakan, dan geopolitik) juga turut menentukan kualitas refleksi ini. Jikapun tulisan ini dapat diselesaikan, kualitasnya masih sangat jauh untuk mencapai tingkat yang dapat meruntuhkan kompleks legitimasi para pembela kebijakan liberalisasi Migas.

    Harapannya, penelusuran dalam esai ini setidaknya dapat dijadikan landasan, meski masih terlalu intuitif, dalam membahas dua persoalan. Pertama, tantangan saat ini untuk para penolak kenaikan harga BBM adalah meluncurkan sebuah advokasi kebijakan alternatif yang koheren, yang menjadikan isu kenaikan harga BBM bukan sebatas mata uang pertarungan kekuasaan yang hanya menguntungkan kelompok fasisme religius moderat. Kelompok ini sejak satu dekade silam, sedang sibuk-sibuknya mengakumulasi kapital simbolik untuk meraih pola kekuasaan yang sebenarnya patut dipertanyakan orientasi kesejahteraan rakyatnya.

    Kedua, di tengah menguatnya wacana “nasionalisasi,” tantangan strategis yang juga dihadapi adalah diskusi mengenai pendekatan nasionalisasi yang akan diadvokasikan, dengan biaya politik dan sosial yang masih dapat diterima (terjustifikasi). Maksud yang terakhir ini adalah mempertimbangkan betapa mahalnya biaya sosial dan politik proyek nasionalisasi yang harus dibayar rakyat Indonesia setelah tahun 1965: pembantaian massa dan penumpasan gerakan kerakyatan.

    Apapun hasil dan proses diskusi kedua hal tersebut, tampaknya tidak bisa dilepaskan dari persoalan seputar tingginya harga minyak dunia dan naiknya harga BBM Indonesia. Dan di sanalah esai ini akan berkisar.

    Representasi yang berkembang di media atas tingginya harga minyak dunia saat ini, akhirnya bermuara pada “spekulasi.” Spekulasi adalah salah satu mekanisme dari kapitalisme untuk bertahan hidup dari kontradiksi dalam persoalan likuiditas kapital dan kekakuan interaksi penawaran-permintaan. Meskipun sering membawa bencana, spekulasi memiliki banyak peran terutama untuk melicinkan kapital menjadi akumulasi. Mencari pemahaman atas harga minyak dunia saat ini dan mencoba menelaah masalah “spekulasi,” adalah tujuan dari esai ini.

    Salah satu yang tidak terlalu disorot dalam persoalan spekulasi minyak dunia yakni, adanya kemungkinan meletusnya gelembung harga yang diciptakannya, jatuhnya harga minyak jika di kemudian hari terbukti bahwa harga minyak saat ini dinilai tidak sesuai atau over-valued. Secara historis, sebelum kenaikan berkelanjutan sejak 2002, harga minyak selalu jatuh setelah oil shock. Tentunya kita tak perlu menanyakan lagi, apakah subsidi akan dikembalikan jika harga minyak dunia turun. Esai ini ditulis setelah melalui semacam refleksi intuitif yang melihat data-data statistik dan kartografis dari ekonomi minyak Indonesia (dapat dilihat di www.geopolitik.org), dimana kesimpulannya, keputusan menaikkan harga BBM mengikuti sebuah perspektif yang mempersiapkan Indonesia dari eksportir minyak bumi menjadi pasar komoditas tersebut.

    Meninjau Kembali “Spekulasi” si Terdakwa(1)

    Di jaman Romawi, speculator bermakna petugas jaga yang tugasnya memberi tahu datangnya bencana. Di abad pertengahan, sebelum dikaitkan dengan dunia perdagangan, kata spekulasi bermakna pemikiran atau studi yang bersifat abstrak atau teoritis.(2) Munculnya pasar “kertas” (misalnya, bursa saham, bursa komoditas) di Eropa, mungkin menjadi salah satu faktor yang mengkaitkan kata spekulasi dan spekulator dengan segala tindakan finansial dan komersial yang ditujukan untuk mengambil keuntungan dari variasi pasar. Dan jika melihat praktek spekulasi masa kini, kedua makna tersebut tampaknya saling melengkapi. Para spekulator di pasar “kertas” mengandalkan observasi atas beragam informasi ekonomi, terutama yang berbau-bau ketidakpastian (bencana, perang, dan lain-lain), di mana dapat diprediksikan perubahan-perubahan sisi penawaran dan permintaan di pasar, untuk mengarahkan uang yang mereka kendalikan, mengkalkulasi resiko, dan menarik kembali uang mereka beserta keuntungan yang telah diraih.

    Spekulasi mengambil keuntungan dari perubahan harga di kemudian hari. Kalau kita lihat berita-berita soal tekanan terhadap Bursa Efek Jakarta, kita biasa mendengar “aksi ambil untung,” dan hal tersebut juga terjadi di bursa komoditas berjangka (futures commodity market). Untuk memahami di mana letak hubungan antara spekulasi dan harga minyak dunia, kita mungkin perlu menelusuri “sistem” perdagangan minyak bumi dunia.

    Perdagangan minyak terjadi di bursa komoditas, seperti New York Mercantile Exchange (NYMEX), Intercontinental Exchange (ICE) di London, dan belakangan Iranian Oil Bourse (IOB), dan juga secara langsung (produsen-pembeli, dalam hal ini pemilik pengilangan minyak). Perdagangan komoditas seperti minyak terjadi dalam dua cara. Pertama dengan perdagangan spot, di mana pengantaran barang dilakukan pada hari itu ataupun sesegera mungkin; kedua, dengan perdagangan kontrak-kontrak berjangka (futures), di mana ditentukan hari pengantaran, kualitas barang, dan jumlah barang.

    Harga-harga berjenis-jenis minyak mentah (crude) dunia, ditentukan secara relatif terhadap pergerakan harga tiga jenis minyak mentah, yaitu Western Texas Intermediate (WTI) yang diperdagangkan di NYMEX, Brent di ICE, dan Dubai. Artinya, minyak mentah Minas Indonesia yang merupakan salah satu jenis minyak mentah referensi OPEC, dijual mengikuti naik turunnya harga ketiga jenis minyak mentah tersebut (benchmark/patokan). Sejauh mana perbedaan harga Minas dan WTI, ditentukan oleh tingkat keenceran Minas (derajat API, American Petroleum Institute) dan kandungan surlfurnya.

