(lanjutan Catatan kuliah Michel Foucault “Il faut défendre la société” 21 Januari 1976, College de France, Paris)
Karakter Diskursus Perang Permanen
Menurut Foucault, karakteristik pertama dari diskursus perang permanen adalah pandangan atas sebuah masyarakat biner. Masyarakat terbagi menjadi dua kubu yang berseberangan, yang terus melakukan perang secara permanen. Tidak ada yang netral, dan setiap orang pasti akan punya musuh.
Dalam sejarah pemikiran Eropa pasca Abad Pertengahan, inilah momen munculnya diskursus politik-kesejarahan (historico-political). Pengajar diskursus ini tidak dapat dan memang tidak berniat untuk mengambil posisi ahli hukum ataupun filsuf, yang netral, universal. Si pengujar adalah seseorang yang bertempur, punya musuh, dan sedang berjuang menuju kemenangan. Jika ia bicara tentang kebenaran dan hak, ia akan menuntut hak “miliknya”. Hak-haknya bersifat tunggal dan ditandai oleh relasi-relasi kepemilikan, penaklukan, kemenangan, ataupun alami. Ia bisa berwujud hak dari keluarga ataupun rasnya, hak dari keunggulan atau senioritasnya, hak dari invasi yang berhasil, atau hak dari pendudukkan. Karena tidak bermaksud melakukan penyimpulan yang netral, yang dilakukan adalah penyimpulan yang dapat menguntungkan posisi tempurnya. Artinya, kebenaran diskursus ini adalah dari perspektif pencapaian kemenangan dan keberlangsungan (survival) dari pengajar diskursus itu sendiri.
Diskursus ini menetapkan sebuah hubungan yang fundamental antara relasi-relasi kekuatan dan relasi-relasi kebenaran. Artinya, identifikasi kebenaran dengan perdamaian atau netralitas) yang merupakan pembentuk filsafat Yunani, telah hancur. Dalam diskursus ini, dengan berpihak, mengambil posisi, seseorang dapat lebih menyuarakan kebenaran, lebih dapat menerjemahkan kebenaran. Buatnya, yang terpenting bagaimana kebenaran memperkuat mereka, atau mengubah perimbangan kekuatan atupun memperbesar ketimpangan, atau akhirnya kebenaran akhirnya memberikan kemenangan pada salah satu pihak. Foucault menekankan, subyek yang mengajukan diskursus ini adalah subyek yang sedang berperang. Dan jelas, diskursus ini menciptakan riak di antara diskursus-diskursus tentang kebenaran dan hukum yang telah ada selama ribuan tahun.
Kedua, ini adalah diskursus yang membalikkan nilai-nilai, keseimbangan, dan polaritas dari pemahaman. Ia juga mensyaratkan penjelasan dari bawah. Namun penjelasan dari bawah bukanlah sesuatu yang jelas dan sederhana. Penjelasan semacam itu artinya menjelaskan dalam keadaan yang campur aduk, kacau, dan bisa bersifat kebetulan. Apa yang diajukan untuk. melakukan interpretasi atas masyarakat dan keteraturan nya yang kasatmata adalah campur-aduk dari kekerasan, hasrat, kebencian, kemarahan, kekecewaan dan kepahitan. Seperti meminta dewa perang menjelaskan hari-hari panjang dari keteraturan kerja, perdamaian, dan keadilan.
Jadi apakah prinsip yang menjelaskan sejarah? Pada mulanya serangkaian fakta kasar, fakta fisik- biologis: kekuatan fisik, daya, energi, pembiakkan sebuah ras, kelemahan ras lainnya, dan seterusnya. Serangkaian peristiwa: kekalahan, kemenangan, kegagalan atau keberhasilan dari pemberontakkan, kegagalan atau keberhasilan dari persekongkolan antara persekutuan, dan setumpuk elemen psikologis dan moral (keberanian, ketakutan. kebencian, lupa, dan seterusnya). Menurut diskursus ini, tubuh/ hasrat, dan peristiwa yang saling tersangkut-paut adalah pembentuk jaringan permanen dari sejarah dan masyarakat. Di atas itu akan dibangun dengan rentan dan superfisial sebuah rasionalitas yang bertumbuh. Rasionalitas dari perhitungan, strategi, dan muslihat; rasionalitas dari prosedur teknis yang digunakan untuk berlangsungnya kemenangan, untuk membungkam perang, dan untuk menjaga atau membalikkan relasi-relasi kekuatan. Rasional tersebut, semakin ditarik ke atas, semakin abstrak, semakin terikat dengan kerentanan dan ilusi, dan semakin terikat dengan kelicikan dan kekejian dari mereka yang mencapai kemenangan sementara
Skema penjelasan yang diajukan oleh diskursus ini memiliki poros yang berbeda dengan skema tradisional yang biasa kita lihat. Kita lihat sebuah poros yang pada ujung dasarnya sebuah irasionalitas fundamental dan permanen. Di ujung atas poros tersebut ada sebuah rasionalitas rentan dan sementara, yang selalu terkait dengan ilusi dan kekejian. Rasio (akal budi, raison) berada di penjuru mimpi liar, muslihat, kekejian. Sementara, kebenaran berada di penjuru yang sama dengan sebuah brutalitas elementer: sekumpulan sikap, tindakan, hasrat, kemurkaan. Jelas poros penjelasan ini berbeda dengan yang sebelumnya dipakai untuk menjelaskan hukum dan sejarah.
