Tag: Perjuangan Kelas

  • Perang sebagai Pisau Analisa Politik (Bagian 3)

    (lanjutan Catatan kuliah Michel Foucault “Il faut défendre la société” 21 Januari 1976, College de France, Paris)

    Karakter Diskursus Perang Permanen

    Menurut Foucault, karakteristik pertama dari diskursus perang permanen adalah pandangan atas sebuah masyarakat biner. Masyarakat terbagi menjadi dua kubu yang berseberangan, yang terus melakukan perang secara permanen. Tidak ada yang netral, dan setiap orang pasti akan punya musuh.

    Dalam sejarah pemikiran Eropa pasca Abad Pertengahan, inilah momen munculnya diskursus politik-kesejarahan (historico-political). Pengajar diskursus ini tidak dapat dan memang tidak berniat untuk mengambil posisi ahli hukum ataupun filsuf, yang netral, universal. Si pengujar adalah seseorang yang bertempur, punya musuh, dan sedang berjuang menuju kemenangan. Jika ia bicara tentang kebenaran dan hak, ia akan menuntut hak “miliknya”. Hak-haknya bersifat tunggal dan ditandai oleh relasi-relasi kepemilikan, penaklukan, kemenangan, ataupun alami. Ia bisa berwujud hak dari keluarga ataupun rasnya, hak dari keunggulan atau senioritasnya, hak dari invasi yang berhasil, atau hak dari pendudukkan. Karena tidak bermaksud melakukan penyimpulan yang netral, yang dilakukan adalah penyimpulan yang dapat menguntungkan posisi tempurnya. Artinya, kebenaran diskursus ini adalah dari perspektif pencapaian kemenangan dan keberlangsungan (survival) dari pengajar diskursus itu sendiri.

    Diskursus ini menetapkan sebuah hubungan yang fundamental antara relasi-relasi kekuatan dan relasi-relasi kebenaran. Artinya, identifikasi kebenaran dengan perdamaian atau netralitas) yang merupakan pembentuk filsafat Yunani, telah hancur. Dalam diskursus ini, dengan berpihak, mengambil posisi, seseorang dapat lebih menyuarakan kebenaran, lebih dapat menerjemahkan kebenaran. Buatnya, yang terpenting bagaimana kebenaran memperkuat mereka, atau mengubah perimbangan kekuatan atupun memperbesar ketimpangan, atau akhirnya kebenaran akhirnya memberikan kemenangan pada salah satu pihak. Foucault menekankan, subyek yang mengajukan diskursus ini adalah subyek yang sedang berperang. Dan jelas, diskursus ini menciptakan riak di antara diskursus-diskursus tentang kebenaran dan hukum yang telah ada selama ribuan tahun.

    Kedua, ini adalah diskursus yang membalikkan nilai-nilai, keseimbangan, dan polaritas dari pemahaman. Ia juga mensyaratkan penjelasan dari bawah. Namun penjelasan dari bawah bukanlah sesuatu yang jelas dan sederhana. Penjelasan semacam itu artinya menjelaskan dalam keadaan yang campur aduk, kacau, dan bisa bersifat kebetulan. Apa yang diajukan untuk. melakukan interpretasi atas masyarakat dan keteraturan nya yang kasatmata adalah campur-aduk dari kekerasan, hasrat, kebencian, kemarahan, kekecewaan dan kepahitan. Seperti meminta dewa perang menjelaskan hari-hari panjang dari keteraturan kerja, perdamaian, dan keadilan.

    Jadi apakah prinsip yang menjelaskan sejarah? Pada mulanya serangkaian fakta kasar, fakta fisik- biologis: kekuatan fisik, daya, energi, pembiakkan sebuah ras, kelemahan ras lainnya, dan seterusnya. Serangkaian peristiwa: kekalahan, kemenangan, kegagalan atau keberhasilan dari pemberontakkan, kegagalan atau keberhasilan dari persekongkolan antara persekutuan, dan setumpuk elemen psikologis dan moral (keberanian, ketakutan. kebencian, lupa, dan seterusnya). Menurut diskursus ini, tubuh/ hasrat, dan peristiwa yang saling tersangkut-paut adalah pembentuk jaringan permanen dari sejarah dan masyarakat. Di atas itu akan dibangun dengan rentan dan superfisial sebuah rasionalitas yang bertumbuh. Rasionalitas dari perhitungan, strategi, dan muslihat; rasionalitas dari prosedur teknis yang digunakan untuk berlangsungnya kemenangan, untuk membungkam perang, dan untuk menjaga atau membalikkan relasi-relasi kekuatan. Rasional tersebut, semakin ditarik ke atas, semakin abstrak, semakin terikat dengan kerentanan dan ilusi, dan semakin terikat dengan kelicikan dan kekejian dari mereka yang mencapai kemenangan sementara