    WTI dan minyak mentah sekelasnya, merupakan minyak mentah yang sangat diinginkan oleh pengilangan minyak karena mudah menghasilkan BBM yang digunakan oleh kendaraan bermotor (Gasoline, Premium, Pertamax, dan lain sebagainya). Akibatnya, harga Minas yang memang derajat API-nya lebih rendah dan kandungan sulfurnya lebih banyak akan lebih murah. Perbedaan harga ini sebenarnya mencerminkan juga struktur pengilangan minyak dunia, di mana banyak yang didisain untuk memaksimalkan pengolahan WTI dan minyak mentah sekelasnya (light sweet oil) seperti, minyak mentah Brent, ataupun yang sedikit lebih rendah macam Arabian Light. Selain itu, tuntutan pengurangan jumlah timbal, sulfur, dan bentuk-bentuk polusi lainnya di BBM oleh perangkat peraturan ramah lingkungan negara-negara maju dan belakangan negara berkembang, juga menyebabkan tingginya permintaan minyak mentah semacam WTI. Persoalannya, jumlah produksi minyak mentah ini sangat terbatas: WTI diproduksi 300.000 bpd (barel/hari), Brent 300.000 bpd, dan Dubai 100.000 bpd.(3)

    Kembali ke hubungannya dengan spekulasi, keterbatasan produksi jenis minyak mentah patokan membuat pasar spot patokan menjadi sangat kaku dan sensitif. Sedikit saja gangguan, misalnya sabotase pipa minyak di Nigeria (minyak mentahnya masuk dalam kategori sekelas dengan WTI dan Brent), dapat mendistorsi harga minyak dunia, karena naiknya harga minyak mentah patokan akan membuat jenis-jenis minyak mentah lainnya naik. Di sinilah pintu masuk yang menjadikan aktivitas spekulasi di pasar minyak bumi dunia sebagai terdakwa.

    Pada 20 Mei 2008, Komite Senat AS untuk Keamanan Dalam Negeri dan Urusan Pemerintahan, mengadakan dengar pendapat dengan Michael W. Masters, sebagai salah satu ahli yang diundang untuk berbicara mengenai peran spekulasi di naiknya harga minyak bumi dan bahan makanan. Masters adalah manajer portofolio Wall Street yang belasan tahun menangani hedge fund. Menurutnya, naiknya harga komoditas saat ini disebabkan oleh apa yang disebut index speculator, para pemain baru yang masuk yang berspekulasi di bursa komoditas seperti NYMEX, mengikuti informasi 25 komoditas berjangka dari indeks harga yang popular, yaitu the Standard & Poors – Goldman Sachs Commodity Index (S&P GSCI) dan the Dow Jones – AIG Commodity Index (DJ-AIG). Hampir semua spekulator indeks ini dikategorikan sebagai investor institusional, yang isinya antara lain Dana Pensiun Perusahaan dan Pemerintah, Sovereign Wealth Fund (perusahaan negara yang ditugasi berinvestasi di pasar luar negeri), dan Dana Abadi Universitas. Penyebab masuknya para investor yang sebelumnya bermain di pasar finansial, adalah kerugian yang mereka alami pada tahun 2000-2002.(4) Hancurnya pasar kredit sub-prime pada akhir 2007, turut menambah dorongan masuknya spekulator indeks ke dalam bursa komoditas.

    Dalam presentasinya, Masters menunjukkan peningkatan besar dari US$ 30 juta pada tahun 2003 menjadi US$ 260 juta pada tahun 2008, yang sebagian besar adalah investasi di indeks komoditas S&P GSCI dan DJ-AIG. Menariknya, paparan Masters bertentangan dengan kesaksian Jeffrey Harris, Ekonom Kepala dari Komisi Perdagangan Komoditas Berjangka (CFTC), yang bertugas mengawasi bursa komoditas berjangka AS seperti NYMEX. Menurut Harris, tidak benar spekulasi menyebabkan naiknya harga-harga komoditas. Ia menunjukkan, data jumlah posisi penawaran dan permintaan (short and long, short adalah istilah kontrak penjualan dan long adalah kontrak pembelian dalam bursa) tetaplah sama. Selain itu, jumlah partisipan pasar (termasuk spekulator indeks) relatif konstan.(5)

    Tetapi, Harris tidak menyebutkan nilai perdagangan berjangka yang terjadi. Apakah ini bermakna para spekulator indeks mendorong kenaikan harga melalui permintaan dan penawaran dengan nilai yang lebih tinggi? Perlu diingat, para spekulator indeks bermain di selisih harga transaksi (spread), sehingga, menurut penjelasan Harris dan juga Masters, spekulator jenis ini akan berada dalam posisi long (membeli) dalam satu bulan dan akan mengambil posisi short(menjual) di bulan berikutnya, untuk kemudian membeli kontrak (long) bulan berikutnya lagi.

    Landasan Berspekulasi

    Dua kesaksian ini membawa esai ini untuk melihat informasi-informasi apa yang dijadikan landasan para spekulator indeks dalam mengambil keputusan investasi komoditas berjangka. Perdagangan jenis ini membutuhkan modal yang cukup besar, sehingga tidak cukup berlandaskan desas-desus ataupun insting pialangnya (kecuali dalam kasus yang ekstrem).

    Yang pertama adalah keterbatasan/ketersediaan, atau sisi penawaran. Tidak bisa dibantah bahwa minyak bumi adalah sumber daya alam yang terbatas. Yang kini menjadi persoalan, yang cukup mempengaruhi harga minyak bumi di seluruh dunia dan sepanjang 150 tahun lebih penggunaannya secara modern, adalah seberapa terbatasnya minyak bumi.

    Penjelasan asal usul minyak bumi sampai saat ini didominasi oleh teori yang menjelaskan bahwa minyak bumi adalah hasil proses fisika dan kimia ribuan tahun pada sisa-sisa makhluk hidup yang terjadi di perut bumi, yang hasilnya terperangkap di struktur bebatuan berpori (porous rocks). Karena prosesnya cukup lama, minyak bumi adalah sumber daya alam yang terbatas. Teori kedua, yang dianut oleh ilmu geologi Rusia, menyatakan bahwa minyak bumi bukanlah berasal dari sisa-sisa jasad hidup, melainkan berasal dari sebuah proses termodinamika yang hingga saat ini belum diketahui yang terjadi di tempat yang jauh lebih dalam di perut bumi. Teori yang kedua ini memungkinkan pencarian minyak bumi di tempat-tempat yang “kering minyak” menurut buku teks geologi konvensional.

    Namun, hingga saat ini, arus utama pandangan mengenai ketersediaan minyak bumi tampak lebih dipengaruhi oleh teori Puncak Minyak (Peak Oil), yang dikembangkan pada 1956 oleh Marion King Hubert, yang menerima bulat-bulat asal-muasal organik minyak bumi. Berdasarkan pengamatannya atas data-data migas di sebuah negara bagian Amerika Serikat, Hubbert dengan tepat memprediksikan bahwa produksi minyak AS akan menurun pada dekade 1970an. Dalam teori ini, sumur-sumur sebuah ladang migas yang berproduksi secara bersamaan, akan memiliki grafik terhadap waktu yang berbentuk seperti lonceng. Artinya, produksi ladang tersebut akan mencapai sebuah puncak untuk kemudian menurun dengan tingkat yang sama seperti kenaikan produksinya.

