Author: Roy Abimanyu

  • Mengubah Paradigma Kebijakan dalam Menghadapi Aset Kripto

    Sebelumnya telah diserahkan sebagai tugas policy memo KPEI MPKP FEB-UI

    1.     Pendahuluan

    Pertumbuhan pesat ekonomi digital Indonesia yang disebabkan perluasan digitalisasi kehidupan sehari-hari akibat pandemi (Google et al., 2021), juga mendorong pertumbuhan transaksi yang melibatkan aset kripto, baik yang berbentuk koin atau token maupun berbentuk karya seni berbasis Non-Fungible Token (NFT). Dalam catatan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), transaksi aset kripto mencapai kenaikan 1.222% dari sekitar Rp 65 triliun pada tahun 2020 menjadi sekitar Rp 860 triliun pada tahun 2021. Jumlah pemegang aset kripto juga meningkat 180%, dari 4 juta orang pada tahun 2020 menjadi 11,2 juta pada tahun 2021. Nilai transaksi rata-rata aset kripto di Indonesia mencapai Rp 2,35 triliun per hari pada 2021 (Annur, 2022).

    Pemerintah, dalam hal ini Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan, menganggap salah satu ancaman terhadap Pemulihan Ekonomi Nasional adalah keberadaan transaksi asset kripto (Anggraeni, 2021). Gubernur Bank Indonesia bergerak lebih jauh lagi, menyuarakan ancamannya kepada mitra-mitra lembaga keuangan Bank Indonesia agar tidak memfasilitasi penggunaan aset-aset kripto sebagai media pembayaran (Indraini, 2021).

    Terdapat kesan bahwa sikap dari Pemerintah dan Bank Indonesia bergerak dari kekhawatiran kehilangan kendali moneter. Hal ini bukan tanpa alasan, sebuah working paper yang dilakukan di IMF menemukan bahwa keberadaan aset kripto asing dapat meningkatkan risiko ketidakstabilan finansial berbentuk capital outflow dan substitusi mata uang (Popescu, 2022). Tidaklah mengherankan jika untuk sebagian pengamat ekonomi, Bank Indonesia menganggap aset-aset kripto yang berpotensi menjadi media pembayaran sebagai ancaman eksistensial (Elena, 2021).

    Di lain sisi, transaksi aset kripto yang besar di Indonesia juga dinaungi oleh Pemerintah, melalui Bappebti, lembaga non kementerian yang berada di bawah Kementerian Perdagangan (Bappebti, 2019). Meskipun dilarang sebagai media pembayaran, Pemerintah mengijinkan aset kripto sebagai alat investasi (Krisnawangsa et al., 2021; Puspasari, 2020). Penaungan Bappebti ini memungkinkan bergeraknya usaha-usaha perdagangan aset kripto berbasis aplikasi, salah satu faktor penyebab meroketnya perdagangan aset kripto di Indonesia. Aplikasi-aplikasi tersebut juga merupakan fasilitas pemerintah untuk mengawasi investasi kripto, ini disebabkan adanya kewajiban para perusahaan perdagangan aset kripto (Calon Pedagang Fisik Aset Kripto) untuk melaporkan transaksi mereka secara periodis (harian dan bulanan).

    Makalah ini berargumentasi bahwa alih-alih mencoba membatasi perdagangan aset kripto berada di luar media pembayaran, Pemerintah dan Bank Indonesia perlu menciptakan regulasi dalam ruang lingkup terbatas untuk berkembangnya teknologi Distributed Ledger (DLT) di dalam sistem pembayaran Indonesia. Pembatasan ruang lingkup ini untuk memungkinkan uji coba penggunaan aset kripto sebagai media pembayaran di dalam ekosistem semi tertutup. Dengan uji coba ini, Pemerintah dan Bank Indonesia bersama pihak swasta dapat mengeksplorasi kegunaan aset kripto dan DLT sebelum memulai pengembangan Central Bank Digital Currency (CDBC) di Indonesia (Zams et al., 2020).

    2. Kebijakan Temporer di Tengah Disrupsi dan Kevakuman Hukum

    Sampai pada tahun 2018, Pemerintah tidak memiliki regulasi khusus mengenai perdagangan aset kripto. Meluasnya transaksi perdagangan aset kripto di Indonesia pada tahun itu membuat Pemerintah bergegas mengisi kekosongan regulasi (Arbina & Putuhena, 2022).