    Skema penjelasan yang diajukan oleh diskursus ini memiliki poros yang berbeda dengan skema tradisional yang biasa kita lihat. Kita lihat sebuah poros yang pada ujung dasarnya sebuah irasionalitas fundamental dan permanen. Di ujung atas poros tersebut ada sebuah rasionalitas rentan dan sementara, yang selalu terkait dengan ilusi dan kekejian. Rasio (akal budi, raison) berada di penjuru mimpi liar, muslihat, kekejian. Sementara, kebenaran berada di penjuru yang sama dengan sebuah brutalitas elementer: sekumpulan sikap, tindakan, hasrat, kemurkaan. Jelas poros penjelasan ini berbeda dengan yang sebelumnya dipakai untuk menjelaskan hukum dan sejarah.

    Karakteristik penting ketiga dari diskursus ini adalah bahwa ia dikembangkan dalam dimensi kesejarahan. Ia ditempatkan ke dalam sebuah sejarah yang tidak memiliki lingkup, akhir dan batasan. Ia tidak bermaksud membuat sejarah yang monoton sebagai sebuah fakta permukaan/superfisial yang akan diperlakukan ke dalam beberapa prinsip yang ajeg dan fundamental, ia tidak bermaksud mengadili pemerintahan yang lalim, penyalahgunaan dan kekerasan, yang disandingkan dengan skema-skema ideal (apakah itu hukum alam, kehendak Tuhan, atau prinsip-prinsip fundamental dan seterusnya). Diskursus ini malah bermaksud mendefinisikan dan mengungkap di bawah bentuk- bentuk keadilan sebagaimana dilembagakan, di bawah keteraturan sebagaimana ditegakkan, di bawah pelembagaan sebagaimana diterima, masa lalu yang dilupakan dari perjuangan-perjuangan nyata, kemenangan-kemenangan efektif, kekalahan-kekalahan yang mungkin disembunyikan tapi tetap tercatat secara mendalam. Ia bermaksud mencari darah yang mengering dalam peraturan, dan konsekuensinya bukan mencari, di bawah mengambangnya sejarah, kemutlakan hukum. Yang dicari: di bawah stabilitas hukum, ketakterhinggaan sejarah; di bawah formula undang-undang. teriakan-teriakan pertempuran; di bawah keseimbangan dari keadilan, ketidak simetrian kekuatan-kekuatan.

    Melihat sisi kesejarahannya, kita tidak dapat mengatakannya sebagai sesuatu yang relatif. Ia tidak memiliki hubungan apapun dengan yang absolut. Diskursus ini berada dalam ketakterhinggaan sejarah yang sepertinya “di-tak-relatifkan”, dari sebuah disolusi abadi dalam mekanisme dan kejadian yang berasal dari kekuatan, kekuasaan, dan perang.

    Kolonisasi oleh Filsafat dan Hukum

    Di saat yang bersamaan, berkembang luas teori atau konsep filsafat dialektika. Dialektika bisa saja terlihat sebagai diskursus tentang gerak universal dan historis dari kontradiksi dan perang. Tapi jika dilihat lebih mendalam, dialektika mengkerangkakan perjuangan, perang, dan konfrontasi menjadi sebuah logika yang disebut logika kontradiksi; menjadikannya sebuah proses dua tahap, totalisasi dan penemuan, dari sebuah rasionalitas yang final dan mendasar secara sekaligus.

    Dialektika memastikan pembentukan historis dari sebuah subyek universal, sebuah kebenaran yang direkonsiliasikan, dan sebuah hukum di mana semua partikularitas memiliki tempat seharusnya. Dialektika Hegelian dan semua yang datang setelahnya, menurut Foucault, adalah kolonisasi dan pasifikasi otoriter oleh filsafat dan hukum atas diskursus historis-politis yang merupakan secara sekaligus menjadi laporan resmi, proklamasi dan praktik dari perang sosial. Dialektika adalah pasifikasi diskursus tersebut, oleh orde filosofis dan mungkin juga orde politik.

