Tag: Biopower

  • Menggali Genealogi dan Arkeologi Kekuasaan – Catatan dan Komentar (Bagian 1)

    Judul : Foucault : The Birth of Power
    Penulis : Stuart Elden
    Penerbit : Polity Press, Cambridge, UK
    Tahun Penerbitan : 2017

    Relevansi

    Buku yang ditulis Stuart Elden, Profesor Teori Politik dan Geografi Universitas Warwick dan Universitas Monash, seperti bertepatan dengan upaya saya untuk kembali mempelajari dan merefleksikan pemikiran dan observasi Foucault tentang kekuasaan. Buku ini sebenarnya dituliskan dari material-material yang diteliti Elden dalam menyusun buku lain yang berjudul Foucault’s Last Decade (Polity, 2016).

    Elden bermaksud mengkonsolidasikan catatan-catatan yang dimilikinya untuk memahami awalan dan perubahan yang dilalui oleh pemikiran Foucault tentang kekuasaan. Elden berpendapat Foucault mengubah agenda riset yang menyibukannya selama dekade 1960, setelah kembali dari tugas mengajar di Tunisia. Pengalaman mengajar beberapa tahun di sana hingga 1969 dan perlawanan mahasiswa dan buruh pada Mei 1968 yang mendorong pembubaran Republik Perancis ke-IV, dinilai Elden sebagai penanda perubahan Foucault dari teoritis dan metologis menjadi lebih aktivis dan kolaboratif.

    Foucault melibatkan diri dalam riset-riset advokasi, khususnya terkait dengan lembaga penjara dan lembaga kesehatan. Riset-riset tersebut mengkaitkan erat dunia aktivis dan akademis Foucault.

    Catatan-catatan dari buku ini cukup membantu dalam mempelajari pemikiran-pemikiran Foucault tentang kekuasaan yang sedang saya lakukan. Fokus buku ini adalah periode 1969-1974, tahun-tahun pertama Foucault menjabat sebagai pengajar di College de France. Elden sendiri, dalam buku ini mencoba memahami apa yang pada saat itu diupayakan Foucault dan bagaimana ia melakukannya. Pendeknya, genealogi kemunculan pertanyaan tentang kekuasaan dan makna genealogi dalam karya-karya Foucault.

    Susunan Buku

    Elden membagi buku ini ke dalam tujuh bab, termasuk pengantar. Tiga bab setelah Bab Pengantar diberi judul dari tiga konsep yang dijadikan Foucault sebagai fokus pada kuliah berseri di Universitas Katolik Pontifikal Rio de Janeiro, Brazil, pada 21-25 Meil 1973. Ketiga konsep tersebut adalah measure, inquiry, dan examination (kurang lebih dalam bahasa Indonesia: ukuran, penyelidikan, dan pemeriksaan). Measure menjadi tema dasar dalam kuliah La volonté de savoir(Keinginan untuk Tahu, 1970-1971), inquiry muncul pada kuliah Théories et institutions pénales (Teori dan Kelembagaan Penghukuman, 1971-1972), dan examination adalah sebuah fokus dalam la Société punitive (Masyarakat Penghukum, 1972-1973).

    Tiga bab berikutnya diberikan judul sesuai dengan tema-tema penelitian Foucault sebelum karyanya yang terkenal_History of Sexuality_: kegilaan, disiplin dan penyakit. Ketiga tema tersebut merupakan kerja problematisasi Foucault dari apa yang ia sebut sebagai sejarah dari masa kini (histoire au présent). Di beberapa titik, tema-tema tersebut meninjau kembali karya-karya Foucault sebelumnya namun memperdalam dan berhubungan dengan problematisasi kekuasaan di tema lain. Menurut Elden, contoh pada Psychiatric Power menunjukkan diskusi tentang kekuasaan yang terhubung dengan diskusi di buku lain seperti Discipline and Punish, yang merupakan sebuah analisis sejarah, kelembagaan, dan sosial atas bagaimana “pengetahuan berfungsi sebagai kekuasaan”.

    Penyusunan tersebut mungkin mencerminkan catatan Elden pada bab penutup buku, bahwa karya-karya Foucault diarahkan untuk menjadi “kotak alat” di mana pembaca dapat mengambil alat-alat di dalamnya untuk menyelesaikan masalah. Foucault pernah menggambarkan dirinya sebagai seorang artificer (petugas zeni) yang bertugas memetakan pertahanan lawan dan cara mendobraknya, sebagai seseorang yang mengkonsepkan, membangun, membongkar atau membebaskan jalan.
    (Bersambung)

  • Perang sebagai Pisau Analisa Politik (Bagian 3)

    (lanjutan Catatan kuliah Michel Foucault “Il faut défendre la société” 21 Januari 1976, College de France, Paris)

    Karakter Diskursus Perang Permanen

    Menurut Foucault, karakteristik pertama dari diskursus perang permanen adalah pandangan atas sebuah masyarakat biner. Masyarakat terbagi menjadi dua kubu yang berseberangan, yang terus melakukan perang secara permanen. Tidak ada yang netral, dan setiap orang pasti akan punya musuh.

    Dalam sejarah pemikiran Eropa pasca Abad Pertengahan, inilah momen munculnya diskursus politik-kesejarahan (historico-political). Pengajar diskursus ini tidak dapat dan memang tidak berniat untuk mengambil posisi ahli hukum ataupun filsuf, yang netral, universal. Si pengujar adalah seseorang yang bertempur, punya musuh, dan sedang berjuang menuju kemenangan. Jika ia bicara tentang kebenaran dan hak, ia akan menuntut hak “miliknya”. Hak-haknya bersifat tunggal dan ditandai oleh relasi-relasi kepemilikan, penaklukan, kemenangan, ataupun alami. Ia bisa berwujud hak dari keluarga ataupun rasnya, hak dari keunggulan atau senioritasnya, hak dari invasi yang berhasil, atau hak dari pendudukkan. Karena tidak bermaksud melakukan penyimpulan yang netral, yang dilakukan adalah penyimpulan yang dapat menguntungkan posisi tempurnya. Artinya, kebenaran diskursus ini adalah dari perspektif pencapaian kemenangan dan keberlangsungan (survival) dari pengajar diskursus itu sendiri.

    Diskursus ini menetapkan sebuah hubungan yang fundamental antara relasi-relasi kekuatan dan relasi-relasi kebenaran. Artinya, identifikasi kebenaran dengan perdamaian atau netralitas) yang merupakan pembentuk filsafat Yunani, telah hancur. Dalam diskursus ini, dengan berpihak, mengambil posisi, seseorang dapat lebih menyuarakan kebenaran, lebih dapat menerjemahkan kebenaran. Buatnya, yang terpenting bagaimana kebenaran memperkuat mereka, atau mengubah perimbangan kekuatan atupun memperbesar ketimpangan, atau akhirnya kebenaran akhirnya memberikan kemenangan pada salah satu pihak. Foucault menekankan, subyek yang mengajukan diskursus ini adalah subyek yang sedang berperang. Dan jelas, diskursus ini menciptakan riak di antara diskursus-diskursus tentang kebenaran dan hukum yang telah ada selama ribuan tahun.

    Kedua, ini adalah diskursus yang membalikkan nilai-nilai, keseimbangan, dan polaritas dari pemahaman. Ia juga mensyaratkan penjelasan dari bawah. Namun penjelasan dari bawah bukanlah sesuatu yang jelas dan sederhana. Penjelasan semacam itu artinya menjelaskan dalam keadaan yang campur aduk, kacau, dan bisa bersifat kebetulan. Apa yang diajukan untuk. melakukan interpretasi atas masyarakat dan keteraturan nya yang kasatmata adalah campur-aduk dari kekerasan, hasrat, kebencian, kemarahan, kekecewaan dan kepahitan. Seperti meminta dewa perang menjelaskan hari-hari panjang dari keteraturan kerja, perdamaian, dan keadilan.

    Jadi apakah prinsip yang menjelaskan sejarah? Pada mulanya serangkaian fakta kasar, fakta fisik- biologis: kekuatan fisik, daya, energi, pembiakkan sebuah ras, kelemahan ras lainnya, dan seterusnya. Serangkaian peristiwa: kekalahan, kemenangan, kegagalan atau keberhasilan dari pemberontakkan, kegagalan atau keberhasilan dari persekongkolan antara persekutuan, dan setumpuk elemen psikologis dan moral (keberanian, ketakutan. kebencian, lupa, dan seterusnya). Menurut diskursus ini, tubuh/ hasrat, dan peristiwa yang saling tersangkut-paut adalah pembentuk jaringan permanen dari sejarah dan masyarakat. Di atas itu akan dibangun dengan rentan dan superfisial sebuah rasionalitas yang bertumbuh. Rasionalitas dari perhitungan, strategi, dan muslihat; rasionalitas dari prosedur teknis yang digunakan untuk berlangsungnya kemenangan, untuk membungkam perang, dan untuk menjaga atau membalikkan relasi-relasi kekuatan. Rasional tersebut, semakin ditarik ke atas, semakin abstrak, semakin terikat dengan kerentanan dan ilusi, dan semakin terikat dengan kelicikan dan kekejian dari mereka yang mencapai kemenangan sementara

    Skema penjelasan yang diajukan oleh diskursus ini memiliki poros yang berbeda dengan skema tradisional yang biasa kita lihat. Kita lihat sebuah poros yang pada ujung dasarnya sebuah irasionalitas fundamental dan permanen. Di ujung atas poros tersebut ada sebuah rasionalitas rentan dan sementara, yang selalu terkait dengan ilusi dan kekejian. Rasio (akal budi, raison) berada di penjuru mimpi liar, muslihat, kekejian. Sementara, kebenaran berada di penjuru yang sama dengan sebuah brutalitas elementer: sekumpulan sikap, tindakan, hasrat, kemurkaan. Jelas poros penjelasan ini berbeda dengan yang sebelumnya dipakai untuk menjelaskan hukum dan sejarah.

    Karakteristik penting ketiga dari diskursus ini adalah bahwa ia dikembangkan dalam dimensi kesejarahan. Ia ditempatkan ke dalam sebuah sejarah yang tidak memiliki lingkup, akhir dan batasan. Ia tidak bermaksud membuat sejarah yang monoton sebagai sebuah fakta permukaan/superfisial yang akan diperlakukan ke dalam beberapa prinsip yang ajeg dan fundamental, ia tidak bermaksud mengadili pemerintahan yang lalim, penyalahgunaan dan kekerasan, yang disandingkan dengan skema-skema ideal (apakah itu hukum alam, kehendak Tuhan, atau prinsip-prinsip fundamental dan seterusnya). Diskursus ini malah bermaksud mendefinisikan dan mengungkap di bawah bentuk- bentuk keadilan sebagaimana dilembagakan, di bawah keteraturan sebagaimana ditegakkan, di bawah pelembagaan sebagaimana diterima, masa lalu yang dilupakan dari perjuangan-perjuangan nyata, kemenangan-kemenangan efektif, kekalahan-kekalahan yang mungkin disembunyikan tapi tetap tercatat secara mendalam. Ia bermaksud mencari darah yang mengering dalam peraturan, dan konsekuensinya bukan mencari, di bawah mengambangnya sejarah, kemutlakan hukum. Yang dicari: di bawah stabilitas hukum, ketakterhinggaan sejarah; di bawah formula undang-undang. teriakan-teriakan pertempuran; di bawah keseimbangan dari keadilan, ketidak simetrian kekuatan-kekuatan.

    Melihat sisi kesejarahannya, kita tidak dapat mengatakannya sebagai sesuatu yang relatif. Ia tidak memiliki hubungan apapun dengan yang absolut. Diskursus ini berada dalam ketakterhinggaan sejarah yang sepertinya “di-tak-relatifkan”, dari sebuah disolusi abadi dalam mekanisme dan kejadian yang berasal dari kekuatan, kekuasaan, dan perang.

    Kolonisasi oleh Filsafat dan Hukum

    Di saat yang bersamaan, berkembang luas teori atau konsep filsafat dialektika. Dialektika bisa saja terlihat sebagai diskursus tentang gerak universal dan historis dari kontradiksi dan perang. Tapi jika dilihat lebih mendalam, dialektika mengkerangkakan perjuangan, perang, dan konfrontasi menjadi sebuah logika yang disebut logika kontradiksi; menjadikannya sebuah proses dua tahap, totalisasi dan penemuan, dari sebuah rasionalitas yang final dan mendasar secara sekaligus.

    Dialektika memastikan pembentukan historis dari sebuah subyek universal, sebuah kebenaran yang direkonsiliasikan, dan sebuah hukum di mana semua partikularitas memiliki tempat seharusnya. Dialektika Hegelian dan semua yang datang setelahnya, menurut Foucault, adalah kolonisasi dan pasifikasi otoriter oleh filsafat dan hukum atas diskursus historis-politis yang merupakan secara sekaligus menjadi laporan resmi, proklamasi dan praktik dari perang sosial. Dialektika adalah pasifikasi diskursus tersebut, oleh orde filosofis dan mungkin juga orde politik.