    Berbekal sebuah surat dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di bulan September 2018, Kementerian Perdagangan membentuk Peraturan Menteri Perdagangan No 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto. Dengan dimasukkannya aset kripto, termasuk crypto currency, sebagai komoditas berjangka, kewenangan perundang-undangan untuk sementara waktu berada di bawah Bappebti.

    Langkah Kemendag ini memiliki beberapa tujuan, antara lain memberikan kepastian hukum untuk perdagangan aset kripto dan memberikan perlindungan terhadap pelanggan pasar aset kripto. Di bawah regulasi Bappebti, perdagangan aset kripto dilakukan melalui perusahaan pengembang aplikasi yang terdaftar sebagai Calon Pedagang Fisik Aset Kripto. Hingga saat ini terdapat 25 perusahaan perdagangan aset kripto yang terdaftar di Bappebti (Bappebti, 2022).

    Di sisi lain, meski tetap berposisi melarang penggunaan aset kripto sebagai media pembayaran, Bank Indonesia sedang mempertimbangkan pembentukan uang digital Indonesia (Pink, 2022). Proses pertimbangan ini dapat dilihat dari aktivitas Bank Indonesia dalam Presidensi G-20 Indonesia. Melanjutkan diskusi dari Presidensi G-20 sebelumnya, Bank Indonesia mendorong diskusi lebih jauh mengenai Central Bank Digital Currency (CDBC) yang merupakan respon lembaga-lembaga keuangan multilateral dunia di bawah naungan pendiskusian Financial Track dari G-20 (FSB, 2021).

    Diskusi-diskusi di dalam lembaga-lembaga keuangan dunia seperti IMF menyambut positif wacana tentang CDBC. Salah satu ahli IMF berpendapat bahwa CDBC berpotensi memiliki kegunaan dalam tiga hal. Pertama, CDBC dapat memperbaiki sistem pembayaran dari sisi biaya transaksi maupun tingkat kelentingan sistem. Kedua, CDBC dianggap dapat meningkatkan inklusi keuangan karena meningkatkan keberadaan pembayaran mikro secara digital. Ketiga, CDBC dapat memperbaiki pembayaran lintas perbatasan (negara) dengan standardisasi teknis dan persyaratan data dan kepatuhan (Adrian, 2022).

    3. Realitas dan Perkembangan Aset Kripto

    Pada tahun 2021, publik di seluruh dunia menyaksikan kemunculan NFT sebagai aset investasi. Berbagai bentuk dan kualitas karya seni digital dibentuk dan diperdagangkan sebagai NFT (Dowling, 2022). Penggunaan NFT tidak hanya sebagai karya seni, akan tetapi juga mulai dimasukkan ke dalam pengembangan permainan digital (game), dan bahkan berpotensi sebagai instrumen pertukaran di dalam e-sports, industri fashion dan berbagai bidang ekonomi kreatif lainnya (Rehman et al., 2021).

    Pembukaan potensi dari utilitas aset kripto semacam ini akan menjadi pembuka penggunaan-penggunaan lain tidak hanya dalam kehidupan virtual/digital, namun juga pada kehidupan nyata. Pemilik merk-merk besar secara global seperti Nike sudah mulai mengkapitalisasi pasar NFT yang disebutkan mememiliki karakteristik yang sama dengan pasar khusus sepatu sneaker hypebeast yang harganya dapat mencapat ratusan ribu dollar (Williams, 2022).

    Hingar bingar aset NFT juga memasuki Indonesia dengan fenomena Ghozali, seorang mahasiswa seni yang menggeluti 3D Art yang mengunggah foto-dirinya setiap hari yang kemudian dijual sebagai NFT seharga belasan milyar rupiah. Terlepas kehebohan tersebut, ada atau tidak ada regulasi, penggunaan aset kripto akan mencari bentuk yang paling memuaskan pemegangnya. Di saat aset kripto hanya dijadikan instrumen investasi komoditi berjangka, pasar penggunaan aset kripto untuk hal-hal lain di luar komoditi akan terjadi cepat atau lambat.

    Saat ini ada enam yurisdiksi yang melakukan uji coba CDBC, yaitu Uruguay, Kanada, Tiongkok, Swedia, Persekutuan Mata Uang Karibia, dan Bahamas. Keenam yurisdiksi mata uang tersebut memiliki desain yang berbeda-beda, namun setidaknya memiliki kesamaan tujuan dalam beberapa hal, yaitu antara mengarah kepada inklusi finansial dan/atau memastikan kedaulatan moneter (Soderberg et al., 2022).