    Catatan Foucault ini perlu digarisbawahi, karena berbagai teori sejarah dan sosial mengedepankan pisau analisa atau perspektif dialektis. Semisal teori perjuangan kelas yang diajukan oleh perspektif Marxian, mengasumsikan bahwa setiap tubuh sosial terdapat pertentangan/kontradiksi antar kelas-kelas sosial (class struggle). Namun, jika dilihat awal kelahirannya, teori tersebut jelas terinspirasi oleh diskursus perang permanen yang saat itu berkembang pesat di kalangan intelektual priyayi dan jelata Eropa. Dengan membalikkan Dialektika Hegelian, seorang intelektual jelata seperti Karl Marx mengkolonisasi diskursus perang permanen menjadi teori perjuangan kelas.

    Saat Mitologi dan Pengetahuan Bertemu

    Mungkin karena alasan itulah diskursus ini dapat dikatakan berasal dari kalangan bangsawan yang mengenang kejayaan masa lalu atau para begawan di perpustakaan. Namun jika ditilik lebih lanjut, dari masa awalnya, sampai akhir Abad 19 dan juga pada Abad 20, diskursus ini bergerak dengan dan tertanam di dalam bentuk-bentuk mitos yang paling tradisional. Di dalam diskursus ini terdapat pengetahuan subtil yang dikawinkan dengan mitos-mitos besar. Ia diartikulasikan dalam skema penyampaian sejarah yang serupa dengan mitologi. Jaman nenek moyang yang gilang gemilang, masa kini yang suram, jaman baru yang menjelang, dan pada akhirnya datangnya kerajaan baru yang akan hapuskan kekalahan-kekalahan di masa lampau.

    Mitologi semacam ini menjadi kendaraan dari diskursus perang permanen. Di masa abad pertengahan, ia menyatu dengan cerita-cerita tentang raja dan pangeran yang dikalahkan musuh yang keji, yang nantinya akan terlahir kembali dan akan membebaskan rakyatnya. Seperti halnya cerita-cerita mengenai Ratu Adil, ia dapat membuat massa menunggu hari pembalasan, datangnya pimpinan baru, Fuhrer baru; atau kerajaan terakhir, Reich ketiga yang menjadi Dajjal sekaligus menjadi penyelamat kaum miskin. Kembalinya “pimpinan besar” seperta Edward si Pengaku-dosa, Charlemagne atau Frederik yang selama ini tertidur di sebuah gua antah-berantah dan kemudian kembali bangun untuk memimpin perang baru, demi kemenangan yang definitif.

    Artinya, diskursus perang permanen bukan hanya sebatas ciptaan menyedihkan dari kalangan kutu-buku saja. Diskursus ini mempertemukan sebuah pengetahuan yang dimiliki para bangsawan yang sedang dalam kemunduran, gelora dari mitos-mitos, dan semangat pembalasan rakyat jelata. Diskursus ini mungkin saja adalah diskursus historis-politis yang pertama menantang diskursus filosofis-yuridis. Ia adalah diskursus yang menggunakan kebenaran khusus sebagai senjata untuk sebuah kemenangan yang mutlak. Ia adalah sebuah diskursus yang kritis dengan sadar, namun juga dipenuhi mitos. Karena itu ia akan dipandang sebelah mata oleh para filsuf dan ahli hukum. Ia akan segera diabaikan pada masa itu. Paling mungkin ia memiliki akar di masa Yunani klasik, di antara para sofis yang paling culas.

    Yang menarik, menurut Foucault, diskursus ini mulai muncul, atau muncul kembali, antara akhir Abad 16 dan sekitar Abad 17, di saat adanya tantangan ganda dari rakyat jelata dan bangsawan terhadap kekuasaan raja. Diskursus ini berkembang luas dan mengemuka dengan cepat hingga akhir Abad 19 dan di Abad 20.

    Langkah Kelanjutan Studi

    Foucault melanjutkan studinya dengan dua hal penting.

    Pertama-tama, ia melepaskan semua hubungan-hubungan sesat yang biasanya kita lakukan dalam membahas diskursus historis-politis. Hubungan-hubungan kekuasaan/perang, kekuasaan/relasi kuasa sering kali dikaitkan dengan dua nama besar: Hobbes dan Machiavelli. Foucault ingin menunjukkan bahwa diskursus historis-politis bukanlah bagian politik Sang Pangeran atau kekuasaan absolut. Para pengujar diskursus historis-politis memandang Sang Pangeran hanyalah sebuah ilusi, sebuah instrumen, atau bahkan sebagai musuh.