Karakteristik penting ketiga dari diskursus ini adalah bahwa ia dikembangkan dalam dimensi kesejarahan. Ia ditempatkan ke dalam sebuah sejarah yang tidak memiliki lingkup, akhir dan batasan. Ia tidak bermaksud membuat sejarah yang monoton sebagai sebuah fakta permukaan/superfisial yang akan diperlakukan ke dalam beberapa prinsip yang ajeg dan fundamental, ia tidak bermaksud mengadili pemerintahan yang lalim, penyalahgunaan dan kekerasan, yang disandingkan dengan skema-skema ideal (apakah itu hukum alam, kehendak Tuhan, atau prinsip-prinsip fundamental dan seterusnya). Diskursus ini malah bermaksud mendefinisikan dan mengungkap di bawah bentuk- bentuk keadilan sebagaimana dilembagakan, di bawah keteraturan sebagaimana ditegakkan, di bawah pelembagaan sebagaimana diterima, masa lalu yang dilupakan dari perjuangan-perjuangan nyata, kemenangan-kemenangan efektif, kekalahan-kekalahan yang mungkin disembunyikan tapi tetap tercatat secara mendalam. Ia bermaksud mencari darah yang mengering dalam peraturan, dan konsekuensinya bukan mencari, di bawah mengambangnya sejarah, kemutlakan hukum. Yang dicari: di bawah stabilitas hukum, ketakterhinggaan sejarah; di bawah formula undang-undang. teriakan-teriakan pertempuran; di bawah keseimbangan dari keadilan, ketidak simetrian kekuatan-kekuatan.
Melihat sisi kesejarahannya, kita tidak dapat mengatakannya sebagai sesuatu yang relatif. Ia tidak memiliki hubungan apapun dengan yang absolut. Diskursus ini berada dalam ketakterhinggaan sejarah yang sepertinya “di-tak-relatifkan”, dari sebuah disolusi abadi dalam mekanisme dan kejadian yang berasal dari kekuatan, kekuasaan, dan perang.
Kolonisasi oleh Filsafat dan Hukum
Di saat yang bersamaan, berkembang luas teori atau konsep filsafat dialektika. Dialektika bisa saja terlihat sebagai diskursus tentang gerak universal dan historis dari kontradiksi dan perang. Tapi jika dilihat lebih mendalam, dialektika mengkerangkakan perjuangan, perang, dan konfrontasi menjadi sebuah logika yang disebut logika kontradiksi; menjadikannya sebuah proses dua tahap, totalisasi dan penemuan, dari sebuah rasionalitas yang final dan mendasar secara sekaligus.
Dialektika memastikan pembentukan historis dari sebuah subyek universal, sebuah kebenaran yang direkonsiliasikan, dan sebuah hukum di mana semua partikularitas memiliki tempat seharusnya. Dialektika Hegelian dan semua yang datang setelahnya, menurut Foucault, adalah kolonisasi dan pasifikasi otoriter oleh filsafat dan hukum atas diskursus historis-politis yang merupakan secara sekaligus menjadi laporan resmi, proklamasi dan praktik dari perang sosial. Dialektika adalah pasifikasi diskursus tersebut, oleh orde filosofis dan mungkin juga orde politik.
Catatan Foucault ini perlu digarisbawahi, karena berbagai teori sejarah dan sosial mengedepankan pisau analisa atau perspektif dialektis. Semisal teori perjuangan kelas yang diajukan oleh perspektif Marxian, mengasumsikan bahwa setiap tubuh sosial terdapat pertentangan/kontradiksi antar kelas-kelas sosial (class struggle). Namun, jika dilihat awal kelahirannya, teori tersebut jelas terinspirasi oleh diskursus perang permanen yang saat itu berkembang pesat di kalangan intelektual priyayi dan jelata Eropa. Dengan membalikkan Dialektika Hegelian, seorang intelektual jelata seperti Karl Marx mengkolonisasi diskursus perang permanen menjadi teori perjuangan kelas.