    4. Rekomendasi

    Untuk dapat mengantisipasi kehadiran berbagai penggunaan baru dari aset kripto yang sebenarnya mengarah kepada media pembayaran dan sambil mempersiapkan diri membangun CBDC Indonesia, Pemerintah Bersama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan perlu mengambil langkah-langkah yang mempersiapkan adopsi atas teknologi-teknologi yang menjadi dasar dari aset kripto.

    4.1. Regulasi tentang Lingkungan Terbatas Penggunaan Aset Kripto

    Persoalan utama dari volatilitas aset kripto sebenarnya berujung kepada utilisasi aset kripto. Utilisasi atas aset kripto di luar perannya sebagai store of value akan menyeimbangkan kecenderungan volatil dari aset kripto.

    Yang dimaksud sebagai lingkungan terbatas, melalui regulasi dapat membentuk berbagai semi closed ecosystem di mana para investor ritel kripto dapat membeli aset kripto namun kegunaan utamanya hanya dapat dimaksimalkan pada ekosistem di mana aset it berada. Sebenarnya ini sudah terjadi dalam ekonomi Indonesia, di mana orang asing dapat membeli rupiah dan penggunaan rupiah hanya terjadi di Indonesia saja. Investor dapat melepaskan aset kripto yang dimaksud, namun ia memahami akan membutuhkan aset jika akan berinteraksi di dalam ekosistem tersebut.

    Regulasi dapat mengatur bahwa ekosistem-ekosistem semi tertutup ini didirikan oleh baik perusahaan swasta nasional ataupun asing, namun aset-aset fisik dari perusahaan tersebut dapat diatur tetap berada di Indonesia.

    Ekosistem-ekosistem terbatas ini penting tidak hanya dari sisi kegunaan aset kripto, tetapi lebih utama adalah proof of concept dari berbagai teknologi yang melatari aset kripto dan transaksi kripto. Tanpa ada ekosistem-ekosistem kripto, teknologi-teknologi ini sulit berkembang dan beradaptasi dalam situasi pengguna Indonesia.

    4.2. Adaptasi Teknologi Blockchain dalam Pemerintahan

    Selain di dalam ekosistem-ekosistem kripto semi tertutup, teknologi-teknologi berbasis blockchain sebenarnya sudah dapat diaplikasikan di dalam administrasi pemerintahan. Ini juga dapat dilakukan sebagai pilot project untuk membuktikan keandalan teknologi tersebut. Terdapat beberapa penerapan teknologi yang berpotensi meningkatkan efisiensi dan transparansi (Haneem et al., 2020). Dalam kasus Indonesia saat ini, penggunaan teknologi ini dapat untuk pengelolaan sertifikat lahan, penggunaan sistem resi gudang (SRG), dan pengelolaan identitas digital.

    5. Referensi

    Adrian, T. (2022, April). Speech: New Framework for the Digital Economy. International Monetary Fund. https://www.imf.org/en/News/Articles/2022/04/20/sp042022-new-framework-digital-economy

    Anggraeni, R. (2021, June 15). Sri Mulyani Sebut Mata Uang Kripto Jadi Ancaman, Kok Bisa? Sindonews.Com. https://ekbis.sindonews.com/read/456790/178/sri-mulyani-sebut-mata-uang-kripto-jadi-ancaman-kok-bisa-1623769589

    Annur, C. M. (2022, April 12). Nilai Transaksi Aset Kripto di Indonesia Meroket 1.222% pada 2021. Katadata. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/04/12/nilai-transaksi-aset-kripto-di-indonesia-meroket-1222-pada-2021

    Arbina, M., & Putuhena, M. I. F. (2022). Tata Kelola Pembentukan Regulasi Terkait Perdagangan Mata Uang Kripto (Cryptocurrency) Sebagai Aset Kripto (Crypto Asset). Mahadi: Indonesia Journal of Law, 1(1).