    Kedua, ia bermaksud menunjukkan titik kemunculan diskursus tersebut. Mulanya, diskursus ini muncul di dekade 1630an seputar perlawanan jelata dan borjuis kecil di Inggris. Diskursus ini beredar di kalangan Kaum Puritan dan Kaum Leveller. Limapuluh tahun kemudian, diskursus ini muncul di kelompok atau kelas sosial yang berseberangan di Perancis, di kalangan bangsawan yang kecewa dan sedang melawan kekuasaan Raja pada akhir kekuasaan Louis XIV. Bentuk ide tersebut persisnya adalah perang yang berlangsung di bawah perdamaian dan ketertiban, yang berlangsung dalam masyarakat kita dan membelahnya secara biner, adalah pada dasarnya perang antar ras. Dengan segera, diskursus tersebut menggarisbawahi elemen-elemen fundamental yang memungkinkan dan memastikan berlangsungnya dan berkembangnya perang tersebut: perbedaan etnis, perbedaan bahasa; perbedaan kekuatan, kegigihan, energi, dan kekerasan; perbedaan kebrutalan dan kebarbaran; penaklukan sebuah ras atas ras lainnya. Tubuh sosial diartikulasikan dalam dua ras, di mana para pendukung dari teori tersebut mencari wajah dan mekanisme dari perang sosial.

    Dari kedua poin tersebut, Foucault bermaksud menelusuri sejarah pada masa Revolusi Perancis dan awal Abad 19, dengan Augustin dan Amédée Thierry, dan bagaimana teori ras mengalami dua transkripsi. Transkripsi pertama bersifat biologis, yang sudah berlangsung jauh sebelum Darwin dan yang meminjam diskursusnya dari autonomo-fisiologi materialis, lengkap dengan elemen-elemennya, konsep-konsepnya dan kosakatanya. Transkripsi ini juga menyokong dirinya di atas sebuah filologi, yang menjadi kelahiran teori ras dalam makna historis-biologis. Teori tersebut terartikulasikan dalam gerakan-gerakan kebangsaan dan perjuangan kebangsaan melawan aparatus raksasa Negara (terutama Austria dan Rusia) pada Abad 17 dan juga terartikulasi dalam politik kolonisasi Eropa.

    Transkripsi kedua, bergerak di tema besar teori perang sosial yang berkembang pada awal Abad 19 dan cenderung untuk menghapuskan semua jejak konflik ras untuk mendefinisikan perjuangan kelas. Di sini tampak sebuah pencabangan yang penting, yang berkorespon dengan analisa atas perjuangan tersebut dalam bentuk dialektika dan analisa pergulatan tersebut dalam teori evolusionisme dan perjuangan untuk hidup. Foucault bermaksud untuk menunjukkan perkembangan sebuah rasisme biologis-sosial, dengan sebuah ide, yang benar-benar baru dan menyebabkan diskursus tersebut berjalan dengan berbeda, bahwa ras yang lain sebenarnya bukan yang tiba dari tempat lain, bukan yang menang dan dominan, tetapi dari ras yang secara permanen dan tanpa henti, menyusup dalam tubuh sosial, atau lebih tepatnya menciptakan dirinya di dalam dan berangkat dari tubuh sosial. Dengan kata lain, apa yang dilihat sebagai perpecahan, sebagai pembagian biner dalam masyarakat, bukanlah pertarungan antara dua ras yang saling terpisah, tetapi pembelahan dari sebuah ras yang sama menjadi sebuah ras atas dan ras bawah.

    Dengan begitu, terdapat sebuah konsekuensi penting. Diskursus perjuangan ras, yang pada awal kemunculan dan berjalannya pada Abad 17 adalah alat perjuangan dari pihak-pihak yang menjauhi posisi sentral, menjadi diskursus yang bergeser ke sentral dan menjadi diskursus kekuasaan, dari sebuah kekuasaan terpusat, kekuasaan tersentralisasi dan kekuasaaan yang mensentralisasi. Sebuah diskursus dari pertarungan yang bukan dijalankan antara dua ras, tetapi dari sebuah ras yang dianggap sebagai yang benar dan satu-satunya, ras yang memegang kekuasaan dan pemilik dari norma, melawan mereka yang dianggap berbeda dengan norma tersebut, melawan mereka yang dianggap berbahaya terhadap warisan biologis. Artinya, sejak saat itu semua diskursus biologis-rasis tentang degenerasi (rasial) dan juga semua institusi yang menjalankan diskursus perjuangan ras ke dalam tubuh sosial adalah asal-muasal dari eliminasi, segregasi dan akhirnya normalisasi dari masyarakat.