    Tepatnya, prediksi teori Puncak Minyak Hubbert membuat percaya banyak orang, terutama yang menggantungkan pendekatan statistik dan murni matematis, bahwa minyak dunia akan segera habis. Persoalan bahwa Hubbert ternyata gagal memprediksikan peak oil di belahan dunia lain tidak membuat mereka surut. Geolog lain, Colin Campbell, yang sama seperti Hubbert membangun karirnya sebelumnya di perusahaan minyak, “menyempurnakan” teori Puncak Minyak, dan tanpa henti-henti melakukan revisi atas prediksi puncak produksi minyak dunia. Baik Hubbert maupun Campbell, tidak pernah menyebut angka sesungguhnya jumlah persediaan minyak dunia, sebuah angka yang sebenarnya sulit dipastikan hingga saat ini dan sangat tergantung pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.(6)

    Pada tahun 2000, setelah sekian lama terdiskreditkan oleh kegagalannya, teori Puncak Minyak kembali bergaung. Di tengah-tengah meroketnya harga minyak dunia, media mengutip kembali prediksi Campbell pada 1998: produksi minyak dunia akan mencapai puncak pada dekade pertama abad 21. Ketika pada 2004-2005 harga minyak dunia kembali meningkat hingga menembus angka US$ 65 per barel, berbagai buku dan cover story berbagai jurnal terkemuka membahas teori Puncak Minyak. Data statistik dan kini model-model ekonometrik (kontribusi Campbell) yang disajikan teori Peak Oil, setidak-tidaknya telah berkontribusi pada iklim ketidakpastian di bursa komoditas.(7)

    Yang kedua, memang terdapat fakta bahwa sisi penawaran tidak bisa mengejar sisi permintaan. Akan tetapi hal tersebut bukan disebabkan oleh Peak Oil, karena secara nyata produksi terus bertambah, meskipun tidak secepat pertumbuhan konsumsi.

    Ada banyak faktor lain yang menyebabkan kurangnya pertumbuhan produksi. Salah satu alasan utamanya adalah lesunya investasi untuk eksplorasi ladang-ladang baru, baik di pihak negara-negara OPEC ataupun perusahaan-perusahaan migas multinasional. Di sisi OPEC, alasannya adalah menghindari overproduksi yang berulang kali terjadi, terutama setelah oil shock. Sementara itu, perusahaan minyak multinasional juga cukup berhati-hati dalam berinvestasi untuk eksplorasi baru. Sejak 1980, akibat nasionalisasi sumber-sumber minyak bumi, perusahaan minyak multinasional hanya mengontrol 8 persen cadangan minyak dunia dan hanya bisa mengakses kurang dari 25 persen.(8) Eksplorasi baru pun biasanya sudah menjadi sulit secara teknis ataupun lingkungan, dan juga mahal.(9)

    Dengan demikian, pengambil keputusan investasi finansial menjadi tergiur untuk terlibat di perdagangan, yang sebelumnya dianggap kurang seksi (prediksi harga minyak dunia adalah stabil di level US$18 pada dekade sebelumnya). Pada 2005, bank investasi Goldman Sachs, yang juga memiliki sayap investasi di komoditas berjangka (S&P GSCI), menerbitkan sebuah laporan yang menyatakan bahwa harga minyak dunia bisa menembus US$105 per barel!

    Yang ketiga, seperti banyak dikatakan para komentator, manajer investasi yang melakukan spekulasi finansial melandaskan keputusannya pada informasi-informasi atas faktor-faktor geopolitik, yang dapat mempengaruhi sisi pasokan minyak bumi.

    Penyebabnya sangat sederhana. Minyak bumi adalah kekayaan alam yang sangat strategis dalam ekonomi kapitalisme global, sehingga ladang-ladangnya dan juga tempat-tempat yang dilaluinya, baik dengan pipanisasi ataupun supertanker, menjadi tempat pertarungan antar kekuatan politik. Jatuhnya PM Mossadeg di Iran tahun 1952, adalah contoh pengaruh minyak bumi dalam kestabilan politik sebuah negeri. Di lain pihak, Revolusi Iran 1979 ataupun krisis politik di Venezuela, adalah contoh bagaimana pertarungan politik mempengaruhi pasokan minyak dunia dan tentunya membuat naik harga minyak bumi.

    Dari ketiga macam informasi di atas, nampak jelas mengapa para ahli ekonomi liberal dan juga majalah Economistmembela “ulah” para spekulator. Spekulasi sebenarnya adalah gejala penyakit, bukannya sumber atau penyebab. Dalam perspektif kapitalisme, spekulasi “membantu” penentuan harga (price discovery/formation(10)), yang kemudian dijustifikasi dengan istilah semi mistik “fundamentals”. Harris, Ekonom Kepala CFTC, dalam kesaksiannya menjelaskan bahwa kenaikan harga-harga komoditas lebih disebabkan oleh faktor-faktor “fundamentals pasar global”.

    Penutup

    Melihat angka cadangan minyak dunia dan tingkat konsumsi pada tahun 2005, taksiran sementara produksi dan konsumsi BBM akan berlangsung selama 38 tahun, dengan catatan melalui tingkat teknologi dan ekonomi yang kini tersedia. Yang hingga kini belum terjawab, di manakah angka kesetimbangan harga minyak yang baru? Saat esai ini ditulis (8 Juli 2008), harga minyak telah mencapai “peak”-nya. Dalam beberapa hari telah jatuh lebih dari US$10.

    Leonardo Maugeri, boss Strategi dan Pengembangan ENI, memberikan sebuah deskripsi yang mungkin bisa menjawab pertanyaan tadi pada tahun 2006: “Hanya harga minyak yang relatif tinggi yang dapat menyediakan sebuah obat, meski pahit, untuk situasi sekarang. Prosesnya telah dimulai, tapi sembuhnya tidak cukup cepat. Karena harga yang tinggi, investasi dan pengembangan perminyakan meningkat pesat sepanjang dua tahun terakhir di seluruh dunia. Sebagai ramalan yang paling mungkin, di akhir dekade ini permintaan harian BBM akan bertambah 7-8 juta barel. Jika produksi global terus-menerus berlanjut pada tingkat seperti sekarang, mungkin akan bertambah 12-15 juta barel per hari. Dengan kata lain, ada minyak yang lebih dari cukup di dunia.”(11)

    Buat saya, deskripsi Maugeri ini terdengar seperti kebijakan austerity –dalam pantun Melayu, “susah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian”, yang dulu didorong melalui Structural Adjustment Programs (SAP) dan disokong oleh IMF. Celakanya, hingga saat ini, di berbagai negara yang menjalankan SAP dengan setia, “senang belum juga tercapai.”***

    Catatan kaki:

    1. Bagian ini banyak menerima informasi dari buku The Age of Oil: The Mythology, History, and Future of the World’s Most Controversial Resource, terbit tahun 2007 dan ditulis oleh Leonardo Maugeri, Wakil Presiden Senior Grup Eni, perusahaan energy Italia. Maugeri membidangi strategi korporat di dalam perusahaan itu.