    Bappebti. (2022, March). Calon Pedagang Fisik Aset Kripto. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi –  Kementerian Perdagangan. https://bappebti.go.id/calon_pedagang_aset_kripto

    Bappebti. (2019). Aset Kripto (Crypto Asset). https://bappebti.go.id/resources/docs/brosur_leaflet_2001_01_09_o26ulbsq.pdf

    Dowling, M. (2022). Is non-fungible token pricing driven by cryptocurrencies? Finance Research Letters, 44. https://doi.org/10.1016/j.frl.2021.102097

    Elena, M. (2021, December 13). Godok CBDC a.k.a “Rupiah Digital”, Inikah Langkah Bank Sentral Lawan Kripto? Bisnis.Com. https://finansial.bisnis.com/read/20211213/11/1477198/godok-cbdc-aka-rupiah-digital-inikah-langkah-bank-sentral-lawan-kripto

    FSB. (2021). Regulation, Supervision and Oversight of “Global Stablecoin” Arrangements Progress Report on the implementation of the FSB High-Level Recommendations. www.fsb.org/emailalert

    Google, Temasek, & Bain&Co. (2021). e-Conomy SEA 2021: Roaring 20s The SEA Digital Decade. https://economysea.withgoogle.com/

    Haneem, F., Bakar, H. A., Kama, N., Mat, N. Z. N., Ghazali, R., & Mahmood, Y. (2020). Recent Progress of Blockchain Initiatives in Government. International Journal of Advanced Computer Science and Applications, 11(11). https://doi.org/10.14569/IJACSA.2020.0111144

    Indraini, A. (2021, June 15). BI Ultimatum, Lembaga Keuangan RI Tak Boleh Sentuh Kripto! DetikFinance Detik.Com. https://finance.detik.com/fintech/d-5607001/bi-ultimatum-lembaga-keuangan-ri-tak-boleh-sentuh-kripto

    Krisnawangsa, H. C., Hasiholan, C. T. A., Adhyaksa, M. D. A., & Maspaitella, L. F. (2021). Urgensi Pengaturan Undang-Undang Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset). Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi, 13(1). https://doi.org/10.28932/di.v13i1.3718

    Pink, B. (2022, March 31). BI Masih Kaji Bentuk Mata Uang Digital Bank Sentral (CBDC) yang Pas untuk Indonesia. Kontan.Co.Id. https://nasional.kontan.co.id/news/bi-masih-kaji-bentuk-mata-uang-digital-bank-sentral-cbdc-yang-pas-untuk-indonesia

    Popescu, A. (2022). Cross-Border Central Bank Digital Currencies, Bank Runs and Capital Flows Volatility. IMF Working Papers, 2022(083), 1. https://doi.org/10.5089/9798400209185.001

    Puspasari, S. (2020). Perlindungan Hukum bagi Investor pada Transaksi Aset Kripto dalam Bursa Berjangka Komoditi. Jurist-Diction, 3(1). https://doi.org/10.20473/jd.v3i1.17638

    Rehman, W., Hijab e Zainab, Imran, J., & Bawany, N. Z. (2021). NFTS: Applications and challenges. 2021 22nd International Arab Conference on Information Technology, ACIT 2021. https://doi.org/10.1109/ACIT53391.2021.9677260

    Soderberg, Gabriel., Bechara, M., Bossu, W., Che, N. X., Davidovic, S., Kiff, J., Lukonga, I., Griffoli, T. M., Sun, T., & Yoshinaga, A. (2022). Behind the Scenes of Central Bank Digital Currency Emerging Trends, Insights, and Policy Lessons. International Monetary Fund.

    Williams, A. (2022, May 26). Nike Sold an NFT Sneaker for $134,000. New York Times. https://www.nytimes.com/2022/05/26/style/nike-nft-sneaker.html

    Zams, B. M., Indrastuti, R., Pangersa, A. G., Hasniawati, N. A., Zahra, F. A., & Fauziah, I. A. (2020). Designing central bank digital currency for Indonesia: The delphi-analytic network process. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 23(3). https://doi.org/10.21098/BEMP.V23I3.1351

  • Hikayat Sang Pendongeng

    Artikel ini sebelumnya terbit di Majalah Pantau edisi Januari 2004. John le Carré, sang pendongeng Perang Dingin, wafat pada tanggal 12 Desember 2020.

    SUATU KETIKA, PENELITI DOKTOR DAVID KELLY DIWAWANCARAI ANDREW GILLIGAN, wartawan BBC. Dalam perbincangan 45 menit ini, Gilligan bertanya mengapa Irak tidak menggunakan senjata biologis dan kimia miliknya. Kelly hanya memaparkan hal-hal teknis saja.