    Artinya, diskursus yang dibahas Foucault ini meninggalkan formulasi awalnya: “Kita harus membela diri melawan musuh-musuh kita karena sebenarnya aparatus Negara, undang-undang, struktur kekuasaan bukan saja tidak membela kita melawan musuh-musuh kita, namun mereka adalah instrumen musuh-musuh kita dalam memburu dan menaklukkan kita.” Diskursus tersebut melenyap. Diskursus tersebut kini berubah, “Kita harus membela masyarakat melawan semua marabahaya biologis yang berasal dari ras lain, dari sub-ras lain, dari kontra-ras yang saat ini, bertentangan dengan kemauan kita, tengah kita jalankan pembentukkannya.” Tema rasis kini bukan lagi alat perjuangan sebuah kelompok sosial melawan kelompok sosial lainnya, tetapi telah menjadi sebuah strategi global dari konservativisme sosial.

    Berlawanan dengan apa yang ditemukan Foucault di awal, kini ia menemukan paradoks atas tujuan dan bentuk awal dari diskursus yang sedang ia paparkan. Ia menemukan awalan dari rasisme Negara, sebuah rasisme yang dijalankan sebuah masyarakat atas dirinya sendiri, atas elemen-elemen dirinya, atas segala macam keturunannya. Sebuah rasisme internal, dari pemurnian permanen, yang akan menjadi dimensi dasar dari normalisasi sosial.

  • Perang sebagai Pisau Analisa Politik (Bagian 2)


    (lanjutan Catatan kuliah Michel Foucault “Il faut défendre la société” 21 Januari 1976, College de France, Paris)

    Tesis Monopoli Negara atas Perang

    Poin penting pada akhir bagian sebelumnya adalah pembalikkan tesis terkenal Clausewitz, yang menjadi: “politik adalah kelanjutan dari perang dengan cara-cara lain.” Foucault berargumen sangatlah mungkin sebenarnya Clausewitz membalikkan tesis tersebut dalam memformulasikan tesis terkenalnya.

    Secara umum, pada perkembangan Negara di masa Abad Pertengahan hingga jaman modern, praktik-praktik dan kelembagaan perang mengalami sebuah evolusi yang sangat terlihat jelas. Pertama-tama, praktik dan kelembagaan perang dikonsentrasikan di bawah sebuah kekuasaan terpusat. Lalu, secara faktual dan secara hukum, hanya kekuasaan Negara yang dapat menyelenggarakan perang dan mengelola instrumen-instrumen peperangan. Karena itu, secara bersamaan, terhapus sudah di dalam tubuh sosial, di dalam hubungan antar perorangan, antar kelompok, apa yang kita dapat sebut sebagai perang sehari-hari, atau “perang pribadi”.

    Lama kelamaan, perang, praktik-praktik perang dan lembaga-lembaga perang hanya ada di daerah-daerah perbatasan sebagai perwujudan dari hubungan kekerasan yang nyata atau potensial antar negara. Dan pada saat bersamaan, sedikit demi sedikit keseluruhan tubuh sosial dibersihkan dari hubungan-hubungan peperangan (bellicose) yang sebelumnya menjadi bagian integral dalam Abad Pertengahan.

    Perang menjadi sesuatu yang profesional dan teknis, yang diselenggarakan sebuah aparatus militer yang didefinisikan dan di kendalikan secara hati-hati. Inilah yang memunculkan sebuah pembeda antara Negara Modern dengan Negara Abad pertengahan. Pembeda tersebut adalah Angkatan Bersenjata sebagai sebuah lembaga.

    Paradoks Monopoli Negara atas Perang dan Instrumen Kekerasan

    Di saat perang disisihkan ke batas-batas negara dan disentralisasikan, muncul sebuah diskursus. Menurut Foucault, diskursus ini tergolong ganjil pada masanya. Inilah diskursus historis-politis yang pertama tentang masyarakat dan berbeda dengan diskursus filosofis-yuridis yang umumnya diperbincangkan pada masa itu. Dan ia membahas tentang perang, yang pada saat itu dipahami sebagai relasi sosial permanen, landasan tak terhapuskan dari semua hubungan-hubungan dan lembaga-lembaga kekuasaan.