    Catatan Foucault ini perlu digarisbawahi, karena berbagai teori sejarah dan sosial mengedepankan pisau analisa atau perspektif dialektis. Semisal teori perjuangan kelas yang diajukan oleh perspektif Marxian, mengasumsikan bahwa setiap tubuh sosial terdapat pertentangan/kontradiksi antar kelas-kelas sosial (class struggle). Namun, jika dilihat awal kelahirannya, teori tersebut jelas terinspirasi oleh diskursus perang permanen yang saat itu berkembang pesat di kalangan intelektual priyayi dan jelata Eropa. Dengan membalikkan Dialektika Hegelian, seorang intelektual jelata seperti Karl Marx mengkolonisasi diskursus perang permanen menjadi teori perjuangan kelas.

    Saat Mitologi dan Pengetahuan Bertemu

    Mungkin karena alasan itulah diskursus ini dapat dikatakan berasal dari kalangan bangsawan yang mengenang kejayaan masa lalu atau para begawan di perpustakaan. Namun jika ditilik lebih lanjut, dari masa awalnya, sampai akhir Abad 19 dan juga pada Abad 20, diskursus ini bergerak dengan dan tertanam di dalam bentuk-bentuk mitos yang paling tradisional. Di dalam diskursus ini terdapat pengetahuan subtil yang dikawinkan dengan mitos-mitos besar. Ia diartikulasikan dalam skema penyampaian sejarah yang serupa dengan mitologi. Jaman nenek moyang yang gilang gemilang, masa kini yang suram, jaman baru yang menjelang, dan pada akhirnya datangnya kerajaan baru yang akan hapuskan kekalahan-kekalahan di masa lampau.

    Mitologi semacam ini menjadi kendaraan dari diskursus perang permanen. Di masa abad pertengahan, ia menyatu dengan cerita-cerita tentang raja dan pangeran yang dikalahkan musuh yang keji, yang nantinya akan terlahir kembali dan akan membebaskan rakyatnya. Seperti halnya cerita-cerita mengenai Ratu Adil, ia dapat membuat massa menunggu hari pembalasan, datangnya pimpinan baru, Fuhrer baru; atau kerajaan terakhir, Reich ketiga yang menjadi Dajjal sekaligus menjadi penyelamat kaum miskin. Kembalinya “pimpinan besar” seperta Edward si Pengaku-dosa, Charlemagne atau Frederik yang selama ini tertidur di sebuah gua antah-berantah dan kemudian kembali bangun untuk memimpin perang baru, demi kemenangan yang definitif.

    Artinya, diskursus perang permanen bukan hanya sebatas ciptaan menyedihkan dari kalangan kutu-buku saja. Diskursus ini mempertemukan sebuah pengetahuan yang dimiliki para bangsawan yang sedang dalam kemunduran, gelora dari mitos-mitos, dan semangat pembalasan rakyat jelata. Diskursus ini mungkin saja adalah diskursus historis-politis yang pertama menantang diskursus filosofis-yuridis. Ia adalah diskursus yang menggunakan kebenaran khusus sebagai senjata untuk sebuah kemenangan yang mutlak. Ia adalah sebuah diskursus yang kritis dengan sadar, namun juga dipenuhi mitos. Karena itu ia akan dipandang sebelah mata oleh para filsuf dan ahli hukum. Ia akan segera diabaikan pada masa itu. Paling mungkin ia memiliki akar di masa Yunani klasik, di antara para sofis yang paling culas.

    Yang menarik, menurut Foucault, diskursus ini mulai muncul, atau muncul kembali, antara akhir Abad 16 dan sekitar Abad 17, di saat adanya tantangan ganda dari rakyat jelata dan bangsawan terhadap kekuasaan raja. Diskursus ini berkembang luas dan mengemuka dengan cepat hingga akhir Abad 19 dan di Abad 20.

    Langkah Kelanjutan Studi

    Foucault melanjutkan studinya dengan dua hal penting.

    Pertama-tama, ia melepaskan semua hubungan-hubungan sesat yang biasanya kita lakukan dalam membahas diskursus historis-politis. Hubungan-hubungan kekuasaan/perang, kekuasaan/relasi kuasa sering kali dikaitkan dengan dua nama besar: Hobbes dan Machiavelli. Foucault ingin menunjukkan bahwa diskursus historis-politis bukanlah bagian politik Sang Pangeran atau kekuasaan absolut. Para pengujar diskursus historis-politis memandang Sang Pangeran hanyalah sebuah ilusi, sebuah instrumen, atau bahkan sebagai musuh.

    Kedua, ia bermaksud menunjukkan titik kemunculan diskursus tersebut. Mulanya, diskursus ini muncul di dekade 1630an seputar perlawanan jelata dan borjuis kecil di Inggris. Diskursus ini beredar di kalangan Kaum Puritan dan Kaum Leveller. Limapuluh tahun kemudian, diskursus ini muncul di kelompok atau kelas sosial yang berseberangan di Perancis, di kalangan bangsawan yang kecewa dan sedang melawan kekuasaan Raja pada akhir kekuasaan Louis XIV. Bentuk ide tersebut persisnya adalah perang yang berlangsung di bawah perdamaian dan ketertiban, yang berlangsung dalam masyarakat kita dan membelahnya secara biner, adalah pada dasarnya perang antar ras. Dengan segera, diskursus tersebut menggarisbawahi elemen-elemen fundamental yang memungkinkan dan memastikan berlangsungnya dan berkembangnya perang tersebut: perbedaan etnis, perbedaan bahasa; perbedaan kekuatan, kegigihan, energi, dan kekerasan; perbedaan kebrutalan dan kebarbaran; penaklukan sebuah ras atas ras lainnya. Tubuh sosial diartikulasikan dalam dua ras, di mana para pendukung dari teori tersebut mencari wajah dan mekanisme dari perang sosial.

    Dari kedua poin tersebut, Foucault bermaksud menelusuri sejarah pada masa Revolusi Perancis dan awal Abad 19, dengan Augustin dan Amédée Thierry, dan bagaimana teori ras mengalami dua transkripsi. Transkripsi pertama bersifat biologis, yang sudah berlangsung jauh sebelum Darwin dan yang meminjam diskursusnya dari autonomo-fisiologi materialis, lengkap dengan elemen-elemennya, konsep-konsepnya dan kosakatanya. Transkripsi ini juga menyokong dirinya di atas sebuah filologi, yang menjadi kelahiran teori ras dalam makna historis-biologis. Teori tersebut terartikulasikan dalam gerakan-gerakan kebangsaan dan perjuangan kebangsaan melawan aparatus raksasa Negara (terutama Austria dan Rusia) pada Abad 17 dan juga terartikulasi dalam politik kolonisasi Eropa.

    Transkripsi kedua, bergerak di tema besar teori perang sosial yang berkembang pada awal Abad 19 dan cenderung untuk menghapuskan semua jejak konflik ras untuk mendefinisikan perjuangan kelas. Di sini tampak sebuah pencabangan yang penting, yang berkorespon dengan analisa atas perjuangan tersebut dalam bentuk dialektika dan analisa pergulatan tersebut dalam teori evolusionisme dan perjuangan untuk hidup. Foucault bermaksud untuk menunjukkan perkembangan sebuah rasisme biologis-sosial, dengan sebuah ide, yang benar-benar baru dan menyebabkan diskursus tersebut berjalan dengan berbeda, bahwa ras yang lain sebenarnya bukan yang tiba dari tempat lain, bukan yang menang dan dominan, tetapi dari ras yang secara permanen dan tanpa henti, menyusup dalam tubuh sosial, atau lebih tepatnya menciptakan dirinya di dalam dan berangkat dari tubuh sosial. Dengan kata lain, apa yang dilihat sebagai perpecahan, sebagai pembagian biner dalam masyarakat, bukanlah pertarungan antara dua ras yang saling terpisah, tetapi pembelahan dari sebuah ras yang sama menjadi sebuah ras atas dan ras bawah.

    Dengan begitu, terdapat sebuah konsekuensi penting. Diskursus perjuangan ras, yang pada awal kemunculan dan berjalannya pada Abad 17 adalah alat perjuangan dari pihak-pihak yang menjauhi posisi sentral, menjadi diskursus yang bergeser ke sentral dan menjadi diskursus kekuasaan, dari sebuah kekuasaan terpusat, kekuasaan tersentralisasi dan kekuasaaan yang mensentralisasi. Sebuah diskursus dari pertarungan yang bukan dijalankan antara dua ras, tetapi dari sebuah ras yang dianggap sebagai yang benar dan satu-satunya, ras yang memegang kekuasaan dan pemilik dari norma, melawan mereka yang dianggap berbeda dengan norma tersebut, melawan mereka yang dianggap berbahaya terhadap warisan biologis. Artinya, sejak saat itu semua diskursus biologis-rasis tentang degenerasi (rasial) dan juga semua institusi yang menjalankan diskursus perjuangan ras ke dalam tubuh sosial adalah asal-muasal dari eliminasi, segregasi dan akhirnya normalisasi dari masyarakat.

    Artinya, diskursus yang dibahas Foucault ini meninggalkan formulasi awalnya: “Kita harus membela diri melawan musuh-musuh kita karena sebenarnya aparatus Negara, undang-undang, struktur kekuasaan bukan saja tidak membela kita melawan musuh-musuh kita, namun mereka adalah instrumen musuh-musuh kita dalam memburu dan menaklukkan kita.” Diskursus tersebut melenyap. Diskursus tersebut kini berubah, “Kita harus membela masyarakat melawan semua marabahaya biologis yang berasal dari ras lain, dari sub-ras lain, dari kontra-ras yang saat ini, bertentangan dengan kemauan kita, tengah kita jalankan pembentukkannya.” Tema rasis kini bukan lagi alat perjuangan sebuah kelompok sosial melawan kelompok sosial lainnya, tetapi telah menjadi sebuah strategi global dari konservativisme sosial.

    Berlawanan dengan apa yang ditemukan Foucault di awal, kini ia menemukan paradoks atas tujuan dan bentuk awal dari diskursus yang sedang ia paparkan. Ia menemukan awalan dari rasisme Negara, sebuah rasisme yang dijalankan sebuah masyarakat atas dirinya sendiri, atas elemen-elemen dirinya, atas segala macam keturunannya. Sebuah rasisme internal, dari pemurnian permanen, yang akan menjadi dimensi dasar dari normalisasi sosial.

  • Perang sebagai Pisau Analisa Politik (Bagian 2)


    (lanjutan Catatan kuliah Michel Foucault “Il faut défendre la société” 21 Januari 1976, College de France, Paris)

    Tesis Monopoli Negara atas Perang

    Poin penting pada akhir bagian sebelumnya adalah pembalikkan tesis terkenal Clausewitz, yang menjadi: “politik adalah kelanjutan dari perang dengan cara-cara lain.” Foucault berargumen sangatlah mungkin sebenarnya Clausewitz membalikkan tesis tersebut dalam memformulasikan tesis terkenalnya.

    Secara umum, pada perkembangan Negara di masa Abad Pertengahan hingga jaman modern, praktik-praktik dan kelembagaan perang mengalami sebuah evolusi yang sangat terlihat jelas. Pertama-tama, praktik dan kelembagaan perang dikonsentrasikan di bawah sebuah kekuasaan terpusat. Lalu, secara faktual dan secara hukum, hanya kekuasaan Negara yang dapat menyelenggarakan perang dan mengelola instrumen-instrumen peperangan. Karena itu, secara bersamaan, terhapus sudah di dalam tubuh sosial, di dalam hubungan antar perorangan, antar kelompok, apa yang kita dapat sebut sebagai perang sehari-hari, atau “perang pribadi”.

    Lama kelamaan, perang, praktik-praktik perang dan lembaga-lembaga perang hanya ada di daerah-daerah perbatasan sebagai perwujudan dari hubungan kekerasan yang nyata atau potensial antar negara. Dan pada saat bersamaan, sedikit demi sedikit keseluruhan tubuh sosial dibersihkan dari hubungan-hubungan peperangan (bellicose) yang sebelumnya menjadi bagian integral dalam Abad Pertengahan.

    Perang menjadi sesuatu yang profesional dan teknis, yang diselenggarakan sebuah aparatus militer yang didefinisikan dan di kendalikan secara hati-hati. Inilah yang memunculkan sebuah pembeda antara Negara Modern dengan Negara Abad pertengahan. Pembeda tersebut adalah Angkatan Bersenjata sebagai sebuah lembaga.