    Posisi Kelly sebenarnya mendukung perang. Ini menurut surat klarifikasi kepada atasannya, Doktor Bryan Wells, pada 30 Juni 2003. Menurut surat itu, Kelly meyakini adanya ancaman jika Irak melanjutkan program-program senjata nonkonvensionalnya. Yang jadi masalah, reportase Gilligan dianggap ingin menjatuhkan kabinet Blair, dan Kelly diposisikan sebagai si pembocor.

    Kelly tak urung mendapat tekanan dari kanan-kiri. Di sisi lain, kebijakan Inggris atas Irak pelan-pelan kehilangan legitimasi menyusul dilakukannya investigasi internal. Keadaan ini makin menambah berat beban Kelly. Dia sempat diperingatkan Direktur Personalia Departemen Pertahanan Richard Hatfield dan diancam akan diberikan sanksi indisipliner. Sebelum ancaman itu jadi kenyataan, Kelly ditemukan tewas. Bagi kabinet Blair, kematian Kelly bisa berarti banyak hal. Salah satunya, Blair terbebaskan dari tuduhan pemalsuan laporan intelijen yang mendasari penyerbuan Inggris ke Irak.

    Membaca ulasan-ulasan berita kasus David Kelly, saya ingat karakter Magnus Pym dan Leo Hartling. Mereka menghilang bersama dokumen-dokumen yang bisa mempermalukan pemerintah Inggris. Pym pejabat Departemen Luar Negeri, sedangkan Harting pengarsip Kedutaan Inggris di Bonn. Keduanya jadi kambing hitam atas kebobrokan dan kebocoran sistem di tempat mereka bekerja. Baik Pym maupun Hartling adalah tokoh-tokoh jelmaan yang lahir dari satu tangan: John le Carré.

    Karya-karya awal le Carré berkisar pada dunia intelijen, dan mampu terjual dalam jutaan kopi, selain memenangi anugerah Somerset Maugham Award untuk novelnya The Spy Who Come In From The Cold. Penghargaan itu biasa diberikan kepada penulis muda Inggris.

    Tema besar intelijen versi le Carré, dalam 30 tahun karyanya, lebih banyak berkisar pada dongeng Perang Dingin, terutama sepanjang konflik spionase antara Inggris dan (almarhum) Uni Soviet. Hanya satu novel saja yang menceritakan kisah cinta, The Naive and Sentimental Lover.

    Karya-karya le Carré selalu penuh kejutan dan kesuraman para tokoh utamanya. Mereka bukanlah jagoan super seperti James Bond, atau cerita-ceritanya dipenuhi oleh aksi-aksi heroik seperti Tom Clancy. George Smiley, tokoh yang sering ditulis kisahnya dalam buku-buku le Carré, adalah seorang laki-laki paruh baya, pendek, punya masalah berat badan, berkacamata tebal, dan belum pernah menembak orang seumur hidupnya. Kolega-koleganya malah lebih bervariasi. Ada Connie Sachs, ratu riset MI6 yang juga seorang dosen di Oxford; Sam Collins, yang menghabiskan hidup mudanya di Asia Tenggara sebelum menjadi bos bisnis rumah judi, atau Toby Esterhease, yang sewaktu pensiun menjadi pedagang furnitur dan barang antik. Yang mungkin mirip dengan Bond adalah Peter Guillam, yang selalu memiliki mobil sport dan terlibat skandal dengan perempuan muda.

    Kebanyakan tokoh utamanya mati di akhir cerita, kalau bukan merasa hidupnya sia-sia. Misalkan saja, Magnus Pym yang bunuh diri sebelum agen-agen MI5 sempat menangkapnya, atau Jerry Westerby, tokoh utama dalam The Honourable Schoolboy, yang mati ditembaki oleh agen rahasia Barat lainnya.

    Sangat jarang akhir cerita novel-novel le Carré disesaki gemilang kemenangan, biarpun pahit sudah mengawali novel-novelnya. Pengkhianatan jadi nada dominan dari plotnya. Ini memosisikan le Carré sebagai novelis yang berusaha menampilkan Perang Dingin dengan segala kesuraman, kekalahan, dan kekejamannya. Potret tersebut dia kemas dalam frasa-frasa yang terasa satir. Hal ini sekaligus menempatkan novel-novel Le Carré berbeda dari galibnya kisah-kisah spionase yang banyak kita baca. Le Carré bahkan berulang-ulang menyiratkan bahwa pistol kecil Walther PPK yang melegenda bersama James Bond itu tak lebih dari ilusi. Dia tahu bahwa ada peraturan MI6 yang melarang agen-agennya membawa senjata apapun.