    Kapan diskursus historis-politis ini muncul? Foucault berargumen, dari pengamatan dan penelusurannya, diskursus ini mengemuka setelah usainya perang-perang saudara dan perang-perang keagamaan di Eropa pada Abad Keenambelas. Akan tetapi, ia bukanlah hasil dari penulisan sejarah ataupun analisis atas perang-perang tersebut.

    Lanjutnya, diskursus ini kelihatan diformulasikan pada masa-masa awal pergolakan politik besar-besaran di Inggris pada Abad 17. Diskursus ini juga muncul di Perancis pada akhir Abad 17, pada akhir masa kekuasaan Louis XIV, dan dalam pergulatan politik lainnya, seperti perjuangan para bangsawan Perancis melawan berdirinya monarki absolut dan administratif.

    Di satu sisi, diskursus ini adalah salah satu alat perjuangan, alat berpolemik dan alat pembangunan kekuatan politik dari kelompok-kelompok borjuis borjuis kecil, dan rakyat, luas untuk melawan monarki absolut. Namun di sisi lain, ia juga adalah diskursus para bangsawan untuk melawan jenis monarki tersebut.

    Foucault juga menunjukkan tokoh-tokoh diskursus ini berasal dari beragam latar belakang sosial. Di Inggris, tokoh-tokohnya adalah Edward Coke (terlahir dari keluarga pengacara) dan John Lilburne (lahir dari bangsawan rendahan) yang mewakili gerakan-gerakan rakyat, sedangkan di Perancis tokoh-tokoh seperti de Boulainvilliers, Freret atau Comte d’Estaing, ketiganya adalah sejarawan. Lalu ada Sieyes, Buonarroti, Augustin Thiery ataupun Courtet. Lalu diikuti oleh para ahli biologi yang rasis, eugenis dan seterusnya.

    Diskursus yang menyebar ini berkarakter intektual, argumennya canggih, dan dihasilkan dari studi di perpustakaan-perpustakaan. Tetapi juga, diskursus ini disebarkan oleh pembicara-pembicara dari kalangan rakyat biasa ataupun anonim.

    Apa yang diajukan oleh diskursus ini?

    Berseberangan dengan apa yang dikatakan teori hak kedaulatan filosofis yuridis, kekuasaan politik tidak bermula di saat perang berhenti. Perang tidak pernah istirahat. Awalnya, perang telah memulai lahirnya Negara: hukum, perdamaian, undang- undang dilahirkan dalam darah dan lumpur pertempuran. Yang dimaksud bukanlah pertempuran yang dibayangkan para filsuf dan ahli hukum. Diskursus ini menegaskan: hukum tidaklah lahir dari alam, ia lahir dari pertempuran nyata, kemenangan, pembantaian, penaklukan yang tanggalnya dicatat sejarah.

    Akan tetapi bukan berarti masyarakat, hukum dan Negara semacam wujud dari gencatan senjata dalam perang ataupun pampasan perang. Hukum bukanlah pasifikasi, karena perang tetap berlanjut di dalam semua mekanisme kekuasaan. Dengan kata lain, perdamaian itu adalah perang yang disamarkan (coded war).

    Sebelum diskursus tersebut menyeruak, gambaran tubuh sosial yang diberikan oleh para filsuf (teori-teori filsafat politik) adalah seperti yang dibayangkan oleh Hobbes atau trias politik. Imaji tersebut kini ditantang oleh konsepsi masyarakat biner yang diajukan oleh diskursus perang permanen.

    Dalam diskursus perang permanen, musuh masih terus mengancam dan perdamaian tidak akan mengakhiri perang. Hanya dengan menjadi pemenang pertempuran final lah perang akan berakhir. Karena itu kita harus selalu bersiap untuk memenangkannya.