    Paradoks Monopoli Negara atas Perang dan Instrumen Kekerasan

    Di saat perang disisihkan ke batas-batas negara dan disentralisasikan, muncul sebuah diskursus. Menurut Foucault, diskursus ini tergolong ganjil pada masanya. Inilah diskursus historis-politis yang pertama tentang masyarakat dan berbeda dengan diskursus filosofis-yuridis yang umumnya diperbincangkan pada masa itu. Dan ia membahas tentang perang, yang pada saat itu dipahami sebagai relasi sosial permanen, landasan tak terhapuskan dari semua hubungan-hubungan dan lembaga-lembaga kekuasaan.

    Kapan diskursus historis-politis ini muncul? Foucault berargumen, dari pengamatan dan penelusurannya, diskursus ini mengemuka setelah usainya perang-perang saudara dan perang-perang keagamaan di Eropa pada Abad Keenambelas. Akan tetapi, ia bukanlah hasil dari penulisan sejarah ataupun analisis atas perang-perang tersebut.

    Lanjutnya, diskursus ini kelihatan diformulasikan pada masa-masa awal pergolakan politik besar-besaran di Inggris pada Abad 17. Diskursus ini juga muncul di Perancis pada akhir Abad 17, pada akhir masa kekuasaan Louis XIV, dan dalam pergulatan politik lainnya, seperti perjuangan para bangsawan Perancis melawan berdirinya monarki absolut dan administratif.

    Di satu sisi, diskursus ini adalah salah satu alat perjuangan, alat berpolemik dan alat pembangunan kekuatan politik dari kelompok-kelompok borjuis borjuis kecil, dan rakyat, luas untuk melawan monarki absolut. Namun di sisi lain, ia juga adalah diskursus para bangsawan untuk melawan jenis monarki tersebut.

    Foucault juga menunjukkan tokoh-tokoh diskursus ini berasal dari beragam latar belakang sosial. Di Inggris, tokoh-tokohnya adalah Edward Coke (terlahir dari keluarga pengacara) dan John Lilburne (lahir dari bangsawan rendahan) yang mewakili gerakan-gerakan rakyat, sedangkan di Perancis tokoh-tokoh seperti de Boulainvilliers, Freret atau Comte d’Estaing, ketiganya adalah sejarawan. Lalu ada Sieyes, Buonarroti, Augustin Thiery ataupun Courtet. Lalu diikuti oleh para ahli biologi yang rasis, eugenis dan seterusnya.

    Diskursus yang menyebar ini berkarakter intektual, argumennya canggih, dan dihasilkan dari studi di perpustakaan-perpustakaan. Tetapi juga, diskursus ini disebarkan oleh pembicara-pembicara dari kalangan rakyat biasa ataupun anonim.

    Apa yang diajukan oleh diskursus ini?

    Berseberangan dengan apa yang dikatakan teori hak kedaulatan filosofis yuridis, kekuasaan politik tidak bermula di saat perang berhenti. Perang tidak pernah istirahat. Awalnya, perang telah memulai lahirnya Negara: hukum, perdamaian, undang- undang dilahirkan dalam darah dan lumpur pertempuran. Yang dimaksud bukanlah pertempuran yang dibayangkan para filsuf dan ahli hukum. Diskursus ini menegaskan: hukum tidaklah lahir dari alam, ia lahir dari pertempuran nyata, kemenangan, pembantaian, penaklukan yang tanggalnya dicatat sejarah.

    Akan tetapi bukan berarti masyarakat, hukum dan Negara semacam wujud dari gencatan senjata dalam perang ataupun pampasan perang. Hukum bukanlah pasifikasi, karena perang tetap berlanjut di dalam semua mekanisme kekuasaan. Dengan kata lain, perdamaian itu adalah perang yang disamarkan (coded war).

    Sebelum diskursus tersebut menyeruak, gambaran tubuh sosial yang diberikan oleh para filsuf (teori-teori filsafat politik) adalah seperti yang dibayangkan oleh Hobbes atau trias politik. Imaji tersebut kini ditantang oleh konsepsi masyarakat biner yang diajukan oleh diskursus perang permanen.

    Dalam diskursus perang permanen, musuh masih terus mengancam dan perdamaian tidak akan mengakhiri perang. Hanya dengan menjadi pemenang pertempuran final lah perang akan berakhir. Karena itu kita harus selalu bersiap untuk memenangkannya.

  • Pembatasan Diri Sebagai Pandangan Etis Pemerintahan

    Pengantar: Artikel ini ditulis sebagai tugas akhir Mata Kuliah Etika dalam Program Matrikulasi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Jadi ia tak bisa dikatakan sebagai karya, yang memiliki ide sendiri yang ingin dikembangkan pada saat ia diserahkan tanggal 19 November 2013. Namun dalam pembuatannya ada beberapa argumen menarik, dari sisi etika politik. Karenanya saya publikasikan di situs ini.

    Pendahuluan

    Berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada Mei 1998 juga merupakan sebuah pertanda berakhirnya sebuah rejim, dalam makna keseluruhan dari kelembagaan, praktik-praktik, dan ide-ide yang melingkupi cara bagaimana negara dan masyarakat berjalan. Sejak saat itu, Indonesia berada dalam masa transisi yang panjang, sebuah proses pembangunan rejim baru: lembaga-lembaga pemerintahan yang baru, praktik-praktik tata kelola negara yang baru, dan tentunya ide-ide baru tentang bagaimana roda pemerintahan dijalankan.

    Dalam sebuah transisi seperti pembangunan rejim baru yang berlangsung hingga kini, sangat wajar jika terjadi pergulatan-pergulatan mengenai problem-problem kontemporer yang dihadapi masyarakat tersebut. Dunia politik adalah arena di mana pergulatan-pergulatan tersebut berlangsung, dan partai politik serta politisi, atau dalam pembacaan masa kini, aktor-aktor politik, adalah para petarung yang berupaya menang. Dalam pola pikir semacam ini, sewajarnya pergantian penguasa hasil pemilu dinantikan dengan harapan atas akan adanya perubahan kebijakan. Penguasa yang bercitra kerakyatan, yang memajukan simbol-simbol dekat dengan wong cilik, wajar dinantikan untuk menyediakan kebijakan-kebijakan memudahkan rakyat biasa. Atau juga, calon-calon penguasa yang selalu terlihat dekat dengan para pedagang wajar dinantikan untuk mengeluarkan titah-titah yang memudahkan perdagangan dan pengumpulan kekayaan pribadi.

    Terlepas dari pendambaan atau penantian tadi, berjalannya pembangunan rejim saat ini seperti mengabaikan pakem tersebut. Siapapun yang berkuasa, secara umum kebijakan yang berkaitan dengan penghidupan orang banyak berjalan dalam koridor yang sama: peran korporasi-korporasi besar dalam layanan-layanan publik diperbesar, pelayanan negara dijalankan dalam perhitungan untung rugi, dan terlihat upaya untuk mengurangi peran negara secara umum dalam penghidupan setiap anggota masyarakatnya (semisal, subsidi BBM).

    Menariknya, argumen-argumen pendukung koridor kebijakan tersebut bertumpu pada dua hal. Pertama, adanya obsesi untuk meningkatkan daya saing Indonesia, terutama dalam mendapatkan investasi asing, di antara negeri-negeri lainnya yang sederajat atau berada dalam satu kawasan atau kategori yang sama. Obsesi mengenai daya saing ini mempercayai dengan adanya kompetisi maka akan terjadi perbaikan kualitas. Tumpuan kedua, yang juga terkait dengan yang pertama, adalah pandangan yang memasukkan hubungan-hubungan dagang/komersial sebagai panduan atas semua  hubungan-hubungan yang sehari-hari terjadi dalam tubuh masyarakat.

    Dalam tataran praktis, kehidupan bernegara (civil society atau tata negara) kemudian diukur dengan seberapa jauh negara atau pemerintah mengatur kehidupan warganya. Negara yang dianggap terlalu banyak mengatur dikatakan tidak baik. Negara yang dianggap terlalu banyak terlibat dalam kehidupan warganya juga dikatakan tidak baik. Mengapa? Negara yang bertindak semacam itu akan mengganggu tatanan masyarakat yang berdasarkan pada kompetisi dan hubungan dagang (yang diasumsikan bebas). Pemerintah yang baik, yang bijak (good government), adalah pemerintah yang dapat mengendalikan negara sehingga tidak mengganggu kompetisi dan pasar. Pemerintah yang baik, seharusnya, terus menerus memastikan kompetisi dan pasar berlangsung dan menjaga keduanya agar tidak menjadi malapetaka. Inilah nilai etis utama dari koridor kebijakan-kebijakan negara di masa transisi ini.

    Esai ini mencoba mengupas pandangan etika pemerintahan yang kini menjadi arus utama dalam masa pembangunan rejim baru. Untuk dapat memahami hal tersebut, kita perlu memahami konsepsi ideal negara yang kini diperkenalkan sekaligus konsekuensi-konsekuensi etis dari konsepsi ideal tersebut. Kemudian, esai ini akan mencoba melihat problem etis pemerintahan dan maknanya dalam tata negara.

    Peran Negara yang Ideal dan Etika Pemerintahan

    Kesulitan utama dalam membahas apakah sebuah kebijakan diambil melaui pertimbangan etis yang masak atau tidak, semisal pencabutan subsidi yang berdampak besar dalam penghidupan rakyat, adalah dalam kondisi masa kini sebuah argumen etis mengasumsikan definisi atau narasi atas peran negara yang ideal atau seharusnya. Dengan adanya berbagai macam ideologi politik atau ideologi tata negara, dapat dipastikan beradunya argumen-argumen etis yang berasumsi berbeda-beda. Pencapaian kesepakatan dalam salah satu aspek kebijakan menjadi sulit. Perbedaan ideologi dan pandangan etis ini ditunjukkan bukan untuk mendukung argumen relativitas etis, namun memperlihatkan bahwa kebijakan publik adalah sebuah arena, seperti halnya dunia politik yang tadi ditunjukkan.

    Artinya peran negara yang ideal itu adalah sebuah perdebatan dan akan terus menerus berubah seiring dominasi sebuah ideologi tertentu dalam kekuasaan politik. Potret dari pergulatan ini tentunya dapat kita tangkap dalam konstitusi dan perangkat turunannya, seperti Undang-Undang ataupun Peraturan Pemerintah. Peran negara yang ideal, setidaknya secara resmi (yang artinya menurut mereka yang berkuasa) dapat dilihat di Undang-Undang No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. UU RPJP menurunkan tujuan yang tercantum di Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi delapan misi pembangunan hingga tahun 2025. Dari kedelapan misi tersebut, kita dapat mencatat bahwa setidak-tidaknya ada beberapa peran negara yang idealnya dipenuhi oleh negara. Pertama, negara sebagai pendidik dan pengayom masyarakatnya (misi 1, 2, 3, dan 7). Kedua, negara sebagai penjamin berlangsungnya prinsip kehidupan sosial-politik yang ideal (misi 2, 3, 5, dan 8). Ketiga, negara sebagai penjamin keberlangsungan tatanan masyarakat yang dinaunginya (misi 4, 6, 7, dan 8). Cukup menarik kiranya untuk melihat bahwa misi kedua dari pembangunan nasional adalah mewujudkan bangsa yang berdaya saing.

    Tentunya, ide tentang peran negara yang resmi tetap berada dalam pertarungan dengan ide-ide alternatif, ide-ide yang bergerak dan menyebar di dalam wacana publik. Sebagai contoh, di kalangan pegiat masyarakat sipil, negara yang dibayangkan adalah negara kesejahteraan (Welfare State, État providence) atau negara yang menyediakan fasilitas dan layanan dasar untuk semua warganya. Di kalangan kelas menengah atas yang memiliki usaha-usaha komersial, negara yang dibayangkan adalah negara yang tidak banyak aturan dan berfokus kepada keamanan dan penegakkan hukum.

    Dengan memiliki perbedaan-perbedaan dalam konsep negara ideal menurut pihak-pihak yang berdebat, sangat mungkin kebijakan yang diambil, atau yang memenangkan pertarungan, dapat saja mewakili bukan hanya satu pandangan etis kenegaraan tertentu, tetapi dua atau tiga pandangan sekaligus yang bisa saja saling bertentangan. Sebagai contoh, pilihan pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat didukung oleh dua pandangan, pandangan mengenai negara tidak boleh terlalu dibebani dengan melibatkan diri (atau menjadi sumber daya) dalam penghidupan masyarakat, dan pandangan yang berpendapatan bahwa negara bertugas untuk menjamin keberlangsungan penghidupan masyarakatnya.