    2. Kamus Trésor de la Langue Française informatisé (TLFi)( http://www.cnrtl.fr/definition/speculation), akses terakhir 4 Juli 2008.

    3. L. Maugeri, The Age of Oil, Appendix 3.

    4. M.W. Masters, Testimony before the Committee on Homeland Security and Governmental Affairs, United States Senate, 20 Mei 2008.

    5. J. Harris, Written Testimony before the Committee on Homeland Security and Governmental Affairs, United States Senate, 20 Mei 2008.

    6. Maugeri mengutip ekonom perminyakan Morris Adelman yang menunjukkan produksi ladang Sungai Kern di California yang ditemukan pada 1899. Setelah 43 tahun dieksploitasi , cadangan yang tersisa 54 juta barel (1942). Namun pada 1986, ladang tersebut bukannya telah menghasilkan 54 juta barel, tetapi 736 juta barel dan “masih” memiliki cadangan 970 juta barel.

    7. Maugeri menunjukkan bahwa di tengah berkembangnya isu semacam Peak Oil pada akhir dekade 1970, berbagai perusahaan minyak, terutama yang independen yang tidak punya jaringan global untuk mengakses minyak mentah, berlomba-lomba mengamankan kontrak delivery dengan harga apapun. Harga minyak mentah semakin meroket ketika Revolusi Iran 1979 menumbangkan Shah Reza Pahlevi yang membuat produksi minyak Iran jatuh ke 40.000 bpd dari 5,5 juta bpd.

    8. Perlu dicatat, 75% cadangan minyak dunia pada tahun 2004 dikuasai oleh perusahaan-perusahaan nasional seperti Aramco (Saudi Arabia), PDVSA (Venezuela), NIOC (Iran).

    9. C. de Lestrange, C.A. Paillard, P. Zelenko, Géopolitique du pétrole: Un nouveau marché, de nouveaux risques, des nouveaux mondes, Editions TECHNIP, Paris, 2005. PP 116-117.

    10. M. Radetzki, A Handbook of Primary Commodities in the Global Economy, Cambridge University Press, Cambridge, 2008.

    11. L. Maugeri, “Oil, Oil Everywhere”, Forbes, July 24, 2006, diakses di http://www.forbes.com/forbes/2006/0724/042_print.html, tanggal 8 Juli 2008.

  • Hidangan untuk Warga Sebuah Imperium

    Fast Food Nation: The Dark Side of the All-American Meal
    Eric Schlosser
    Houghton Mifflin Company
    Boston 2001
    356 hal

    Suatu malam di tahun 2000 saya berjalan bersama seorang aktivis dari United Students Against Sweatshops (USAS), salah satu organisasi yang terlibat dalam kampanye anti-globalisasi di Amerika Serikat. Tahun tersebut gema demonstrasi Seattle November 1999 masih bergaung. Demonstrasi-demonstrasi anti-globalisasi memuncak dalam skala internasional, bahkan aksi-aksi yang memobilisasi massa aktivis dari berbagai negeri begitu marak sampai membuat sebuah pertemuan WTO terpaksa diagendakan di Doha, Qatar. Pada 1 Mei 2000, sebuah restoran McDonald’s, simbol kekuasaan globalisasi, dihancurkan oleh sekelompok penganut anarkisme di London. Bersama massa yang menonton peristiwa itu, mereka membuat api unggun dari papan reklame restoran tersebut, dan menyantap burger ‘gratis’ di Trafalgar Square.

    Kami berdiskusi ngalor-ngidul soal globalisasi, kapitalisme global, dan aktivisme sambil menelusuri sepanjang Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Melintasi restoran McDonalds’ di Jalan Thamrin, ia bertanya: “Kenapa tidak membangun saja jaringan waralaba masakan khas Indonesia di seluruh dunia untuk mengalahkan McDonald’s?”

    Pertanyaan itu di kemudian hari melintasi jalan Transyogi yang menghubungkan Jakarta dengan Cianjur melalui Jonggol. Di sepanjang jalan itu berbagai kompleks perumahan real-estate bertumbuhan dengan laju yang luar biasa cepat. Namun yang menarik, hal ini dengan segera diikuti dengan berdirinya restoran-restoran cepat saji yang bersaing dengan rumah-rumah makan tradisional. Awalnya hanya ada sebuah restoran McDonald’s, sebuah Pizza Hut, dan sebuah waralaba ala Indonesia, the Rollies beserta Cwie-Mie Malang. Lebih ke dalam ada satu lagi Bakmi Japos. Dalam jangka kurang lebih satu tahun, Kentucky Fried Chicken, Popeye’s, Papa Ron’s, Bolo-Bolo berdesak-desakkan mencoba menarik pelanggan. Benar-benar usaha yang kompetitif.

    Usaha ini mulai dirintis kurang lebih empat puluh tahun lalu, dan kini sudah merasuki setiap sudut kehidupan masyarakat Amerika. Awalnya tidak beda dengan para tukang bakso ataupun bahkan hamburger keliling yang sering kita jumpai di perumahan-perumahan ibukota. Citra awalnya juga tak kalah rendah, sebanding dengan saus tomat berbahan bubur kentang, air, penyedap rasa, dan pewarna sintetis yang dipakai dalam ‘industri’ mie ayam pinggir jalan kita. Namun kini ia seolah mengejar para pelanggannya, hidup masyarakat Barat ataupun yang kebarat-baratan seperti tidak akan lepas dari makan cepat saji.

    Hal ini tak bisa dilepaskan dari beberapa perubahan mendasar dalam struktur sosial ekonomi masyarakat tersebut. Masa-masa keemasan upah tinggi buruh di dunia Barat yang berakhir pada tahun 1973 mendorong perubahan dalam hubungan rumah tangga. Sejak saat itu, tingkat upah terus menerus menurun sehingga keluarga-keluarga biasa mengalami kesulitan untuk membiayai standar hidup yang telah dicapai sebelumnya. Kebutuhan untuk membayar tagihan pengeluaran rumah tangga memaksa banyak perempuan dan ibu muda meninggalkan keluarga mereka untuk bekerja, tanpa harus terinspirasi oleh feminisme yang pada masa itu juga sedang berkembang pesat. Perubahan peran gender ini terus meningkat, pada tahun 1975 sudah sepertiga dari ibu rumah tangga AS bekerja, kini dua pertiga dari ibu di AS bekerja. Dengan pergeseran peran seperti ini, ‘layanan’ yang biasa diberikan oleh ibu rumah tangga harus digantikan, terutama dalam hal masak-memasak. Perubahan demografik seperti inilah yang menguntungkan industri makanan cepat saji.