    Untuk mereka yang terbiasa dengan heroisme dar-der-dor, pasti akan menyatakan le Carré penulis cerita spionase yang payah. Jika Bond diwarnai sifat sebagai “pejantan unggul,” tokoh-tokoh le Carré seringkali dihantui oleh perasaan-perasaan sentimentil. Misalkan saja karakter Barley, pemilik penerbitan yang hobi minum, nekat bernegosiasi dengan agen-agen Rusia untuk bisa membawa keluar Katya, perempuan yang dicintainya. Jerry Westerby nyaris membubarkan operasi besar MI6 karena rasa cintanya pada perempuan simpanan seorang taipan. Atau George Smiley dan agen bernama sandi Karla yang terikat sebuah hubungan melankolis dengan pemantik api bertuliskan “To George from Ann with all my love.”

    JOHN LE CARRÉ, NAMA YANG DIGUNAKAN DAVID JOHN MORE CORNWELL. Hidup Le Carré dimulai dari kariernya sebagai diplomat setelah lulus Oxford University. Salah satu jabatan yang pernah dia pegang adalah sekretaris pertama Kedutaan Inggris di Bonn, Jerman. Puluhan tahun le Carré menepis dugaan bahwa dia mantan agen rahasia, namun belakangan dia mengakui telah bergabung dengan dinas rahasia Inggris sejak jadi anggota tentara pendudukan Inggris di Austria. Tugas pertamanya sangat konyol. Dia diperintahkan merekrut mata-mata di antara para pengungsi yang lari dari daerah pendudukan Uni Soviet untuk dikirim kembali ke Blok Timur.

    Setelah tugas ketentaraannya berakhir, dia kembali ke kampus, menjadi agen MI5 di Lincoln College untuk mewaspadai perekrutan KGB di kalangan mahasiswa Inggris. Le Carré sempat mengajar di Eton, tapi kemudian bekerja di Kedutaan Inggris di Bonn atas perintah MI6 sebagai sekretaris.

    Dia selalu punya satu kata untuk menjelaskan profesi spionasenya: “membosankan.” Menurut pengalamannya, sebagian besar kerja intelijen sangat birokratis, ‘menunggu informasi dan memilah-milahnya. Gambaran penuh aksi yang digambarkan lan Fleming dalam James Bond nyaris jarang terjadi. Demikian pula tumpukan-tumpukan arsip, yang selalu muncul dalam narasi novel-novel le Carré, bukanlah gambaran tipikal dunia intelijen sesungguhnya. Acap teka-teki intelijen yang terjadi di dunia nyata tidak terjawab.

    Sewaktu bekerja dengan MI5, dinas rahasia Inggris untuk kontraspionase, le Carré bertemu dengan seseorang yang dia jadikan model untuk tokoh George Smiley. Namanya Lord Clanmorris, yang menulis buku-buku cerita detektif dengan menggunakan nama John Bingham.

    Bingham-lah yang menyarankan le Carré untuk menulis. Namun Bingham sama sekali tidak sepakat dengan gambaran dinas rahasia Inggris yang dilukiskan le Carré. Dalam kata pengantar untuk buku Bingham, Five Roundabouts to Heaven, yang diterbitkan Pan Classic Crime tahun 2001, le Carré menulis, “Buat John -dan juga banyak lainnya- klaim maksud baik hanyalah omong kosong. Aku hanyalah seorang bajingan, segolongan dengan bajingan lain seperti Compton McKenzie, Malcolm Muggeridge, dan J.C. Masterman, yang semuanya telah mengkhianati dinas rahasia dengan menulis tentangnya.”

    Le Carré lebih beruntung dari Compton Mackenzie, mantan anggota dinas rahasia yang menulis beberapa novel jenaka tentang pemerintah bayangan Inggris, salah satunya berjudul Water in Britain. Buku-buku Mackenzie dibredel dan dia masuk penjara, sementara Le Carré tidak mengalami gangguan apapun dari para espiokrat Inggris.

    Yang menarik dari kehidupan le Carré, perkenalannya dengan dunia penyamaran bukanlah saat bergabung menjadi agen rahasia, tetapi justru dari masa kecilnya. Ayahnya, Ronald Cornwell, adalah seorang kriminal dan penipu yang selalu punya trik untuk mendapatkan gaya hidup mewah. Karena ayahnya sering keluar-masuk penjara, terutama karena penipuan lotre, le Carré dan saudaranya terpaksa menyembunyikan identitas mereka.