    Lalu bagaimana melihat pilihan-pilihan etis dengan situasi mereka yang berdebat memiliki cita-cita negara yang berbeda? Pada akhirnya, seperti dalam banyak kasus, negara modern melakukan perdebatan itu dalam anggaran negara atau kebijakan fiskal. Kembali ke contoh kebijakan subsidi BBM dan mekanisme kompensasi pengurangan subsidi tersebut, argumen yang kemudian mengisolasi persoalan tersebut dari persoalan-persoalan lainnya adalah argumen anggaran: “200 trilyun dibakar”, misalnya. Argumen ini bukan argumen baru, ini adalah argumen ekonomi politik yang diperkenalkan oleh para physiocrat (kelompok intelektual yang meletakkan dasar studi ekonomi pada akhir monarki absolut Perancis).

    Ekonomi politik membuat pengambil kebijakan negara mempertimbangkan batasan-batasan kebijakan negara. Studi ekonomi politik, seperti studi yang dilakukan Adam Smith dalam The Wealth of Nations, menempatkan negara dan tindakannya dalam rasionalitas sehubungan dengan apa yang disebut sebagai hukum-hukum alam dari kegiatan ekonomi. Dengan menyadari dan mematuhi “hukum-hukum alami” dari ekonomi, ekses-ekses kekuasaan yang dialami pada masa Monarki Absolut dapat dihindari, dan negara dijalankan atas prinsip frugal government (negara hemat). Prinsip ini diajukan oleh Thomas Jefferson dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden ketiga Amerika Serikat pada 1801. Ia berpendapat bahwa pemerintahan yang baik (good government) adalah yang mencegah warganya dari saling melukai, membiarkan warganya mengatur sendiri usaha dan perkembangannya, serta tidak mengambil apa-apa yang telah dihasilkan oleh warganya.

    Bisa dilihat kemudian bahwa ide frugal government menjadi etika pembatasan diri negara-negara modern dalam berhubungan dengan masyarakat di mana mereka berada.

    Problem Pembatasan Diri Pemerintah dan Makna Tata Negara (Civil Society)

    Pembatasan diri pemerintah memiliki dua makna. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pembatasan diri (self-limitation) menjadi sebuah prinsip etis dalam menjalankan pemerintahan dalam negara modern. Pembatasan diri juga bermakna dalam mekanisme negara modern, dalam bentuk penyusunan anggaran tahunan. Dengan studi ekonomi politik, para pengambil kebijakan dapat mengetahui sumber daya yang tersedia dalam bentuk gross domestic product (GDP) dan potensi pendapatan negara, seperti pajak dan royalti.

    Etika pembatasan diri ini juga didukung dengan rasionalitas yang dibangun melalui pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan oleh ekonomi politik. Teori tentang inflasi dan perputaran uang memungkinkan pengambil kebijakan negara menghindari bencana yang diakibatkan oleh pencetakkan uang yang berlebihan akibat dari ambisi membiayai intervensi yang dilakukan negara. Pengetahuan mengenai statistika memungkinkan para politisi membicarakan prediksi-prediksi sumber daya di masa mendatang, merencanakan pembangunan fasilitas-fasilitas negara.

    Akan tetapi, pandangan etis yang didukung oleh rasionalitas ini bukan tanpa masalah, terutama saat menghadapi krisis ekonomi. Pandangan etis pembatasan diri dalam menjalankan pemerintahan adalah salah satu alasan utama “dikorbankannya” kepentingan warga negara yang dianggap tidak produktif dan berkontribusi kecil terhadap ekonomi secara keseluruhan. Melalui kacamata etis tersebut, negara harus mengalokasikan anggaran untuk menyelamatkan sektor perbankan yang macet di masa krisis, dibandingkan menyediakan anggaran untuk memastikan layanan-layanan dasar seperti air bersih, energi, kesehatan dan seterusnya tersedia untuk warga negara yang miskin. Dengan etika pembatasan diri, krisis digunakan sebagai alasan untuk “merestrukturisasi” pelayanan negara kepada warga. Pada krisis ekonomi 1997-1998 di Indonesia, negara memilih memotong subsidi-subsidi yang sebelumnya menjadi sistem pendukung kehidupan warga miskin (petani, buruh, nelayan, dan miskin perkotaan) di saat yang sama menyediakan ratusan trilyun rupiah untuk menyelamatkan sektor perbankan yang menjadi salah satu penyebab krisis. Krisis ekonomi global pada tahun 2008 juga menyaksikan hal yang sama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Yunani.

    Dampak dari kebijakan-kebijakan itu luar biasa besar di kalangan warga yang miskin. Kehidupan mayoritas yang miskin kehilangan martabat hidup mereka, kekurangan gizi pada anak-anak dan ibu rumah tangga, angka bunuh diri yang meningkat dan seterusnya.

    Bagaimana sebuah pandangan etis yang bertujuan untuk menjaga tata negara (civil society) malah merusak segi-segi kemaslahatan umum yang menjadi tujuan tata negara?

    Etika pembatasan diri pemerintahan sebenarnya telah berkembang jauh, dari sebelumnya bersifat lebih pasif seperti motto seorang Perdana Menteri Inggris abad 18 Sir Robert Walpole yang mengatakan “quieta non movere” atau “jangan ganggu anjing yang sedang tidur” (Foucault, 2004: 29), menjadi negara yang berperan aktif untuk memastikan kompetisi, ekonomi pasar, dan frugal government berlangsung mengikuti hukum-hukum “alami” dari ekonomi.

    Perubahan dari pasif dalam mengawasi ekonomi laissez-faire melalui invisible hand dapat dilihat dari peran aktif lembaga-lembaga negara membentuk warga yang berdaya saing, kompetitif. Perubahan ini merupakan jawaban atas Krisis Ekonomi Global 1930, di mana pasifnya negara mengakibatkan kompetisi berubah menjadi monopoli yang pada akhirnya menjadi bibit-bibit bangkitnya fasisme dan sosialisme.

    Dalam pandangan pendukungnya, seperti Foldvary (Foldvary, 1978), pasar bebas adalah  sebuah entitas yang bernilai etis, karena pertukaran untuk produksi dan konsumsi berlangsung bebas dari paksaan karena barang dan jasa memiliki nilai sesuai dengan yang dipercaya dan sesuai dengan kemauan membayarnya. Intervensi atas pasar tidak dapat dibenarkan secara etis seperti halnya tidak dibenarkannya tindakan-tindakan kriminal, karena merupakan bentuk pemaksaan kehendak. Tugas negara kemudian adalah memastikan bahwa pasar bebas berjalan, artinya pasar bebas menjadi tujuan adanya negara.

    Akan tetapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Ha-Joon Chang (Chang, 2010:  Thing 1), pasar bebas itu sendiri tidak ada. Ekonomi yang berlandaskan pasar bebas pada kenyataannya memiliki batasan-batasan yang ditentukan secara politik. Penentuan upah, misalnya, ditentukan oleh keputusan politik dan jikapun kebijakan upah minimum dihapuskan di Eropa, buruh-buruh Asia yang lebih murah tidak akan bisa menawarkan tenaganya karena aturan imigrasi, yang ditentukan oleh mereka yang juga mendukung pasar bebas. Dalam perdagangan saham, sebagai contoh lainnya, seseorang tidak bisa langsung menjual saham perusahaannya begitu saja. Ia harus melewati proses verifikasi, mematuhi sekian banyak regulasi, dan sertifikasi untuk dapat dianggap setara dengan emiten saham lainnya. Pasar bebas kemudian dapat dikatakan sebagai mitos, atau sebuah utopia di mana negara-negara kini didorong secara bersama-sama untuk mewujudkannya.

    Seorang presiden, yang memiliki kekuasaan eksekutif begitu besar dengan sumber daya yang tak kalah besarnya, kini dihadapkan pada problem pilihan politis di masa krisis ekonomi. Apakah ia harus menyelamatkan bank-bank yang memiliki resiko sistemik yang tinggi, dalam arti menyelamatkan lembaga yang menopang keberlangsungan ekonomi pasar seperti diamanatkan oleh tujuan resmi negara? Dengan kata lain, apakah ia memilih menyelamatkan perilaku ekonomi yang sebenarnya juga adalah sumber dari krisis? Ataukah ia akan memilih untuk melakukan penyelamatan penghidupan rakyat banyak, dengan memastikan layanan dasar tetap tersedia dan inisiatif-inisiatif ekonomi rakyat kecil dapat terus berlangsung? Pilihan yang diambil jelas bukan saja pilihan politis semata yang berada dalam tekanan dari berbagai aktor, namun juga sebuah pilihan etis. Namun jika pandangan etis yang dominan adalah sebuah imperatif untuk menyelamatkan pasar, maka kita telah tahu apa makna kalimat: “Saya mengerti bahwa saya mengambil kebijakan yang tidak populer.” Presiden tersebut telah, secara politis dan preferensi etis, memilih suatu pandangan etis, demi pembatasan diri negara, di atas kepentingan menjaga tata negara dan mencederai rasa keadilan rakyat.

    Kesimpulan

    Etika politik memang sebuah ruang pertarungan dan perdebatan. Pilihan-pilihan yang diambil oleh seorang pejabat negara tidak lah cukup lagi hanya mempertimbangkan pandangan-pandangan etis yang sudah diserap dan dituliskan dalam konstitusi dan perundang-undangan. Pandangan-pandangan etis tersebut tetaplah harus dilihat secara kritis asal muasal dan konsekuensi-konsekuensinya dalam dunia nyata.

    Catatan lainnya adalah sebuah pandangan etis dalam politik tetaplah sebuah pendapat politis yang memiliki kepentingan politis, keketatan berpikir dan kecanggihan teoritis dalam metode yang digunakan tetap saja hanyalah alat membantu rasio untuk mencerna dan memformulasikan pandangan tersebut. Dalam etika di sebuah republik, tata negara dalam makna civil society tetaplah bermakna kemaslahatan publik yang tidak dapat direndahkan atau ditundukkan oleh pemikir-pemikir canggih dan elitis.

    Catatan
    1. Misi Pembangunan dalam RPJP 2007 adalah: (1) Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila; (2) Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing; (3) Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum; (4) Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu; (5) Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan; (6) Mewujudkan Indonesia asri dan lestari; (7) Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional; dan (8) Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.

    Referensi
    Amable, B. (2011) “Morals and Politics in the Ideology of Neo-liberalism”,  Socio-Economic Review, 9, hlm 3-30.
    Foldvary, F. E (1978, April 1). Is the Free Market Ethical?. Foundation for Economic Education. Diakses di http://www.fee.org/the_freeman/detail/is-the-free-market-ethical#axzz2l9UccKoA pada 16 November 2013.
    Foucault, M. (2004) The Birth of Biopolitics. Lectures at The Collège de France, 1978–1979 (trans. 2008), New York, Palgrave Macmillan.
    Chang, H-J. (2010) 23 Things They Don’t Tell You about Capitalism, London, Pinguin Books
    Jefferson, T. (1801) Inaugural Address. Diakses di http://ahp.gatech.edu/jefferson_inaug_1801.html pada 16 November 2013.
    Wolff, J. (1996) An Introduction to Political Philosophy, Oxford, Oxford University Press.
    Republik Indonesia. (2007) Undang-Undang no 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

  • Pemberontakkan Pengetahuan Melawan Rejim Baru

    *Catatan Kuliah “Il faut défendre la société” oleh M. Foucault, 7 Januari 1975

    Sebenarnya eksplorasi ini tidak berhubungan dengan Krisis Cicak vs Buaya. Pembaca bisa memeriksa catatan-catatan sebelumnya, untuk melihat latar belakangnya (Sketsa exposisi… dan Foucault dan Geopolitik). Akan tetapi, beberapa perbincangan dengan berbagai kawan lama membuat saya ingin menempatkan Krisis Cicak vs Buaya (KCB) sebagai pintu masuk eksplorasi ini.

    Ada dua hal dalam KCB yang saya amati. Pertama, cepatnya grup Facebook pendukung Bibit-Chandra yang didirikan Usman Yasin meraih 1.200.000 anggota. Angka ini, dengan jumlah hari sejak didirikan, mungkin termasuk grup Facebook yang terbesar dan tercepat dalam perekrutan. Lebih lagi, isu yang diangkat politis, menempatkan 500 orang pertama yang diundang bergabung untuk melakukan tindakan refleks: klik bergabung atau abaikan. Dan jangan lupa, mereka yang pertama bergabung, segera menjadi perekrut gerakan klik. Dalam satu minggu kemudian, setelah didukung pemberitaan media massa, jumlah pendukung grup Facebook ini melampaui satu juta.

    Seorang kawan, Puthut EA, mencatat fenomena ini sebagai gerakan massa yang bahkan lebih besar dari penolakan kenaikan BBM pada masa pemerintahan SBY-JK. Ia menanggapi berbagai rumor dan spekulasi mengenai kejatuhan SBY-Boediyono karena rangkaian skandal Bank Century, Bibit-Chandra, dan tentunya kasus Antasari Azhar. Puthut juga menutup catatannya dengan kesimpulan bahwa SBY-Boediyono tidak akan jatuh kecuali terdapat “terobosan gerakan”.