Saat Mitologi dan Pengetahuan Bertemu
Mungkin karena alasan itulah diskursus ini dapat dikatakan berasal dari kalangan bangsawan yang mengenang kejayaan masa lalu atau para begawan di perpustakaan. Namun jika ditilik lebih lanjut, dari masa awalnya, sampai akhir Abad 19 dan juga pada Abad 20, diskursus ini bergerak dengan dan tertanam di dalam bentuk-bentuk mitos yang paling tradisional. Di dalam diskursus ini terdapat pengetahuan subtil yang dikawinkan dengan mitos-mitos besar. Ia diartikulasikan dalam skema penyampaian sejarah yang serupa dengan mitologi. Jaman nenek moyang yang gilang gemilang, masa kini yang suram, jaman baru yang menjelang, dan pada akhirnya datangnya kerajaan baru yang akan hapuskan kekalahan-kekalahan di masa lampau.
Mitologi semacam ini menjadi kendaraan dari diskursus perang permanen. Di masa abad pertengahan, ia menyatu dengan cerita-cerita tentang raja dan pangeran yang dikalahkan musuh yang keji, yang nantinya akan terlahir kembali dan akan membebaskan rakyatnya. Seperti halnya cerita-cerita mengenai Ratu Adil, ia dapat membuat massa menunggu hari pembalasan, datangnya pimpinan baru, Fuhrer baru; atau kerajaan terakhir, Reich ketiga yang menjadi Dajjal sekaligus menjadi penyelamat kaum miskin. Kembalinya “pimpinan besar” seperta Edward si Pengaku-dosa, Charlemagne atau Frederik yang selama ini tertidur di sebuah gua antah-berantah dan kemudian kembali bangun untuk memimpin perang baru, demi kemenangan yang definitif.
Artinya, diskursus perang permanen bukan hanya sebatas ciptaan menyedihkan dari kalangan kutu-buku saja. Diskursus ini mempertemukan sebuah pengetahuan yang dimiliki para bangsawan yang sedang dalam kemunduran, gelora dari mitos-mitos, dan semangat pembalasan rakyat jelata. Diskursus ini mungkin saja adalah diskursus historis-politis yang pertama menantang diskursus filosofis-yuridis. Ia adalah diskursus yang menggunakan kebenaran khusus sebagai senjata untuk sebuah kemenangan yang mutlak. Ia adalah sebuah diskursus yang kritis dengan sadar, namun juga dipenuhi mitos. Karena itu ia akan dipandang sebelah mata oleh para filsuf dan ahli hukum. Ia akan segera diabaikan pada masa itu. Paling mungkin ia memiliki akar di masa Yunani klasik, di antara para sofis yang paling culas.
Yang menarik, menurut Foucault, diskursus ini mulai muncul, atau muncul kembali, antara akhir Abad 16 dan sekitar Abad 17, di saat adanya tantangan ganda dari rakyat jelata dan bangsawan terhadap kekuasaan raja. Diskursus ini berkembang luas dan mengemuka dengan cepat hingga akhir Abad 19 dan di Abad 20.
Langkah Kelanjutan Studi
Foucault melanjutkan studinya dengan dua hal penting.
Pertama-tama, ia melepaskan semua hubungan-hubungan sesat yang biasanya kita lakukan dalam membahas diskursus historis-politis. Hubungan-hubungan kekuasaan/perang, kekuasaan/relasi kuasa sering kali dikaitkan dengan dua nama besar: Hobbes dan Machiavelli. Foucault ingin menunjukkan bahwa diskursus historis-politis bukanlah bagian politik Sang Pangeran atau kekuasaan absolut. Para pengujar diskursus historis-politis memandang Sang Pangeran hanyalah sebuah ilusi, sebuah instrumen, atau bahkan sebagai musuh.
Kedua, ia bermaksud menunjukkan titik kemunculan diskursus tersebut. Mulanya, diskursus ini muncul di dekade 1630an seputar perlawanan jelata dan borjuis kecil di Inggris. Diskursus ini beredar di kalangan Kaum Puritan dan Kaum Leveller. Limapuluh tahun kemudian, diskursus ini muncul di kelompok atau kelas sosial yang berseberangan di Perancis, di kalangan bangsawan yang kecewa dan sedang melawan kekuasaan Raja pada akhir kekuasaan Louis XIV. Bentuk ide tersebut persisnya adalah perang yang berlangsung di bawah perdamaian dan ketertiban, yang berlangsung dalam masyarakat kita dan membelahnya secara biner, adalah pada dasarnya perang antar ras. Dengan segera, diskursus tersebut menggarisbawahi elemen-elemen fundamental yang memungkinkan dan memastikan berlangsungnya dan berkembangnya perang tersebut: perbedaan etnis, perbedaan bahasa; perbedaan kekuatan, kegigihan, energi, dan kekerasan; perbedaan kebrutalan dan kebarbaran; penaklukan sebuah ras atas ras lainnya. Tubuh sosial diartikulasikan dalam dua ras, di mana para pendukung dari teori tersebut mencari wajah dan mekanisme dari perang sosial.