    Luar biasa memang percepatan jasaboga cepat saji sehingga dapat mendominasi ruang kehidupan sehari-hari masyarakat Amerika. Pada tahun 1968, hanya ada kira-kira 1000 restoran McDonald’s. Kini, di seluruh dunia terdapat 23.000 restoran waralaba tersebut, dan setiap tahun bertambah kira-kira sekitar 2000 restoran. McDonald’s Corp kemudian menjadi ‘teladan’ industri jasa Amerika yang menciptakan sembilan puluh persen pekerjaan baru di AS. Ia adalah pemilik terbesar jasa eceran di seluruh dunia. Penghasilan terbesarnya ternyata bukanlah dari penjualan makanan cepat saji, melainkan dari pengumpulan sewa waralaba.

    Perkembangan bisnis makanan cepat saji tak bisa dilepaskan dari pengubahan citra makanan itu sendiri. Citra menjadi penting untuk mengubah kebiasaan makan masyarakat. Dapat dikatakan perjuangan terbesar dari makanan cepat saji terletak pada penciptaan sekumpulan besar konsumen, yang kecanduannya akan makanan cepat saji dapat memastikan angka penjualan makanan tersebut.

    Pada awal abad duapuluh, sebagian besar masyarakat Amerika mencurigai apa yang disebut ‘hamburger’. Ia dianggap hanyalah makanan untuk mereka yang miskin. Banyak orang menganggap hamburger berisi daging busuk yang ditambah dengan pengawet kimia. Sangat jarang hamburger disajikan di restoran-restoran. Citra ini berhasil diubah oleh White Castle, jaringan perusahaan produsen hamburger pertama di AS. Kampanye ‘pemasyarakatan’ hamburger perusahaan ini benar-benar luar biasa banyak akalnya, para pendirinya memanggang hamburger di depan para pelanggan sambil mengatakan bahwa hamburger segar datang dua-empat kali sehari. Dalam kesempatan yang lain, perusahaan ini bahkan mensponsori sebuah percobaan yang melibatkan seorang mahasiswa kedokteran Universitas Minesota yang mencoba hidup selama 13 minggu hanya dengan hamburger dan air. White Castle juga memulai penggunaan nama-nama yang berkonotasi dengan kesehatan ataupun keaslian untuk menamai produk-produknya.

    Perjuangan itu tampaknya tidak sia-sia, pembeli hamburger meningkat namun masih sebatas pada kaum laki-laki perkotaan. Perluasan konsumen hamburger kemudian memang lebih banyak dipengaruhi oleh gaya urbanisasi AS pada abad duapuluh: budaya bermobil yang mendorong perkembangan kota-kota di sebelah barat AS. Terlahirlah restoran-restoran ‘drive-in’ mengikuti budaya tersebut, yang sekaligus menempatkan hamburger sebagai salah satu makanan utama masyarakat AS.

    Satu generasi silam, tiga perempat makanan yang dikonsumsi di AS dibuat di rumah, kini orang-orang Amerika melahap makanan yang sebagian disajikan di luar rumah, terutama di restoran-restoran cepat saji. Pada tahun 1970 orang Amerika menghabiskan US$ 6 milyar untuk makanan cepat saji. Kini, lebih dari US$ 100 milyar pendapatan orang Amerika amblas masuk ke kantung pemilik restoran cepat saji. Ini artinya orang Amerika menghabiskan uang lebih banyak untuk hamburger, kentang goreng, dan makanan cepat saji lainnya dibandingkan untuk membiayai pendidikan tinggi ataupun membeli komputer, perangkat lunak, atau mobil baru. Jumlah uang untuk mengkonsumsi makanan cepat saji itupun lebih besar daripada pengeluaran untuk menonton film, membeli buku, majalah, koran, video, dan kaset musik digabungkan.

    Ketika McDonald’s baru saja berubah menjadi perusahaan waralaba, mengiklankan diri secara nasional masih terlalu mahal. Namun Ray Kroc, pendiri jaringan waralaba tersebut menemukan cara beriklan gratis. Perusahaan tersebut melibatkan diri ke dalam acara-acara amal yang ditujukan kepada anak-anak. Tujuannya adalah membuat McDonald’s menjadi tempat keluarga dan anak-anak.

    Begitu namanya dikenal dan aset perusahaan telah mencukupi untuk membiayai iklan di berbagai jenis media, pemasaran McDonald’s tetap terfokus pada anak-anak. “Untuk setiap anak yang suka melihat iklan TV kami dan mengajak kakek-neneknya ke McDonald’s, artinya ada tambahan dua pelanggan baru,” begitu ujar Ray Kroc. Mereka yang pada saat kanak-kanak menjadi langganan McDonald’s, sewaktu dewasa kemudian akan selalu mengenang kenangan indah di McDonald’s dan mengajak anak-anak mereka ke McDonald’s.

    Kroc mungkin juga lebih tepat disebut sebagai orang yang mampu melihat jauh ke depan ketika melihat manfaat televisi untuk menciptakan konsumennya. Seorang anak Amerika rata-rata menonton televisi sebanyak 21 jam seminggu, atau kira-kira satu setengah bulan per tahun. Ini belum termasuk bermain komputer, menonton video, atau permainan video seperti Playstation atau X-Box. Di luar sekolah, anak-anak Amerika lebih banyak menonton televisi daripada melakukan kegiatan lain, kecuali tidur. Waralaba ini kini mengudarakan lusinan iklan radio dan televisi setiap hari di AS. Industri makanan cepat saji secara keseluruhan menghabiskan US$ 4 milyar setahun di dunia periklanan.

    Hiburan anak-anak lantas dapat dikatakan sebagai alat pemasaran yang diciptakan industri makanan cepat saji. Anak-anak kelas menengah di Jakarta tentu sudah mengenal Nickeledeon, The Simpsons, atau acara-acara televisi kabel seperti Fox Kids Network. Di AS, acara-acara hiburan anak-anak tersebut sudah demikian identik dengan makanan cepat saji sehingga budaya pop anak-anak tidak dapat lagi dibedakan dengan budaya makanan cepat saji. Pada tahun 1996, McDonald’s dan Disney menandatangani perjanjian pemasaran 10 tahun untuk memasarkan mainan-mainan yang populer dari film-film Disney dijual sebagai bagian dari paket penjualan di restoran-restoran McDonald’s. Jika kita pergi ke restoran-restoran McDonald’s di kota-kota besar di saat film Finding Nemo diputar, kita pasti menemukan penjualan tokoh-tokoh film tersebut di sana.