    Hal kedua, saya melihat adanya kecenderungan, yang sebenarnya tidak luar biasa untuk menjadi catatan, perilaku kelembagaan yang mirip pada Kepolisian dan Kejaksaan dalam menghadapi kasus-kasus seperti Prita vs Omni Internasional ataupun Bibit-Chandra. Lembaga-lembaga negara tersebut tampak seperti menantang tekanan publik, yang lagi-lagi berawal dari dunia internet. Dalam kasus Prita vs Omni Internasional, meski terkuak bahwa Kejaksaan Negeri Tanggerang melakukan kesalahan dalam penyidikan dan penyusunan tuntutan, begitu terlihat determinasinya untuk mengadili Prita yang sebenarnya merupakan korban malpraktik yang kini menjadi terdakwa pencemaran nama baik. Perilaku yang sama juga ditunjukkan, kali ini Kejaksaan dan Kepolisian, dalam kasus tuduhan suap dan penyalahgunaan kekuasaan dua pimpinan KPK, Bibit dan Chandra. Mirip dengan Prita, keduanya kini dibebaskan dari sel tahanan akan tetapi kasus mereka tetap berlanjut ke pengadilan.

    Eksplorasi ini tidak bermaksud menilai jatuh atau tidaknya pemerintahan sekarang. Pertanyaan tersebut tidak pernah menjadi penting, sebenarnya, karena secara kongkrit hanya bisa membedah sebagian kecil dinamika yang tengah dan akan terjadi, dan beresiko besar terperangkap oleh spekulasi-spekulasi yang sering fantastis. Sebaliknya, eksplorasi ini ingin mencari tahu tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya dinamika politik belakangan ini.

    Rejim dan Krisis

    Berlanjutnya SBY ke pemerintahan kedua dengan mulus, memperoleh dukungan mayoritas di parlemen, suara terbanyak dalam pemilihan presiden secara langsung, dan berlanjutnya lingkar kekuasaan yang setia di dalam kabinet kedua menandakan bahwa setelah runtuhnya Rejim Orde Baru, Indonesia kini untuk pertama kalinya dihadiahi sebuah rejim baru. Jalan panjang reposisi dan rekonstitusi kekuasaan yang stabil kini dapat dikatakan relatif final. Berbeda dengan tiga kepresidenan sebelumnya, saat ini pola-pola dan aturan main baru dalam kekuasaan juga sudah mulai terlihat ajeg. Krisis-krisis kelembagaan yang menimpa berbagai segi negara kini selintas sudah terlewati setelah reformasi aparatur negara cukup panjang. Rejim baru ini bukan saja selesai mencari bentuk, namun kini sudah mulai terlihat diskursus-diskursus yang dikembangkan dari para pendukung dan pegawainya untuk mempertahankan kekuasaan.

    Sepintas, ia terlalu kokoh untuk dirobohkan anak-anak kemarin sore (baca: mahasiswa) seperti yang menimpa Soeharto dan Orde Barunya. Dan ini bukan berarti tidak ada upaya untuk melakukannya, berbagai kelompok mahasiswa telah mencoba dan membangun ke arah ini. Namun, metode pembangunan gerakan, strategi dan taktik yang digunakan, hingga slogan-slogan dan nyanyian yang disuarakan, hampir semuanya bentuk-bentuk daur ulang dari pengalaman gerakan politik pro demokrasi tahun 1990an dan dari inspirasi tahun 1998.

    Mirip Orde Baru, sedari awal retak-retak di tembok rejim baru ini sudah ada. Pada awal Orde Baru, retak-retak itu diplaster dengan penyederhanaan sistem perpolitikan untuk membredel ketidakstabilan akibat terlalu banyak pengelompokan elit dalam parlemen. Perlu diingat bahwa Orde Baru juga dimulai dengan pembasmian akar-akar penyebaran kekecewaan di masyarakat, dengan penghancuran organisasi perempuan, petani, buruh, pemuda, dan partai politik yang dicap ‘komunis’.

    Pada rejim baru ini, jalan ceritanya sedikit berbeda. Pembentukkan kembali atau rekonstitusi kekuasaan dimulai dengan kondisi legitimasi negara yang begitu rendah. Impotensi struktur negara yang dibangun Orde Baru begitu terlihat dan klaim-klaim keberhasilan ekonomi yang menjadi legitimasi kekuasaannya meluruh dihantam Krisis Ekonomi 1997. Segala sesuatu yang sebelumnya dikontrol Orde Baru seperti bergerak di luar kendali rejim. Kondisi demikian menyebabkan penggunaan kekerasan sebagai metode bertahanpun tidak manjur karena mereka yang dijadikan sasaran kekerasan menolak patuh, meminjam judul salah satu puisi Wiji Tukul. Perjuangan untuk menundukkan pemberontakkan mental ini yang menyebabkan munculnya istilah “Reformasi Kebablasan” yang disuarakan mereka yang bekerja pada pemerintahan, atau merupakan bagian dari elit politik konservatif.

    Sulitnya perjuangan untuk “mengendalikan” rakyat yang telah menjadi lebih artikulatif dari sebelumnya, setidaknya telah memungkinkan dua hal terjadi. Di satu sisi, peningkatan kemampuan rakyat untuk melakukan penuntutan kepada negara membuat rentannya pemerintahan dan kekuasaan terhadap kritik, bahkan belakangan muncul kritik yang datang dari sisi dalam pemerintahan. Inilah yang terjadi di masa pemerintahan Gus Dur dan kemudian pada pemerintahan Megawati. Praktek-praktek politik yang menelikung kepentingan rakyat (misal, penggelapan uang, kolusi untuk mempengaruhi kebijakan, skandal korupsi) yang sebelumnya “diterima” oleh kepasrahan rakyat, setelah 1998 menjadi kartu politik yang mematikan. Isu korupsi dan demonstrasi anti korupsi menjadi bagian dalam pertarungan, dan diserap oleh aturan permainan pada sistem pemerintahan dengan serangkaian reformasi hukum, di mana KPK adalah salah satu hasilnya.

    Di lain sisi, berada dalam sorotan dan bekerja di tengah ancaman terperangkap dalam kasus korupsi tampaknya juga berhubungan dengan semacam kesadaran anti rakyat dan obsesi mengendalikan hidup rakyat secara fisik dan mental di kalangan pengurus negara, yang dimanifestasikan dalam berbagai pernyataan-pernyataan hingga tindakan-tindakan politik hukum (undang-undang, peraturan daerah, baik yang sudah diberlakukan maupun yang masih berupa rancangan). Di level nasional, kita sudah melihat gatalnya aparatur hukum negara memberlakukan UU ITE dalam kasus Prita vs Omni Internasional, rancangan UU Rahasia Negara, pasal-pasal anti perempuan dan anti kebebasan berekspresi dalam UU Pornografi. Di level daerah, seiring dengan otonomi daerah, kita bisa melihat upaya-upaya mengontrol kebebasan rakyat melalui Perda-Perda bernuansa Syariah dan upaya-upaya penggunaan kekuatan-kekuatan koersif seperti yang kita saksikan dalam meningkatnya penggunaan Satuan Polisi Pamong Praja dalam menghadapi upaya-upaya bertahan hidup kaum miskin kota.

    Banyak komentator politik, terutama yang radikal, berpendapat bahwa relasi antara hal-hal di atas sebenarnya diwariskan Orde Baru. Argumennya mudah, para anggota elit ekonomi dan elit politik, baik di Jakarta maupun di provinsi-provinsi dan kabupaten-kota, dilahirkan oleh Orde Baru. Mereka sudah begitu terbiasanya dengan praktek-praktek kekuasaan Orde Baru, sehingga sulit untuk meninggalkannya. Buktinya juga cukup banyak, kita ambil contoh Keppres 80/2003 soal Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang berulangkali mengalami penambahan dan kini akan mengalami revisi, namun tidak kunjung menghentikan mencuatnya skandal-skandal korupsi setiap tahun.

    Argumen lainnya, yang seharusnya memasukkan hitungan argumen pertama tadi, berlandas pada sebuah adagium “pemerintah boleh berganti, tetapi negara kapitalis tetap berdiri” yang merupakan konsep politik Marxis. Pisau analisa ini mengupas lapis demi lapis argumen-argumen yang mengutamakan perjuangan damai melalui Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden dan posisi-posisi publik lainnya. Ia dengan tepat menunjukkan dalam reformasi di Indonesia, pergantian hanya di Presiden, Kabinet dan staf terdekat, dan tentunya anggota parlemen dan perubahan tersebut tidak mengubah struktur dan sifat dasar Negara Orde Baru. TNI walau telah dipisah dengan Polisi, tetap memiliki struktur-struktur pendudukan dengan Komando Teritorial.

    Namun, sangat terlihat mereka yang berkuasa saat ini, baik di pemerintah nasional maupun di pemerintah lokal, ingin segera menyatakan bahwa mereka sudah berubah, sudah “reformis”, dan kini melanjutkan “semangat reformasi”. Tentunya ini berhubungan dengan representasi kata “reformasi” di tingkat massa yang sering berarti pergantian pemegang kekuasaan. Dengan mengatakan bahwa aparatus negara saat ini sedang melakukan reformasi lanjutan, seperti spanduk-spanduk di kantor-kantor pemerintahan yang menyuarakan ”reformasi birokrasi”, maka tidak perlu ada lagi pergantian pemegang kekuasaan, pergantian rejim. Dengan kata lain, krisis politik berkepanjangan yang diwarnai dengan kesimpang-siuran aturan main, undang-undang dan peraturan daerah yang bertentangan, dan seterusnya dinyatakan sudah berakhir.

    Di sinilah letak persoalan Cicak vs Buaya: di satu sisi, ada semacam diskursus yang berkembang yang ingin menyatakan bahwa telah terjadi banyak perubahan positif di sektor-sektor pemerintahan. Walaupun begitu kenyataan di tingkat lokal dapat terus menerus dipakai sebagai landasan kritik yang mencuat untuk membuktikan kebalikan dari arah diskursus tersebut. Juga berhadapan dengannya, berbagai kritik berlandaskan pada kegagalan berbagai aspek dari proses pembangunan rejim baru dalam memenuhi tujuan-tujuan yang dijanjikan oleh apa yang dipersepsikan sebagai impian reformasi 1998.

    Sampai di sini, terlihat analisa kita berjalan biasa saja. Namun ketika melihat lebih dalam relasi antara klaim diskursus para pembangun rejim baru dengan apa yang dialami masyarakat ketika berhadapan dengan aparat negara, kebuntuan mulai terasa. Selain itu, mereka yang melaksanakan proyek-proyek demokratisasi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dihadapkan pada kenyataan bahwa klaim teoritik yang mengatakan bahwa semakin baik demokrasi akan menunjukkan semakin tinggi partisipasi politik, ternyata tidak terbukti. Meski Pemilu 2009 memiliki asumsi akses konstituensi yang lebih besar, kenyataan memperlihatkan angka golput yang tinggi.

    Persoalannya kemudian, jawaban atas kontradiksi-kontradiksi tersebut hingga saat ini bersifat normatif. Jika kita tengok komentator-komentator politik, kita akan segera melihat pembahasan normatif, benar/salah, dengan kalimat-kalimat seperti “Masyarakat sipil Indonesia masih lemah… ” Atau, “Dibandingkan Indonesia, negeri A memiliki…” Selama 11 tahun terakhir, analisis normatif mewarnai media besar dan hingga kini, manifestasi ide politik terbaik adalah demonstrasi jalanan menyerukan penggulingan kekuasaan. Kenapa terbaik? Karena kelihatannya selalu diulang-ulang pada masa Habibie, Gus Dur (berhasil), Megawati, dan kini SBY.

    Dari Pengamatan Menjadi Metode Analisa

    Jika kita tarik ke belakang, sebutlah 20-30 tahun ke belakang, kita akan melihat letupan-letupan sosial yang terjadi, seperti perlawanan mahasiswa 1974, 1978, dan 1990an, peristiwa Tanjung Priok, Gerakan Mahasiswa 1998, gelombang pemogokkan buruh 1998-1999, Peristiwa Semanggi I dan II, dan seterusnya menampakkan sebuah benang merah. Hampir semua mobilisasi kekuatan rakyat tersebut bermula dari hal-hal yang berkarakter lokal. Perlu dicatat, karakter lokal ini tidak berlawanan makna dengan “nasional”. Artinya, gerakan tersebut sangat spesifik, baik dari tema/isu maupun dari segi tempat dan waktu. Selain itu, selalu nampak juga kegagalan kelompok-kelompok radikal untuk membawa gerakan massa yang termobilisasi tersebut untuk perubahan mendasar pada sistem sosial, ataupun bahkan ke arah sistem politik yang benar-benar baru yang diimpikan mereka.