  • Meninggalkan Analisis Hak dan Teori Kedaulatan

  • Boulanger

    * Sebuah Catatan untuk Pemilu 2009

    Majalah Tempo edisi 27 Juli 2008 mengulas tentang tokoh-tokoh yang mengajukan diri sebagai kandidat Presiden RI pada Pemilu 2009. Empat di antaranya adalah pensiunan jenderal Angkatan Darat: Sutiyoso, Wiranto, Prabowo, dan Kivlan Zen. Tampilnya keempat tokoh militer ini akan menantang tentunya SBY yang akan maju kembali. Kehadiran mereka serasa mengingatkan kembali kepada sebuah kategori politik dalam gerakan pro-demokratik pra-kejatuhan Suharto: para kapitalis bersenjata. Penggolongan ini sangatlah kuat dalam desakan anti-militerisme dalam transisi demokratik di Indonesia, karena menyatakan bahwa Dwifungsi ABRI didasari oleh kepentingan bisnis para perwira tinggi dengan Jendral Besar Suharto sebagai puncak simbolisnya. Sorotannya juga tajam, menguak bisnis-bisnis para perwira, baik sebagai perseorangan maupun melalui yayasan/koperasi, yang ternyata memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan ekonomi Indonesia di jaman Suharto.

    Kemunculan para mantan perwira ini seperti menyimbolkan sebuah upaya untuk mengesahkan kembali peran militer secara personal dan institusional dalam politik sipil Indonesia. Mungkin ini semacam pembuktian kepada khalayak luas bahwa anti-militerisme itu sama sekali tidak beralasan dan salah, bahwa didikan militer adalah superior dibanding non-militer, bahwa Indonesia lebih baik dipimpin militer, dan seterusnya. Upaya ini semakin terlihat “janggal” dengan diambilnya Hugo Chavez, president Venezuela, sebagai perbandingan. Program-program Chavez yang kiri, dan didukung bahkan oleh sekelompok aktivis komunis (musuh militer Indonesia hingga saat ini), direpresentasikan sebagai “nasionalis”, untuk mematut-matut diri di hadapan para penentang kenaikan harga BBM.

    Tampilnya mereka dan kecenderungan mereka memanfaatkan “kebijakan tidak populer” SBY, membuat saya teringat seorang figur politik Perancis di masa Republik Ketiga: Jenderal Georges Boulanger.

    “Populisme Berpedang”

    Boulanger tampil mencuat di pentas politik Perancis pada awal periode Republik Ketiga (1871-1941), yang berdiri setelah kekalahan Perancis oleh Prusia (Jerman) dan di atas pembantaian rakyat Paris setelah dihancurkannya Komune Paris (1871). Ia juga termasuk dalam pimpinan militer Republik Ketiga di bawah komando Jenderal Patrice Mac-Mahon yang terlibat pembantaian tersebut. Dalam sebuah demokrasi parlementer yang mengakomodasi juga pelaku pelanggaran HAM (Mac-Mahon sempat menjadi Presiden sebelum 1879), Boulanger menjadi Menteri Peperangan pada masa kepresidenan Jules Féry (1879-1885), didukung oleh Partai Radikal.

    Masa akrab Boulanger dengan kelas politik Perancis berakhir ketika ia dipecat oleh PM Maurice Rovier karena melakukan provokasi perang terhadap Prusia, dengan ambisi untuk mengembalikan wilayah Alsace-Lorraine ke tangan Perancis. Akan tetapi sang jenderal sudah terlampau populer sebagai simbol pembela harga diri bangsa Perancis. Ia populer di mata buruh karena menolak menggunakan kekerasan dalam mengatasi krisis pemogokkan pada masa itu. Ia dipuja-puja oleh para prajurit rendahan karena melakukan serangkaian pembaharuan dalam sistem ketentaraan yang dianggap menguntungkan para prajurit. Massa rakyat yang masih dalam aura kekalahan Komune Paris seolah menemukan satria piningitnya, yang membela orang kecil dan sekaligus mengobati luka harga diri mereka sebagai bangsa yang diinjak-injak oleh tentara Jerman yang pada 1871 (sebelum Komune Paris berdiri) angkuh berparade di kota Paris, mendeklarasikan Kekaisaran Jerman di Istana Versailles, dan merampas Alsace-Lorraine.

    Tak mengherankan jika pada masa depresi ekonomi panjang (1880-1895) dan terpecah-belahnya kelompok kiri di tengah gelombang pemogokkan buruh, tokoh Boulanger diterima baik oleh banyak kelompok di kalangan radikal. Boulanger menjadi “tokoh alternatif”, dalam istilah terkini di Indonesia, koran-koran pada masa itu yang tidak puas dengan Republik Ketiga yang parlementer, yang tak habis-habisnya diwarnai skandal dan perebutan jabatan Perdana Menteri. Dan dipecatnya Boulanger menjadi sebuah momentum sebuah gerakan politik yang anti-elit, anti-parlemen, yang didukung oleh mereka yang keluar dari Partai Radikal, para pengikut Blanqui, dan tokoh-tokoh akar rumput di daerah-daerah yang secara tradisional republikan dan kiri. Liga Kaum Patriot yang beranggotakan 200.000 orang menjadi tulang punggung gerakan ini.