    Lebih hebat lagi, skenario film-film Disney juga dipengaruhi oleh kepentingan McDonald’s. Film George the Jungle ditulis ulang ketika dananya disuntik hingga dua kali lipat oleh McDonald’s. Yang ditambahkan adalah adegan tokoh utama film tersebut melahap setangkup BigMac, di bawah pengawasan seorang perwakilan McDonald’s yang datang khusus untuk memastikan BigMac tersebut terlihat dengan jelas.

    Selain anak-anak, sasaran pemasaran makanan cepat saji adalah mereka yang disebut ‘pengguna kelas berat’, laki-laki berusia 18-24 tahun yang melahap makanan cepat saji tiga sampai empat kali seminggunya. Iklan-iklan untuk pelanggan jenis ini jelas berbeda, lebih banyak menggunakan guyonan dewasa, kekerasan, dan perempuan cantik. Selain itu, mereka juga merupakan penggemar berbagai bidang olah raga yang dipertontonkan di jaringan-jaringan televisi AS. Karenanya McDonald’s sudah menjalin perjanjian promosi bersama dengan National Basketball Association (NBA), Tricon Global Restaurants (pemilik KFC, Pizza Hut, dan Taco Bell) dengan National Collegiate Athletic Association (NCAA, yang mengadakan pertandingan liga basket antar kampus), dan Denny’s dengan Major League Baseball.

    Dampak dari pembangunan citra adalah lekatnya budaya makanan cepat saji dalam pemahaman anak-anak. Sebuah survei menunjukkan bahwa 96 persen anak sekolah AS mengenal Ronald McDonald, hanya Sinterklas yang lebih populer darinya. Dan dua busur emas yang membentuk huruf M McDonald’s kini jauh lebih populer dibandingkan lambang salib agama kristen.

    Bisnis waralaba makanan cepat saji adalah kreasi dari generasi entrepreneur yang telah membentuk tradisi pemasaran Amerika. Para pelopornya kebanyakan tidak pernah mengecap bangku kuliahan. Sejak remaja mereka menunjukkan diri sebagai pekerja keras. Pendirian teguh juga menjadi ciri mereka. Buat mereka, kerja keras adalah sesuatu yang utama dan mereka sangat bangga karenanya. Dari pengalaman puluhan tahun yang mereka miliki sebagai salesman jalanan mereka membangun usaha mereka.

    Ray Kroc, pendiri jaringan waralaba McDonald’s, sudah mulai bekerja ketika baru masuk SMA. Ia menemukan kesenangan sendiri sebagai penjaja soda, usaha milik pamannya. Ia sangat senang “bisa menjual es krim sundae kepada orang yang datang untuk membeli secangkir kopi.” Bertahun-tahun Kroc menjual biji kopi, buku musik, cangkir kertas, mesin pembuat krim yang bisa menghasilkan milkshake ataupun krim pencukur, sendok es krim, sampai kursi-meja lipat yang menempel di dinding.

    Kerja sebagai penjaja mesin milkshake membawanya ke restoran McDonald’s pertama kalinya. Pada tahun 1954, McDonald bersaudara sudah memulai usaha restoran swalayan. Ia heran kenapa McDonald’s membutuhkan delapan mesin yang ia jajakan, padahal mesin itu mampu membuat lima milkshake sekaligus. Begitu ia melihat cara kerja restoran swalayan McDonald’s ia segera tahu jawabannya, bahkan ia segera bisa membayangkan kalau restoran seperti itu ada di setiap perempatan jalan yang ramai oleh orang. Akhir cerita, Kroc berhasil meyakinkan McDonald bersaudara untuk menjual hak waralaba kepadanya.

    Lain lagi dengan kisah Harland Sanders. Ia meninggalkan bangku sekolah pada usia 12 tahun. Kemudian ia bekerja sebagai kusir keledai, bekerja di tanah peternakan, dan sempat menjadi pemadam kebakaran di kereta api. Di beberapa kesempatan, ia pernah menjadi pengacara tanpa gelar sarjana hukum, menjadi bidan tanpa punya sertifikat medis, menjual ban, menawarkan asuransi dari rumah ke rumah, sampai punya restoran dan motel yang kemudian ia jual untuk membayar utang-utangnya. Pada umur 65 tahun, ia kembali menjadi salesman jalanan yang menjajakan ‘resep rahasia’ kepada para pemilik restoran. Pada tahun 1952, restoran Kentucky Fried Chicken (KFC) pertama dibuka di Utah. Karena tidak punya uang untuk mempromosikan jaringan restorannya, ia berpakaian seperti seorang kolonel asal Kentucky dengan setelan putih dan dasi tali hitam. Dalam jangka 8 tahun, KFC sudah menjadi jaringan restoran terbesar di AS.

    Persaingan ketat antar waralaba dengan segera terjadi ketika masing-masing perusahaan tersebut sudah mengungguli saingan-saingan lokal mereka. Satu per satu restoran drive-in yang populer di jaman 1950an bertumbangan, digantikan dengan restoran-restoran makanan cepat saji. Karena lebih aman dan murah membuka usaha sebagai pemegang waralaba, maka banyak pengusaha rumah makan dengan segera membeli hak waralaba mereka kepada usaha yang sudah terkenal. Persaingan begitu ketatnya, setiap ada satu waralaba membuka rumah makan di satu daerah pemukiman, maka dua atau tiga waralaba lainnya akan ikut membuka di daerah yang sama. Mereka pikir pasti ada pangsa pasar yang besar di sana.

    Namun, dasar kesuksesan waralaba adalah terletak pada keseragaman. Menurut berbagai pandangan mengenai masalah waralaba, semua cabang-cabang waralaba haruslah dapat diandalkan untuk memberikan layanan yang seragam. Pelanggan mendatangi merek-merek yang akrab di kepalanya disebabkan oleh sebuah insting yang menghindari hal-hal yang tidak mereka kenal. Sebuah merek memberikan rasa kepastian jika produk-produknya selalu sama di manapun juga.

    Suatu hari Ray Kroc geram kepada beberapa pemegang waralaba yang menghambat keseragaman. “…kita tidak bisa mempercayai orang-orang yang bukan penurut,” katanya. “Kita akan buat mereka menjadi penurut dengan cepat… Organisasi ini tidak bisa tunduk pada perseorangan, perseoranganlah yang harus tunduk pada organisasi.”

    Dari sekian waralaba yang kini bertahan di AS, McDonald’s adalah yang terbesar dan tersukses. Pada tahun 1970an, perusahaan ini menggunakan helikopter untuk memetakan letak-letak kawasan pemukiman ataupun pusat bisnis baru di mana restoran McDonald’s baru akan dibuka. Kini, mereka sudah menggunakan foto satelit untuk meramalkan kawasan-kawasan tersebut.