    Di sini kemudian terlihat bahwa diskontinuitas atau keterputusan justru merupakan faktor utama, bahkan di dalam pergerakan perlawanan tersebut. Kita bisa lihat dari perlawanan massa terhadap kekuasaan yang berada dalam isu-isu berbeda, munculnya karakter-karakter lokal pergerakan seperti kedaerahan dan etnis, kelas dan sektor masyarakat. Dan kita bisa lihat juga keterputusan dalam makna ditinggalkannya pengetahuan-pengetahuan yang diberikan oleh kekuasaan (Memasuki Era Tinggal Landas, Gemah Ripah Loh Jinawi, Stabilitas, Perempuan adalah Ibu Anak-anak Bangsa) dan diadopsinya pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya disensor kekuasaan (Pembantaian Rakyat di Aceh, Timor Leste dan Papua, “Peranan Wanita” lebih mirip dengan domestifikasi).

    Banyak kalangan menganggap hal ini tidak spesial. Konotasi yang berkembang pada makna ”moderasi”, ”spontanitas massa”, ”ekonomisme”, atau bahkan ”sosial demokrat”, berawal dari perjuangan tanpa akhir kelompok radikal dalam menghindari apa yang diasumsikan sebagai kemunduran-kemunduran pergerakan dan juga jebakan-jebakan sifat lokal dari pergerakan massa. Dengan kata-kata tersebut, penggalian atas penjelasan mengapa dan bagaimana ”massa” menjadi ”spontan” lebih banyak dipenuhi oleh pandangan-pandangan asumtif dan teoritik yang tingkat validitasnya rendah. Media massa juga tak kurang sumbangsihnya, ”amuk massa” menjadi kata yang cukup mematikan diskusi mengenai dinamika yang mempengaruhi seseorang, sekelompok orang, ataupun bahkan sebuah kelas sosial, bergerak menantang bentuk-bentuk kekuasaan yang sebelumnya mereka terima ataupun mereka dukung.

    Ada pula sebagian kalangan, terutama eks-aktivis mahasiswa 98, yang meyakini adagium “Di mana ada penindasan, di sana pasti ada perlawanan” (atau perumpamaan “Semut pasti melawan jika diinjak”). Repotnya, meskipun kadang terdengar heroik, kacamata seperti ini tidak banyak bisa menolong dalam mencari penjelasan penurunan kualitas dan kuantitas Gerakan 98 secara drastis di akhir 1999 ataupun “pilihan” rakyat pada Pemilu 2004 dan 2009. Paling maksimum, kita cuma dapat pemberitahuan dari berbagai pihak bahwa rakyat masih belum terdidik alias “bodoh”.

    Menariknya lagi, jika kita mencoba menggeret eksplorasi politik ini ke belakang, teori-teori politik dari penulis-penulis besar cukup mewarnai media dan buku-buku dalam satu dekade ini. Kebanyakan menawarkan penjelasan-penjelasan menyeluruh (holistik), jika tak ingin dibilang totaliter, atas krisis “multidimensi” yang melanda Indonesia. Mungkin karena kata “Multidimensi” inilah banyak orang tanpa sadar mencari jawaban puncak (ultimate answer) yang bisa menyelesaikan seluruh problematika “multidimensional” secara paralel di dalam teori-teori politik tadi. Ini bukan berarti bahwa teori-teori totaliter tadi tidak pernah memberikan arahan yang berguna dalam pengembangan metode analisa ataupun penyusunan strategi dan taktik politik. Marxisme, dengan segala aliran di dalamnya, adalah contoh yang baik untuk hal ini. Namun dalam situasi spesifik dan lokal, sering sekali teori-teori totaliter tersebut terpaksa harus dijungkirbalikkan, dikerdilkan oleh definisi-definisi, dilokalisasikan dan seterusnya, sehingga dapat bermanfaat dalam konteks spesifik dan lokal tadi. Perlu juga dilihat, bahwa teori-teori tersebut tidak berangkat dari pengetahuan-pengetahuan yang dikumpulkan dari pengalaman-pengalaman setempat.

    Artinya, kita memiliki dua jenis pengetahuan di sini. Pertama, sehubungan dengan absennya penjelasan soal “spontanitas”, kita bisa jadi menemukan banyak pengetahuan-pengetahuan di tingkat yang sangat lokal yang mungkin menjelaskan spontanitas, tetapi pengetahuan tersebut dikubur, disembunyikan, dibawa ke balik tabir oleh sistematisasi, organisasi. Belum tuntasnya nasib warga korban lumpur Lapindo, misalnya, dinyatakan tidak relevan dengan kesuksesan program-program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Grup Bakrie. Fakta bahwa 700 ribu pelajar SD putus sekolah setiap tahunnya tidaklah valid (meski masuk dalam iklan CSR Garuda Indonesia-Depdiknas) karena pemerintah telah membuat gratis Pendidikan Dasar dan Menengah Pertama. Statistik adalah salah satu contoh bagaimana bias kelembagaan dapat mengubur pengetahuan-pengetahuan seperti dampak kenaikan BBM yang lebih jauh dibandingkan dengan yang diperkirakan model matematis dan angka PHK yang lebih besar daripada data pemerintah. Contoh lainnya, studi komunikasi politik mengubur telanjangnya penggunaan koersi fisik di tengah kepercayaan bahwa rejim baru berkuasa ditopang oleh imaji.

    Jenis pengetahuan yang kedua adalah pengetahuan-pengetahuan yang sedari awal sudah didiskualifikasi sebagai sesuatu yang tidak penting, tidak ilmiah karena rendahnya tingkat sistematisasi penalarannya. Pengetahuan-pengetahuan ini menyeruak dalam pertarungan-pertarungan antara mereka yang ditundukkan dan mereka yang berkuasa. Kritik terhadap hubungan antara kekuasaan eksploitatif dan kemiskinan tidak akan muncul tanpa gerakan-gerakan perlawanan sektoral yang dilakukan bagian demi bagian buruh yang berserikat dan kaum miskin kota. Kritik atas hubungan ketidakadilan transaksi antara desa dan kota dengan tekanan untuk urbanisasi dan migrasi tidak akan muncul tanpa mengikuti kisah-kisah orang pedesaaan yang mencari peruntungan di kota ataupun menjadi buruh migran.

    Kedua jenis pengetahuan inilah yang disebut oleh Michel Foucault, dan kemudian dipinjam oleh Vandana Shiva, sebagai “subjugated knowledges”, atau pengetahuan-pengetahuan yang ditundukkan.

    Pertanyaannya kemudian bagaimana memposisikan keberadaan pengetahuan-pengetahuan ini dalam sebuah metode analisa politik? Bagaimana mereka dapat digunakan dalam refleksi tentang kekuasaan?

    Penelusuran keduanya, pengetahuan yang dikubur dan yang didiskualifikasi, dapat membuat kita mengetahui ingatan-ingatan akan pertarungan-pertarungan di waktu silam. Secara umum, kedua pengetahuan ini menjadi garis-garis besar agenda penelusuran asal-muasal (genealogi) bentuk-bentuk kekuasaan yang berlaku saat ini, untuk memperoleh kembali ingatan-ingatan dan pengetahuan-pengetahuan sejarah yang selama ini dikuburkan atau didiskualifikasi oleh kekuasaan dan sains (atau sains sebagai institusi?). Dan kemudian, pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat dimanfaatkan dalam taktik-taktik politik kontemporer.

    Jika kita hubungkan dengan perkembangan dua dekade terakhir di Indonesia, tergalinya pengetahuan dan ingatan mengenai pertarungan politik pada masa kepresidenan Soekarno menjadi komponen penting dalam kembalinya aksi massa sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap kekuasaan, seperti dieksplorasi oleh Max Lane dalam bukunya “Bangsa Yang Belum Selesai”. Mengedepankan kisah-kisah represi yang terjadi pada periode 1980an juga berperan penting dalam menghancurkan legitimasi kekuasaan Soeharto.

    Yang menarik, ketakutan atas bangkitnya pengetahuan dari masa silam juga terlihat dari para pendukung Rejim baru yang saya utarakan di atas. Belum hilang ingatan kita peristiwa pembatalan Kurikulum Sejarah Nasional Indonesia 2004 oleh Mendiknas Bambang Soedibyo dan pembakaran buku-buku sejarah berdasarkan kurikulum tersebut yang dipelopori oleh pejabat-pejabat negara seperti Walikota Depok Nurmahmudi Ismail. Contoh paling baru adalah pelarangan tayang film Balibo oleh Lembaga Sensor Film dengan alasan sensitivitas atas “luka-luka lama”.

    Mari kita kembali ke keberadaan 1.000.000 Facebookers pendukung Bibit-Chandra dan tekanan politik yang dihasilkannya. Sejuta suara yang sebenarnya belum terlihat jelas komitmen perjuangannya menunjukkan mereka melawan diskursus yang dikembangkan oleh para pembangun rejim bahwa reformasi telah terjadi. Dampaknya juga terlihat jelas, para pembangun rejim dengan cepat melangkah, namun seraya mencari justifikasi agar tidak terlihat mudah ditekan, untuk membalikkan situasi yang dialami Bibit dan Chandra. Tentunya, sambil juga mencari konsesi-konsesi yang bisa diperoleh.

    Jika contoh-contoh yang saya sebutkan bisa digunakan untuk menguji validitas peran pengetahuan tertundukkan dalam melawan kekuasaan, tampaknya sebuah langkah menuju analisa politik, analisa mengenai pertarungan kekuasaan, telah terjadi. Penggalian atau pengungkapan pengetahuan yang tertundukkan di hadapan khalayak luas memiliki peranan yang sangat kuat dalam perlawanan terhadap kekuasaan, dalam semangat “Melawan Lupa” mengembalikan ingatan-ingatan pertempuran terakhir, garis-garis demarkasi dalam konfrontasi-konfrontasi masa silam yang dalam masa kini disembunyikan oleh pengaturan-pengaturan fungsional ataupun penataan-penataan sistematik yang di(re)produksi kekuasaan.

    Lebih lanjut lagi, kita memperoleh semacam benang merah pertama dan sekaligus ekspresi yang bisa mewakili eksplorasi ini: pemberontakkan pengetahuan-pengetahuan yang ditundukkan (insurrection of subjugated knowledges).

    Tapi mengapa pengetahuan-pengetahuan ini harus memberontak untuk mendorong perlawanan terhadap kekuasaan? Apa yang sebenarnya menjadi pertaruhan, ketika kekuasaan mensistematisasikan pengetahuan ke dalam sains sambil menundukkan pengetahuan-pengetahuan yang bertentangan dengannya? Mengapa analisa-analisa tentang kekuasaan yang telah ada tidak mampu menciptakan agenda-agenda yang bisa membebaskan pengetahuan dari lembaga sensor dan lembaga sains dan pendidikan? Atau lebih luas lagi, karena kekuasaan merentangkan otot-ototnya juga ke dunia pengetahuan, apakah kita bisa menjabarkan aparatus-aparatus kekuasaan yang bekerja di berbagai tingkatan masyarakat, di dalam berbagai dunia kehidupan, dan dengan berbagai bentuk perpanjangan?

    “Ekonomisme”

    Hingga saat ini metode analisa atas kekuasaan yang mendominasi wacana politik berada dalam dua aliran besar. Pertama, aliran yang kini menjadi arus utama transisi demokratik di Indonesia. Kita tentu bisa melihat bahwa andalan utama para pembangun rejim dan juga kalangan “masyarakat sipil” yang mendorong reformasi adalah slogan “Penegakkan Hukum” atau “Rule of Law”. Kita melihat bahwa dengan semangat ini, pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan semua mengarah pada proses legislasi, penerbitan undang-undang. Sejak 1998, sudah ratusan undang-undang yang diterbitkan yang mengatur berbagai aspek kekuasaan.

    Landasan berpikir aliran ini berada dalam kerangka hak dan kewajiban di mana hubungan ideal dari keduanya diatur oleh “kontrak sosial”. Masyarakat menyerahkan sebagian haknya kepada sebuah lembaga ataupun seseorang agar semua dapat diatur demi kepentingan bersama. Artinya, aliran berpikir ini mengasumsikan kekuasaan sebagai sesuatu yang dapat dimiliki seperti barang dagangan. Karena itu, kekuasaan dapat diserahterimakan atau dirampas, sebagian ataupun seluruhnya, melalui tindakan hukum ataupun tindakan yang dianggap sah, dengan penyerahan (pertukaran) sesuatu yang lain atapun berdasarkan sebuah kontrak. Itulah sebabnya dalam memandang proses pembentukkan kekuasan, “kontrak sosial” menjadi fokus pembahasan yang klasik. Melihat langgam perubahan yang dipengaruhi pemikiran ini, tidaklah salah jika saya meminjam kembali label yang diberikan Foucault kepada aliran pemikiran ini “liberal-yuridis”.