    Program Politik Boulanger dirancang oleh para pendukung radikalnya untuk menyatukan orang-orang yang kecewa dengan Republik Ketiga. Meskipun tidak begitu tajam, program ini menjadi senjata Boulanger untuk melawan pemerintah yang sedang buntu. Pada intinya adalah bagaimana mengubah konstitusi, dalam arti pembubaran parlemen dan revisi konstitusional melalui sebuah Konstituante. Namun karena dirancang oleh aktivis-aktivis politik veteran, refleksi yang mendasari program gerakan ini menyuarakan fakta-fakta aktual dan bukanlah dilakukan secara dangkal.

    Meskipun tampil sebagai bentuk protes massa rakyat terhadap elit politik, Boulanger sendiri mendapat dukungan dari kaum monarkis yang mencoba menghentikan laju republikanisme dan sisa-sisa pendukung Louis Bonaparte (Napoleon III) yang sebelumnya jatuh setelah bertekuk lutut di hadapan Prusia. Dengan dukungan uang kedua kelompok tersebut, caleg-caleg gerakan Boulanger dapat melakukan kampanye besar-besaran dan menang terpilih di berbagai kota Perancis. Rakyat yang marah dan berharap kedatangan satria piningit adalah pemilih mereka, sebuah hal yang umum dalam pertumbuhan gerakan populis. Engels, mengutip Bebel, sempat mencatat sebuah fakta: seorang kandidat sosialis hanya memperoleh 17.000 suara, sementara Boulanger memperoleh 244.000 suara.

    Kejatuhan Boulangisme

    Gerakan Boulanger tidak berusia panjang, tidak juga hidup sang jenderal.

    Elit yang berkuasa merasa terancam dengan agitasi gerakan ini yang meluas menjadi protes massa dan krisis politik, di mana intimidasi massa terhadap elit politik begitu besar dan pemogokkan demi pemogokkan terjadi di Paris. Di saat itu pemilu dua putaran terjadi di kota Paris, benteng kaum pertahanan kaum kiri dan republiken. Boulanger menang dengan 57% suara. Kepolisian dan birokrasi juga sudah kerasukan boulangisme. Muncul kesempatan untuk melakukan kudeta bergaya 18 Brumaire (yang dilakukan Napoleon Bonaparte dan diulangi Napoleon III pada 1852). Namun Boulanger tidak memanfaatkan situasi itu, entah karena kesetiaan pada janji republikanisme, ataupun kepercayaannya pada “keamanan dan ketertiban”.

    Dalam menunggu putaran kedua, kaum monarkis dan bonapartis mulai merasa tidak nyaman dengan situasi dan massa radikal ini. Upaya Boulanger untuk menenangkan mereka malah mengakibatkan pendukung lainnya merasa sebal. Melihat kesempatan ini, pemerintah berkuasa serta merta meningkatkan tekanan terhadap Boulanger. Ia dituduh melakukan persekongkolan melawan Negara, korupsi, dan gangguan terhadap keamanan. Dengan pikiran untuk dapat mengendalikan pertarungan elektoral dengan tenang, Boulanger mengasingkan diri ke Belgia.

    Tekanan dari pemerintah semakin kuat, membuat para pendukungnya semakin putus asa hingga menyebarkan tuduhan bahwa pemerintah diisi oleh orang-orang Yahudi dan Freemason tanpa kesetiaan tanah air. Larinya sang jenderal ke Belgia juga meruntuhkan pandangan massa rakyat terhadapnya, dan seolah membuktikan segala tuduhan atas dirinya. Kewarganegaraan Boulanger kemudian dicabut pemerintah sehingga tidak dapat dipilih rakyat, dan kaum monarkis menghentikan dukungan keuangan mereka menjelang putaran kedua pemilihan umum. Kontras dengan putaran pertama, hanya 40 pendukung Boulanger yang terpilih di Parlemen.

    Pada tanggal 30 September 1891, Georges Boulanger mengakhiri hidupnya dengan pistol di Brusel, di atas makam kekasihnya yang meninggal satu bulan sebelumnya.