    Sebagai penyempurnaan dari kesuksesannya, McDonald’s kini memiliki Museum Ray Kroc yang memamerkan kehidupan Kroc. Museum itu mungkin lebih tepat sebagai kuil pemujaan terhadap Kroc, karena foto-foto, rekaman video, dan suara Kroc diabadikan oleh teknologi canggih seperti yang kini digunakan di Disneyland atau Warner Bros Movieland. Selain museum, McDonald’s juga mendirikan Hamburger University, di mana ribuan manajer waralaba baru belajar dan memperoleh gelar sarjana dalam “Hamburgerologi”.

    Hari itu bertanggal 30 April 2002, pukul 07.00. Selebaran dan poster ajakan pemogokkan telah mewarnai jalan-jalan protokol Jakarta, untuk memperingati hari buruh sedunia, 1 Mei. Di era keterbukaan terbatas, sudah beberapa kali serikat-serikat buruh melakukan aksi 1 Mei di Jakarta. Setiap tahun jumlah pesertanya semakin meningkat, terlepas dari upaya-upaya ‘pencegahan’ yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat kepolisian. Apalagi, aksi-aksi buruh selain aksi 1 Mei juga telah berani melakukan pemblokiran jalan maupun pawai dengan ribuan massa di jalan-jalan utama Jakarta.

    Pagi itu mungkin hanyalah pagi yang lain seperti biasanya yang dilalui oleh Fika, pembawa acara obrolan pagi di I-Radio. Pukul 07.00 lainnya untuk memulai acara yang ia bawa bersama Rafiq di bawah arahan Pras, produsernya. Tema obrolan pagi itu menjadi titik penting bagi sebagian besar kelas menengah Jakarta yang agaknya khawatir dengan kemacetan yang diakibatkan oleh aksi peringatan 1 Mei. Namun, yang lebih penting lagi, Pras sedang menanti dua orang perwakilan serikat buruh yang sedang mencoba membangun organisasi di dalam jaringan waralaba McDonald’s.

    Beberapa menit selanjutnya, acara obrolan pagi tersebut sudah mengudara namun hanya satu perwakilan dari Komite Aksi Satu Mei yang telah masuk dalam ruang siaran. Dua pegawai McDonald’s telah tiba, namun mereka masih ragu apakah mereka akan masuk ke dalam ruang siaran atau tidak. Persoalan utamanya, gedung yang ditempati I-Radio adalah Gedung Sarinah Thamrin, dan delapan lantai di bawahnya terdapat restoran McDonald’s di mana keduanya bekerja. Restoran waralaba McDonald’s yang pertama kali berdiri di negeri ini tersebut memperdengarkan siaran pagi I-Radio di pengeras suara mereka.

    Tampilan gemerlap dan ceria restoran-restoran McDonald’s ataupun waralaba makanan cepat saji lainnya juga menyembunyikan sebuah taring hyena. Di balik meja-meja pemesanan, di balik seragam yang warna-warni, berlaku hubungan eksploitasi yang cukup kejam. Pekerja restoran makanan cepat saji adalah buruh yang dibayar murah. Sebagian besar adalah pekerja paruh waktu yang terdiri dari pelajar sekolah menengah, mahasiswa, pengangguran, ibu rumah tangga. Posisi tawar mereka begitu lemah dan kecil kemungkinan mereka berpikiran untuk membentuk serikat buruh.

    Dapur dan mesin-mesin di dalamnya begitu modern sehingga tidak membutuhkan keahlian untuk mengubah makanan setengah masak tadi menjadi makanan kegemaran konsumen. Dengan mudah, perusahaan-perusahaan waralaba makanan cepat saji memberhentikan dan mengganti pekerja mereka. Semaksimal mungkin mesin dan buku manual menggantikan banyak kerja-kerja yang membutuhkan pelatihan. Alasannya, biaya yang dikeluarkan perusahaan tetap kecil, menjaga posisi tawar buruh tetap rendah, dan membuat perusahaan dapat membayar upah dengan murah. Di tengah boom ekonomi AS tahun 1990an, saat pekerja sektor-sektor lain mendapat kenaikan upah, pekerja restoran makanan cepat saji malah mengalami penurunan upah.

    Adalah Fred Turner, seorang eksekutif McDonald’s, yang menciptakan sebuah sistem yang ketelitian dan perhatian yang begitu besar pada hal-hal detil. Pada tahun 1958 ia menggabungkan buku petunjuk pelatihan dan pengoperasian, yang menjelaskan bagaimana hampir semua kerja dilakukan di restoran waralaba McDonald’s. Misalnya, hamburger harus selalu diletakkan berjejer enam dengan rapi di atas pemanggang, atau kentang goreng tebalnya harus tepat 0,28 inci. Kini, buku petunjuk yang disebut ‘Kitab Suci’ itu telah berlipat sepuluh jumlah halamannya. Yang diatur juga jauh lebih rinci, dari peralatan apa saja yang harus dipakai sampai bagaimana para pelayan menyapa pelanggan.

    McDonald’s termasuk dalam daftar perusahaan-perusahaan yang anti serikat buruh. Puluhan tahun McDonald’s di AS berhasil menghentikan upaya-upaya pembentukkan serikat buruh di restoran-restoran mereka. Caranya bermacam-macam, dari mulai membentuk tim gerak cepat untuk mendatangi restoran yang tercium aktivitas serikat buruh sampai penginterogasian pekerja restoran dengan polygraph, alat pendeteksi kebohongan. Jika pembentukkan serikat buruh gagal dihentikan, dengan mudah McDonald’s menutup restoran tersebut, memecat semua pekerjanya, dan membuka restoran baru tak jauh dari tempat tersebut.

    Di antara mereka yang pernah terlibat di sisi kiri jalan perubahan Indonesia, konsep yang disebut “corak produksi masyarakat” mungkin tidak begitu asing. Konsep ini sering dipakai dalam perdebatan-perdebatan landasan perjuangan perubahan. Ia dikembangkan oleh pemikir-pemikir ekonomi abad sembilan belas, terutama di saat pematangan revolusi industri di Eropa dan daratan Amerika Utara. Corak produksi masyarakat adalah analisa mengenai bagaimana sebuah masyarakat ‘mengorganisasikan’ dirinya untuk menciptakan barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat. Bentuk yang paling kasar adalah bagaimana kebutuhan makanan masyarakat tersebut dipenuhi. Ia kemudian dipenuhi oleh relasi sosial yang kompleks, sampai pada bentuk pemilahan masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang ditentukan oleh peranan dan posisi hirarkis dalam organisasi sosial masyarakat.

    Jalan yang didorong oleh industri makanan cepat saji pada akhirnya menjadi cerminan dari sebuah struktur sosial yang berdiri dalam masyarakat AS. Dalam perjalanan menuju posisi dominan, jasaboga cepat saji mendorong penggunaan teknik-teknik baru dalam memproduksi makanan. Namun bukan sebatas itu saja, ia juga mendorong tumbuhnya sebuah pola eksploitasi baru, sebuah hubungan buruh dan majikan yang baru antara petani kentang dan produsen kentang goreng beku, antara peternak sapi dengan pemilik pabrik pengolahan daging, dan antara buruh dan pemilik pabrik pengolahan daging.