    Aliran besar kedua berangkat dari konsepsi umum Marxisme tentang kekuasaan. Kritik Marxis atas Orde Baru sangat berpengaruh dalam proses panjang yang mengakhiri kekuasaan Soeharto. Meskipun dilarang oleh Orde Baru, didiskualifikasi oleh para intelektual liberal, komponen-komponen pengetahuan atas sistem kapitalisme dalam hubungannya dengan kekuasaan Orde Baru yang militeristik terserap dalam tema-tema yang diusung oleh gerakan sosial. Kritik Marxis juga sangat berpengaruh dalam gerakan anti-neoliberalisme mulai awal dekade 2000an. Pada saat itu, kritik ini berhadapan terbuka dengan konsepsi liberal-yuridis yang memfasilitasi berbagai undang-undang memberikan akses lebih besar kepada perusahaan-perusahaan besar dalam sumber daya alam, keuangan, kelembagaan dan seterusnya (baca: liberalisasi ekonomi).

    Konsepsi Marxisme mengenai kekuasaan bertitik berat pada teori negara yang merupakan fungsi dari kehidupan ekonomi (produksi-konsumsi sebuah masyarakat). Kekuasaan berperan baik untuk melanggengkan relasi-relasi produksi dan juga untuk mereproduksi sebuah dominasi kelas yang dimungkinkan oleh perkembangan kekuatan-kekuatan produksi dan oleh cara-cara kekuatan-kekuatan tersebut dikuasai. Artinya, kekuasaan politik memiliki raison d’etre dan prinsip-prinsip atas bentuk konkrit dan cara kerjanya dalam kehidupan ekonomi.

    Meski terdapat banyak perbedaan-perbedaan mendasar, ada kesamaan dalam dua aliran ini. Kedua-duanya menghubungkan erat gerak kekuasaan dengan ekonomi, dengan kata lain memiliki “ekonomisme”. Karena terlalu terkait ataupun dimodelkan dari kehidupan produksi-pertukaran-konsumsi, keduanya kehilangan makna “politis” di saat digunakan sebagai panduan analisa politik dalam dunia di mana teknologi kekuasaan telah berkembang jauh setelah Perang Dunia II. Di sinilah terletak benang merah kedua dari eksplorasi ini.

    Keterbatasan-keterbatasan segera menyeruak ketika mencoba menganalisa pertarungan kekuasaan, seperti dalam menganalisa kemenangan Fasisme dan Stalinisme, pemikiran liberal-yuridis maupun Marxis dipaksa menerbitkan definisi-definisi baru yang mereduksi klaim-klaim koherensi yang mereka usung. Mengapa? Kemenangan Fasisme dan Stalinisme memperkenalkan pada dunia berbagai teknik dan teknologi kekuasaan yang lebih canggih. Sistem pendidikan universal dan nasional, media massa yang sudah lengkap teks, audio, dan visual, teknik sensus dan polling, penggunaan terror negara yang lebih sistematis, dan lain sebagainya, berkembang lebih cepat daripada ide-ide dan metode menganalisa kekuasaan.

    Dan jika kita melihat perdebatan yang terjadi antara dua aliran pemikiran mengenai satu moment politik, seperti hubungan antara Krisis Cicak vs Buaya dan isu Bank Century, kita bisa lihat begitu banyak “blindspots”. Ambillah contoh soal Anggoro dan kawanan Makelar Kasus, imajinasi popular yang terbentuk oleh media dan juga manuver pejabat negara adalah adanya sekelompok predator yang menguasai sistem hukum. Sangat sedikit yang bertanya, jangan-jangan keseluruhan sistemnya memang lahir sebagai sistem para pemangsa. Puluhan tahun institusi hukum berdiri, dengan serangkaian perkembangan internal, bukankah mungkin saja bahwa mereka yang bekerja di dalam lembaga tersebut berkepentingan untuk membentuk sistem yang menguntungkan mereka, memudahkan mereka untuk “memangsa”, dan melanggengkan sistem “pemangsaan” ini? Tentunya ini bukan persoalan kebohongan atau kemunafikan, namun kelemahan metodologis.

    Akibatnya, meskipun keduanya bermanfaat dalam batas-batas ekspresi perlawanan mereka, tanpa sadar perbedaan ideologis tidak menghalangi penggunaan kedua cara berpikir ini. Ketika kaum liberal berada di garis depan melawan tirani sistem monarki, kelompok-kelompok (neo)liberal masa kini menggunakan kekerasan negara sebagai alat melancarkan jalan mereka. Di masa revolusi, partai kiri meneriakkan “pembebasan rakyat”, namun pimpinan-pimpinan partai-partai Stalinis seperti memuja disiplin keras berdasarkan hukum atau AD/ART dan melarang pemogokkan buruh atas nama revolusi kelas pekerja. Dan bukan rahasia juga negara-negara yang mengusung kedua ideologi ini, melanggar kredo mereka yang seharusnya menjaga kehidupan manusia dan kemanusiaan.

    Persoalannya kemudian, apakah bisa kita menganalisa kekuasaan selain dari pendekatan “ekonomis”? Mungkin kita perlu formulasikan lebih lanjut pertanyaan ini:

    Pertama, apakah kekuasaan selalu nomor dua setelah ekonomi? Apakah tujuan akhirnya selalu ditentukan oleh ekonomi? Apakah tujuan keberadaannya (raison d’etre) dan peranannya pada intinya untuk mengabdi kepada ekonomi? Apakah ia dirancang untuk mendirikan, menguatkan, menjamin keberlangsungan, dan mereproduksi hubungan-hubungan yang menjadi bagian ekonomi dan merupakan esensi bekerjanya ekonomi?

    Kedua, apakah kekuasaan dimodelkan dari komoditas? Apakah ia sesuatu yang dapat dimiliki ataupun diperoleh, yang dapat diserahkan melalui kontrak maupun dengan kekuatan paksa, yang dapat diasingkan maupun dibangkitkan kembali, yang beredar dan menyuburkan satu daerah tetapi juga dapat menghindari daerah lainnya?

    “Politik adalah kelanjutan dari perang”

    Pada masa ide ini disebarluaskan (1975) belum terlalu banyak alat-alat yang dapat memeriksa kesahihannya. Namun, sebelum kita menelusuri perkembangannya lebih lanjut dalam rentang waktu 34 tahun, ada baiknya kita memulai dua jawaban langsung yang muncul pada saat itu.

    Pertama, kekuasaan bukanlah sesuatu yang diberikan, dipertukarkan, ataupun diambil kembali. Ia adalah sesuatu yang dilakukan dan ia hanya berada atau eksis dalam tindakan. Kedua, kekuasaan juga bukan hanya keberlangsungan dan keterbaruan relasi-relasi ekonomi, tetapi paling utama ia adalah relasi-relasi kekuatan.

    Ini memberikan pertanyaan lanjutan kepada kita. Apa yang dimaksud dengan penggunaan kekuasaan? Apa yang menjadi mekanismenya?

    Kenyataan saat ini, melihat penggunaan kekuasaan yang nyata dirasakan rakyat, kita bisa berkesimpulan bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang menindas. Namun tidak ada yang baru di sini. Hegel, Freud dan Reich telah menyatakannya di waktu silam. Apakah analisa “non-ekonomis” tentang kekuasaan bermakna sebagai analisa mengenai mekanisme-mekanisme penindasan?

    Selanjutnya, jika kekuasaan adalah bentuk pelaksanaan dan penggunaan hubungan kekuatan, ataupun pemaksaan, daripada menganalisa kekuasaan dalam bentuk-bentuk kontrak, penyerahan, pengasingan, ataupun daripada dalam bentuk-bentuk fungsional seperti reproduksi hubungan-hubungan produksi, bukankah lebih baik kita menganalisanya, terutama dalam bentuk konflik, konfrontasi, dan perang? Setidaknya ini memberikan alternatif dari hipotesa pertama (kekuasaan adalah penindasan) dan menemukan hipotesa kedua: Kekuasaan adalah Perang. Jika Clausewitz dikenal dengan kalimat “Perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara-cara lain”, kita memulai analisa ini dengan perspektif “Politik adalah perang dengan cara-cara lain.”

    Pembalikan Clausewitz ini memiliki tiga makna. Pertama, memang benar bahwa keputusan politik menghentikan perang, namun kekuasaan itu sendiri berdiri di dalam dan melalui perang. Politik menerbitkan dan mereproduksi ketidakseimbangan kekuatan yang muncul dalam perang.

    Kedua, perjuangan politik haruslah ditafsirkan sebagai kelanjutan dari perang, di mana pihak-pihak yang menang dan kalah tetap berada dalam posisi saling menyerang, saling berupaya melemahkan dan menggeser kesetimbangan kekuatan demi keuntungan masing-masing.

    Ketiga, keputusan akhir hanya dapat diperoleh dari perang. Perubahan-perubahan yang lebih permanen, yang tidak mudah dijungkirbalikkan, hanya didapat dari perang. Dalam hal ini, kita bisa lihat penegakkan kekuasaan, pendirian rejim baru hanya bisa didapat dan mengikuti hasil-hasil pertempuran terakhir dari perang. Dan ini juga bermakna, kenyataan politik sebagai kelanjutan dari perang, akan berakhir jika perang baru muncul.

    Membuat Analisa Politik Menjadi Politis

    Tantangannya kemudian bagaimana menantang teori-teori politik arus utama, menantang skema analisa politik yang menjadikan hukum sebagai landasan kekuasaan?

    Sekarang, marilah kita mencoba menjabarkan beberapa kesimpulan sementara.

    Pertama, sejarah perubahan dalam suatu masyarakat diwarnai oleh diskontinuitas. Dan dibandingkan pergeseran linear yang selalu dikatakan oleh historiografi yang diajarkan sistem pendidikan kita, yang sering terjadi adalah berantakannya sistem pengetahuan arus utama sebagai akibat pemutusan atau disrupsi oleh pengetahuan-pengetahuan baru yang sering kali memang tidak menjelaskan secara keseluruhan (totalitarian). Maknanya, bukanlah kerja teoritik yang mendorong perubahan sosial, namun pengetahuan-pengetahuan yang dibebaskan melalui kerja-kerja teoritik dan yang mencuat secara langsung dari pengalaman bersama lah yang membongkar sains yang menegakkan kekuasaan.

    Kedua, karena kekuasaan memiliki efek-efek pada sains, teori-teori tentang kekuasaan yang disirkulasikan oleh sistem sosial memiliki bias kekuasaan. Artinya, untuk mempelajari kekuasaan juga membutuhkan pemberontakkan pengetahuan politik. Kita membutuhkan pengungkapan pengetahuan-pengetahuan yang kini disembunyikan oleh sistematisasi ilmu politik, ilmu hukum dan seterusnya.

    Ketiga, ketika kita ingin keluar dari skema ekonomistis dalam menganalisa kekuasaan, dan beranjak ke pendekatan yang membahas kekuasaan sebagai pelaksanaan hubungan-hubungan kekuatan (atau pemaksaan), kita menemukan ada dua sistem yang mungkin dapat diaplikasikan. Yang pertama, penindasan merupakan mekanisme kekuasaan. Yang kedua, hubungan-hubungan kekuasaan berlandaskan pada benturan mirip peperangan antar kekuatan-kekuatan.

    Sistem yang pertama, jika kita lihat, berangkat keyakinan para pemikir Eropa abad 17 yang disuarakan Lord Acton tahun 1887: “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutly.” Sumbernya tentu adalah pemikiran politik liberal-yuridis, yang berasumsi bahwa kekuasaan itu bisa diserahkan dengan kontrak sebagai kerangka kekuasaan politik. Ketika kekuasaan melanggar batas, pelanggaran itu disebut penindasan. Kekuasaan menjadi persoalan sah atau tidak sah (legitimate atau illegitimate).

    Sistem yang kedua, berangkat dari tanda-tanda dari pemberontakkan pengetahuan-pengetahuan yang ditundukkan, yang masih perlu diuji dan dieksplorasi lebih jauh. Posisinya adalah, represi bukanlah berhubungan dengan pelanggaran kontrak sosial, namun adalah implementasi hubungan kekuatan yang berkepanjangan. Karena itu, kekuasaan menjadi persoalan perlawanan dan penyerahan.