Dari kedua poin tersebut, Foucault bermaksud menelusuri sejarah pada masa Revolusi Perancis dan awal Abad 19, dengan Augustin dan Amédée Thierry, dan bagaimana teori ras mengalami dua transkripsi. Transkripsi pertama bersifat biologis, yang sudah berlangsung jauh sebelum Darwin dan yang meminjam diskursusnya dari autonomo-fisiologi materialis, lengkap dengan elemen-elemennya, konsep-konsepnya dan kosakatanya. Transkripsi ini juga menyokong dirinya di atas sebuah filologi, yang menjadi kelahiran teori ras dalam makna historis-biologis. Teori tersebut terartikulasikan dalam gerakan-gerakan kebangsaan dan perjuangan kebangsaan melawan aparatus raksasa Negara (terutama Austria dan Rusia) pada Abad 17 dan juga terartikulasi dalam politik kolonisasi Eropa.
Transkripsi kedua, bergerak di tema besar teori perang sosial yang berkembang pada awal Abad 19 dan cenderung untuk menghapuskan semua jejak konflik ras untuk mendefinisikan perjuangan kelas. Di sini tampak sebuah pencabangan yang penting, yang berkorespon dengan analisa atas perjuangan tersebut dalam bentuk dialektika dan analisa pergulatan tersebut dalam teori evolusionisme dan perjuangan untuk hidup. Foucault bermaksud untuk menunjukkan perkembangan sebuah rasisme biologis-sosial, dengan sebuah ide, yang benar-benar baru dan menyebabkan diskursus tersebut berjalan dengan berbeda, bahwa ras yang lain sebenarnya bukan yang tiba dari tempat lain, bukan yang menang dan dominan, tetapi dari ras yang secara permanen dan tanpa henti, menyusup dalam tubuh sosial, atau lebih tepatnya menciptakan dirinya di dalam dan berangkat dari tubuh sosial. Dengan kata lain, apa yang dilihat sebagai perpecahan, sebagai pembagian biner dalam masyarakat, bukanlah pertarungan antara dua ras yang saling terpisah, tetapi pembelahan dari sebuah ras yang sama menjadi sebuah ras atas dan ras bawah.
Dengan begitu, terdapat sebuah konsekuensi penting. Diskursus perjuangan ras, yang pada awal kemunculan dan berjalannya pada Abad 17 adalah alat perjuangan dari pihak-pihak yang menjauhi posisi sentral, menjadi diskursus yang bergeser ke sentral dan menjadi diskursus kekuasaan, dari sebuah kekuasaan terpusat, kekuasaan tersentralisasi dan kekuasaaan yang mensentralisasi. Sebuah diskursus dari pertarungan yang bukan dijalankan antara dua ras, tetapi dari sebuah ras yang dianggap sebagai yang benar dan satu-satunya, ras yang memegang kekuasaan dan pemilik dari norma, melawan mereka yang dianggap berbeda dengan norma tersebut, melawan mereka yang dianggap berbahaya terhadap warisan biologis. Artinya, sejak saat itu semua diskursus biologis-rasis tentang degenerasi (rasial) dan juga semua institusi yang menjalankan diskursus perjuangan ras ke dalam tubuh sosial adalah asal-muasal dari eliminasi, segregasi dan akhirnya normalisasi dari masyarakat.
Artinya, diskursus yang dibahas Foucault ini meninggalkan formulasi awalnya: “Kita harus membela diri melawan musuh-musuh kita karena sebenarnya aparatus Negara, undang-undang, struktur kekuasaan bukan saja tidak membela kita melawan musuh-musuh kita, namun mereka adalah instrumen musuh-musuh kita dalam memburu dan menaklukkan kita.” Diskursus tersebut melenyap. Diskursus tersebut kini berubah, “Kita harus membela masyarakat melawan semua marabahaya biologis yang berasal dari ras lain, dari sub-ras lain, dari kontra-ras yang saat ini, bertentangan dengan kemauan kita, tengah kita jalankan pembentukkannya.” Tema rasis kini bukan lagi alat perjuangan sebuah kelompok sosial melawan kelompok sosial lainnya, tetapi telah menjadi sebuah strategi global dari konservativisme sosial.
Berlawanan dengan apa yang ditemukan Foucault di awal, kini ia menemukan paradoks atas tujuan dan bentuk awal dari diskursus yang sedang ia paparkan. Ia menemukan awalan dari rasisme Negara, sebuah rasisme yang dijalankan sebuah masyarakat atas dirinya sendiri, atas elemen-elemen dirinya, atas segala macam keturunannya. Sebuah rasisme internal, dari pemurnian permanen, yang akan menjadi dimensi dasar dari normalisasi sosial.
Leave a Reply