    Saat ini McDonald’s adalah pembeli terbesar daging sapi dan kentang. Ia juga menjadi pembeli kedua terbesar produk-produk peternakan ayam. Bahkan jenis ayam yang benar-benar baru dikembangkan agar dapat diproduksi menjadi McNugget. Dengan posisi yang demikian, agroindustri AS menjadi sangat tergantung pada industri makanan cepat saji. Lebih jauh lagi, pengambilan keputusan pembelian yang tersentral pada jaringan restoran besar dan tuntutan mereka agar produk-produk agroindustri distandarisasikan menyebabkan hilangnya kesempatan petani dan peternak kecil. Akibatnya, pasokan makanan AS benar-benar jatuh ke tangan perusahaan-perusahan agroindustri raksasa multinasional yang dapat dihitung dengan jari. Thomas Jefferson, salah seorang presiden AS, pernah berujar bahwa fondasi demokrasi negerinya terletak pada petani dan peternak mandiri. Namun tampaknya hal itu tidak berlaku lagi. Di AS kini lebih banyak narapidana dibandingkan dengan petani dan peternak.

    Berkat McDonald’s dan perusahaan-perusahaan makanan cepat saji lainnya, pada tahun 1997 orang Amerika rata-rata memakan kira-kira 15 kilogram kentang. Pasar yang demikian besar itu dipasok oleh segelintir industri kentang goreng canggih. Lewat sudah jaman di mana para pelayan restoran makanan cepat saji menghabiskan waktu berjam-jam mengupas dan memotong kentang.

    Awalnya, bisnis kentang goreng merayu para petani untuk hanya menanam kentang. Apalagi rayuan tersebut digombali dengan iming-iming bantuan finansial dan bibit kentang. Namun dalam perkembangannya, atas nama keseragaman kentang goreng, McDonald’s dan jaringan restoran lainnya mengurangi jumlah pemasok kentang goreng beku. Pabrik yang kalah terpaksa tutup.Akhirnya wujud pasar kentang seperti jam pasir, dengan ratusan juta konsumen di bagian bawah dan dua juta petani di bagian atas. Sementara di bagian tengah yang sangat sempit, belasan perusahaan multinasional kentang goreng beku yang mengambil untung dari setiap transaksi.

    Peternak sapi juga bernasib sama dengan para petani kentang. Industri daging olahan pertama-tama menghancurkan posisi tawar para peternak dengan cara yang sama dengan industri kentang goreng beku. Penggabungan perusahaan dan penggunaan teknologi tinggi membuat jumlah pabrik-pabrik daging olahan semakin sedikit. Pada tahun 1970, empat perusahaan pengolah daging terkemuka memotong hanya 21 persen sapi AS. Setelah kabinet Reagan membolehkan adanya penggabungan usaha tanpa harus terkena Undang-Undang Anti Trust, kini empat perusahaan pengolah daging memotong 84 persen sapi AS. Keempat perusahaan itu juga kini dapat mengontrol harga jual sapi dengan memelihara sendiri ternak tersebut atau dengan cara mengijonnya. Dengan menguasai 20 persen ternak hidup, kapan saja ada kenaikan harga jual sapi, perusahaan-perusahaan tersebut tinggal melepas sapi-sapi mereka ke pasar.

    Milyaran daging burger yang dijual melalui restoran-restoran fastfood setiap tahun di AS diproduksi oleh segelintir pabrik pengolahan daging raksasa. Pabrik-pabrik tersebut biasanya memiliki satu atau lebih kandang khusus untuk menggemukkan sapi sebelum dipotong. Tak tanggung-tanggung, jumlah sapi yang akan digemukkan bisa mencapai puluhan bahkan ratusan ribu. Sapi-sapi itu diberi makan gandum 3000 pon gandum selama tiga bulan agar bertambah berat sebanyak 400 pon.

    Begitu siap dipotong, jangan bayangkan seperti sapi-sapi yang akan masuk rumah-rumah jagal di Indonesia. Sejak lama, pabrik pengolahan daging di AS memiliki unit jagal sendiri. Setiap hari ribuan sapi disembelih, dan seorang tukang jagal menyembelih satu sapi setiap sepuluh detik. Setelah itu sistem roda berjalan dan buruh murah akan memproses sapi itu menjadi daging kaleng, daging burger, atau makanan anjing.

    Pabrik-pabrik pengolahan daging di AS kini menjadi tempat kerja yang paling berbahaya. Ketika teknologi seharusnya mempermudah kerja manusia, perusahaan-perusahaan pengolah daging memecat buruh-buruh terlatihnya dan memperkerjakan buruh-buruh tidak terlatih. Di AS, sebagian besar dari buruh pabrik pengolah daging adalah buruh-buruh migran yang dibayar murah dan tidak terlatih. Sementara alat-alat yang digunakan, meski mudah pengoperasiannya, tapi berbahaya. Sebagai contoh, setelah seekor sapi disembelih dan diambil isi perutnya, sapi dibelah dengan gergaji mesin.

    Ketika sebuah pabrik pengolah daging mampu memproses 5000 sapi satu hari, maka bisa dibayangkan kecepatan kerja yang dibutuhkan untuk para penyembelih dan pemotong daging. Dengan kecepatan kerja dan alat-alat berbahaya yang digunakan, kecelakaan menjadi tak terhindarkan. Setiap pekerja pabrik tersebut dipastikan pernah mengalami kecelakaan ringan atau berat. Sapi-sapi yang tergantung pada gantungan berjalan sesekali jatuh menimpa pemotong daging, karena pekerja yang bertugas menggantung sapi kurang erat mengikat kaki sapi tersebut.

    Pada 13 Oktober 2003 sebuah konferensi bertemakan “Berbisnis di Irak: Menggalakan Sektor Swasta” diadakan di London. Pesertanya tak tanggung-tanggung, 145 delegasi yang mewakili berbagai macam investor multinasional. Akan tetapi, reportase-reportase yang memberitakannya memiliki satu kesamaan: McDonald’s akan membuka restorannya di Irak pada tahun 2004.

    Benar-benar luar biasa, kini kita telah bisa mengatakan para prajurit AS gugur demi tugasnya membuka McDonald’s di Baghdad. Industri yang sebelumnya berhasil mendominasi pola makan masyarakat AS juga kini ikut serta bertanggung jawab dalam menghancurkan sebuah bangsa. Ketika derap sepatu lars membuat orang Irak mencicipi setungkup BigMac, Eric Schlosser mungkin tepat ketika dalam bukunya yang berjudul ‘Fast Food Nation’ mengutip pepatah lama Amerika: “You are what you eat.”