    Sebenarnya agak menarik ketika melihat dua sistem ini ternyata bukan tidak terdamaikan. Malahan, memiliki semacam hubungan logis. Represi merupakan hasil politik dari perang, sedangkan penindasan adalah hasil dari penyalahgunaan kedaulatan dalam ranah hukum. Dan ketika kita mengamati pertarungan politik dengan segala dinamika dan eskalasi yang terjadi, kita bisa lihat bagaimana sah atau tidaknya suatu kebijakan, kursi politik, atau tindakan dijadikan sebagai landasan klaim untuk memulai pertarungan. Rasa keadilan/ketidakadilan menjadi obyek manipulasi mereka yang bertarung. Akan tetapi, begitu pertarungan dimulai, begitu sumber daya dimobilisasi untuk memenangkannya, isu sah atau tidak sah, ataupun rasa adil dan tidak adil tidak lagi menjadi perbincangan (selain untuk merekrut lebih luas sumber daya). Kita malah melihat bahwa strategi dan taktik menjadi diskusi yang dominan di masing-masing kekuatan yang bertarung. Kita melihat teknik dan teknologi berperan besar dalam kemenangan dan kekalahan.

    Beberapa Catatan

    Jika kita melihat kembali perkembangan politik Indonesia, khususnya dalam Krisis Cicak vs Buaya yang kini berkembang menjadi Krisis Century, dengan kacamata “politik adalah kelanjutan dari perang”, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan dalam eksplorasi ini.

    • “Penyalahgunaan wewenang/kekuasaan” seperti korupsi dan kriminalisasi bukanlah masalah utama dalam krisis ini, tetapi adalah simptom atau keretakkan-keretakkan, tanda-tanda problem mendasar dalam rejim baru. Krisis politik ini berhubungan dengan baru berdirinya sebuah rejim, yang mendaurulang keluaran-keluaran Orde Baru. Peristiwa-peristiwa seperti yang dialami Prita, JJ Rizal (dianiaya Polres Depok), dan beberapa korban lainnya menunjukkan karakter sesungguhnya dan asal muasal rejim baru ini. Selain itu, seperti ada semacam keinginan untuk menyiangi perangkat-perangkat yang sebenarnya aksesoris demokrasi dan bukanlah barometer yang baik seperti KPK, selayaknya benalu yang mengganggu agenda-agenda yang menjadi kepentingan para pembangun rejim baru ini.
    • Di sisi lain, kritik-kritik baru, dan menariknya di luar arus utama pergerakan politik, bermunculan dan mendorong tipe-tipe partisipasi politik baru, seperti Facebook dan pengumpulan koin untuk Prita. Kalau dilihat, kritik-kritik ini sama sekali tidak membutuhkan keabsahan dari teori-teori besar untuk menemukan dirinya dalam tindakan politik. Mereka juga tidak dibangun dari pola pergerakan politik yang membutuhkan pengorganisasian massa seperti partai politik ataupun gerakan mahasiswa. Kritik-kritik ini bersifat lokal, dari tempat maupun waktu, dan mendorong tindakan yang terbatas dan tidak membutuhkan komitmen partisipasi jangka panjang.
    • Klaim-klaim demokratik yang diusung rejim baru kini dipatahkan oleh kritik-kritik lokal, spontanitas-spontanitas yang menyuarakan pengetahuan yang dialami berbagai bagian rakyat. Ini bermakna bahwa ada kondisi-kondisi tertentu yang sebelumnya tidak terlalu disadari oleh banyak pengamat politik yang mengedepankan kesimpulan bahwa kemenangan SBY disebabkan oleh pembangunan imaji yang kuat. Meski itu mungkin saja bagian dari strategi yang diambil oleh tim sukses SBY, namun munculnya kritik-kritik ini menunjukkan bahwa kesimpulan ini tidak sepenuhnya benar. Pengaruhnya cukup besar terhadap dinamika pertarungan politik seputar berdirinya rejim baru. Petinggi-petinggi dan para pembangun rejim merasa mendapatkan tekanan untuk bertindak, dan guliran dari fenomena-fenomena ini ternyata membuka lapangan-lapangan pertarungan politik baru. Perlu dicatat, pemerintah pertama rejim baru ini adalah pemerintah tercepat yang berada dalam posisi terkepung (embattled), dan pengepungan terjadi bukan berawal dari lawan-lawannya.
    • Kerangka berpikir liberal-yuridis lebih banyak berperan untuk menghanyutkan mereka yang dilibatkan dalam pertarungan dibandingkan untuk melihat gambar yang lebih besar maupun melihat pengetahuan-pengetahuan yang bisa dibebaskan untuk menghantam kekuasaan yang berlangsung. Perlu diingat bahwa kerangka ini bukan hanya dianut oleh kelompok liberal, berbagai kelompok kiri juga malah mendasarkan narasi taktis yang mereka usung dari kerangka ini.
  • Foucault dan Geopolitik: Eksposisi Berseri tentang Kekuasaan

    Sejujurnya, saya temukan nama Foucault cukup lama, tapi sekian lama juga saya mengabaikannya.

    Pada satu sore, sekitar 11 tahun silam, di tengah menunggu salah satu sesi kursus politik yang diadakan di tempat kos salah satu peserta, saya menemukan sebuah buku, “Introducing Foucault”. Akan tetapi komik tersebut masih kalah menarik dengan judul lain dalam seri yang sama, Introducing Marx, yang kebetulan salah satu bagian dari karyanya akan kamu bahas sore itu. Saya tidak terlalu ingat apa topik spesifik sore itu, yang pasti mengenai ekonomi politik, dan kami telah berhari-hari mengunyah halaman demi halaman sebuah diktat mengenai kapitalisme. Foucault menjadi tidak menarik, menjadi bagian dari sekelompok intelektual yang dengan cap “posmo”, kami – para peserta kursus- akan menghindari membaca karya-karya mereka.

    Kali kedua saya menemukan nama Foucault, adalah ketika di saat mempelajari Geopolitik. Buku Geraroid O Tuathail, Critical Geopolitics, memperkenalkan saya kepada “pengaruh” Foucault ke dalam studi Geopolitik, khususnya kepada perkembangan Institut Français de Géopolitique (IFG) yang dipelopori Yves Lacoste, dan merupakan tempat saya mengikuti studi geopolitik. O Tuathail mencoba memperlihatkan aliran pengaruh ini: Edisi pertama Hérodote, jurnal berkala IFG, memuat secara spesial wawancara dengan Foucault. Relasi lainnya, kelompok akademisi geografi yang di kemudian hari membentuk IFG dan juga Foucault adalah para pengajar dalam sebuah universitas eksperimental (Université de Vincennes, kini Université Paris 8).

    Hanya saja saya tidak se-antusias O Tuathail soal Foucault dan IFG. Deleuze, Lacan, Guattari, Badiou juga tercatat sebagai pengajar di sana. Kenapa tidak sekalian membahas mereka? Tanggapan dari akademisi yang terhubung dengan Hérodote, yang diperlihatkan dalam buku Space, Knowledge, and Power; Foucault and Geography oleh J.W Crampton et al juga belum cukup memuaskan. Tapi saya kembali teringatkan, serial ini hanyalah sebuah eksposisi pemikiran. Saya tidak sedang membangun sebuah teori atau mencari suatu teori untuk menjelaskan keseluruhan peristiwa dunia. Saya ingin menempatkan Foucault dan para penerjemahnya sebagai sekumpulan alat yang praktis, meski bukan model tipsani (kutip sana dan sini), dalam berpikir dan melakukan analisa geopolitik.

    Mengapa karya Foucault?

    Meminjam Yves Lacoste, term geopolitik merujuk kepada hal-hal yang berkaitan dengan pertarungan (atau persaingan) antar kekuasaan dan pengaruh di atas berbagai wilayah dan populasi yang hidup di atasnya. Artinya kita akan bicara banyak soal kekuasaan, pengaruh, wilayah/territori, dan populasi.

    Pada umumnya, istilah kekuasaan dalam geopolitik akan selalu dikaitkan langsung dengan negara. Wajar saja, sedari awal ia diperkenalkan, sebagian besar diskusinya adalah mengenai negara, wilayah, dan populasi. Alam berpikirnya masih yuridis, seputar konsep kedaulatan yang tercipta ratusan tahun sebelumnya setelah Perjanjian Westphalia. Dan sialnya, pengaruh Darwin juga cukup kuat. Tangan yang memegang pena yang menuliskan kata “geopolitik” (bahasa Jerman) adalah milik Rudolf Kjellen, geografer kelahiran Swedia yang menghabiskan waktu belajarnya di bawah Friedrich Ratzel, ahli biologi yang beralih profesi menjadi geografer dan etnografer, yang ditangannya kata “Lebensraum”, wilayah hidup, ditorehkan. Buku sejarah SMA mengajarkan kita bahwa doktrin “Lebensraum” adalah milik Nazi Jerman, sebuah gerakan yang mengagungkan negara totalitarian. Lengkap sudah asal-muasal geopolitik sebagai kerangka berpikir kenegaraan…

    Tapi dengan mempelajari perjalanan studi geopolitik dari waktu ke waktu, seperti yang diungkapkan O Tuathail dalam bukunya Critical Geopolitics, kita dapat melihat mengapa riset-riset Foucault yang ditelurkan dalam berbagai kuliah umum (selama 15 tahun di College de France) dan buku-bukunya menjadi relevan. Notion kekuasaan yang digunakan Foucault menjadi penting untuk membongkar kerangka diskursus kenegaraan yang mendominasi pembahasan geopolitik. Konsep yang tak perlu menjadi sempurna tersebut membuka mata kita untuk memasukkan perlawanan terhadap kebijakan negara sebagai bagian yang harus dianalisa dalam studi geopolitik. Ia juga dapat membuka halaman-halaman baru dalam pencarian bentuk-bentuk perlawanan yang dapat membongkar status quo berbagai sistem yang sebenarnya rapuh tapi bertahan melalui instrumen-instrumen administrasi dan kekerasan seperti neoliberalisme.

    Dalam kerangka konsep kekuasaan tadi, pembahasan mengenai territorialitas (upaya perorangan atau kelompok untuk mempengaruhi atau menegakkan kendali atas sebuah wilayah) menjadi lebih luas. Perencanaan perkotaan, misalnya, bukan lagi sebatas keahlian yang harus dimonopoli oleh para teknokrat yang selalu mencari restu para politisi, namun bisa menjadi ruang pertempuran antara mereka yang beraspirasi dominan, mengasumsikan kota seperti halnya halaman belakang mereka (gardening gaze), melawan mereka yang harus disingkirkan, yang harus ditendang dari kota karena mengganggu kerapian, ketertiban, ataupun keindahan kota.

    Apa yang bisa didapat?

    Jika kita mencari totalitas teoritik, universalitas, dan lain sebagainya, pembahasan karya Foucault tidak akan cocok. Undangan Foucault dalam Kuliah Pembuka “Il faut défendre la société” (”Masyarakat harus dipertahankan”, judul yang agak aneh sebenarnya), tanggal 7 Januari 1976, berlaku untuk mereka yang sedang mencari perangkat praktis dalam eksplorasi mengenai efek-efek kekuasaan dalam masyarakat.

    Eksposisi yang akan saya lakukan sebenarnya menelusuri kuliah-kuliah umum yang diberikan Foucault antara tahun 1976-1979. Kuliah-kuliah ini terpilah dalam tiga tema utama: Il faut défendre la société; Securité, territoire, et population; dan La naissance de biopolitique.

    Tema pertama diberikan antara Januari-Maret 1976, berkisar mengenai konsepsi dan konstitusi kekuasaan dan pengetahuan, menariknya dengan fokus pada pembalikkan kalimat terkenal von Clausewitz, menjadi “politik adalah kelanjutan dari perang dalam alat-alat yang lain”.

    Tema kedua, kelanjutan dari tahun sebelumnya, diberikan antara Januari-April 1978, berkutat pada instrumen-instrumen kekuasaan dalam notion biopower, sebuah konsep yang mengetengahkan bahwa mulai akhir abad 17, negara-negara Eropa Barat mulai menjadikan aspek-aspek kehidupan sebagai objek kekuasaan.

    Tema ketiga, diberikan setiap minggu pada Januari-April 1979, merujuk pada konsep biopolitik dan kaitannya dengan, cukup mengejutkan, neo-liberalisme. Cukup mengejutkan, karena Foucault telah bicara tentang neo-liberalisme, tepat sebelum pemerintahan Thatcher dan Reagan. Dan tampaknya masih belum banyak orang yang mengkaitkan Foucault dengan kritik terhadap neo-liberalisme. Dan bahkan para periset atau pemikir “Foucauldian” terlihat sangat jarang membicarakan eksposisi Foucault tentang neo-liberalisme.

    Akhir kata, eksposisi berseri ini adalah eksplorasi saya dalam tiga tema karya Foucault. Saya jelas mengharapkan adanya perubahan dalam metode analisa yang saya gunakan di akhir perjalanan ini.