    Sebagai kriminal kelas kakap, yang selalu berhasil menipu bankir dan politisi, Ronald Cornwell punya banyak cara untuk menjerat sasarannya. Dia pernah menggunakan koneksi perempuan-perempuan cantik untuk membuat regu cricket nasional Australia menandatangani 100 tongkat pemukul cricket yang dia beli. Lalu, tongkat-tongkat cricket itu dijadikan hadiah untuk anak-anak para bankir, politisi, ataupun rekanan bisnis lainnya.

    KETIKA TINKER TAILOR HAMPIR SELESAI, INGGRIS DAN EROPA TERASA menyesakkan bagi le Carré. Semua yang dia temukan tidak ada yang cocok untuk dijadikan cerita. Dalam kalimatnya, seekor kucing duduk di atas kesetan bukanlah cerita. Seekor kucing duduk di atas kesetan seekor anjing, itu baru cerita. Dia merasa harus membuka horison baru, dan Asia Timur menjadi perhentian le Carré berikutnya. Vientiane, Phnom Penh, Bangkok, dan Hongkong kemudian segera jadi pengembaraannya, dan Klub Koresponden Asing di Hongkong menjadi tempat berteduhnya.

    Dia kerap bertemu dengan banyak orang dari belahan dunia. Sebagian mereka berasal dari daerah-daerah bekas koloni Inggris -Australia, Amerika, dan Kanada. Salah seorang yang berkesan bagi le Carré adalah Richard “Dick” Hughes, wartawan The Sunday Times dan sempat menjadi salah satu kolumnis Far Eastern Economic Review.

     Le Carré menjadikan Dick Hughes sebagai model untuk tokoh Craw, dan pada saat bersamaan, mengekspos aktivitas sampingan Hughes: agen rahasia paruh waktu. Mungkin le Carré melakukan libel dalam melukiskan Hughes dalam wujud Craw, tapi Hughes tak keberatan. Ketika le Carré melakukan konfirmasi kepadanya, dia menjawab: “Nak, lakukan saja sampai ke akar-akarnya,” sambil mengingatkan bahwa Fleming juga melakukannya dalam novel You Only Live Twice.

    Jalan hidup Hughes memang menarik. Hidupnya bermula sebagai pegawai jawatan kereta api Australia, lalu menjadi juara debat negara bagian Victoria. Variasi hidup Hughes begitu lebar, termasuk menjadi juara tinju kelas ringan dan menjadi aktivis serikat buruh kereta api, sebelum menjadi jurnalis. Pada masanya, dia pionir dalam jurnalisme Australia dalam hal memfokuskan liputan di Asia. Menjelang Perang Dunia l, Hughes nekat berangkat ke Jepang dengan biaya dari tabungannya yang tidak seberapadan pinjaman Au$ 400 dari bosnya, Frank Packer. Mungkin disitulah awal perkenalan Hughes dengan dunia spionase, terutama setelah bertemu dengan Richard Sorge, agen rahasia Rusia.

    Liputan terbesar Hughes selama Perang Dingin adalah wawancaranya dengan Guy Burgess dan Donald Maclean, dua mata-mata Rusia berkebangsaan Inggris yang berhasil memegang posisi-posisi kunci di Departemen Luar Negeri dan Dinas Rahasia Kerajaan Inggris. Keduanya ditemui Hughes setelah mereka diketahui berada di Moskow, berhasil meloloskan diri dari para pemburu MI5.

    Lukisan Craw yang dibuat le Carré berdasarkan karakter dan pengalaman Hughes adalah bagian dari upayanya untuk mengekspos lebih jauh dunia spionase.

    Dan dunia spionase tak hanya konteks Barat versus Rusia. Le Carré juga merasa harus membawa salah satu karakternya, George Smiley, ke Timur Tengah untuk bertarung dengan tokoh Karla. “Tapi saya tidak bisa menemukan satu plotpun di Timur Tengah yang sangat kelam, sangat manipulatif, sangat konyol yang dapat mewadahi konfik tersebut,” komentar le Carré.

    Dia merasa tidak ada cerita untuk Smiley di sana. Lagi pula, kesuksesan serial Tinker Tailor Soldier Spy di BBC, di mana Smiley diperankan baik oleh aktor Alec Guinness, telah, “merampas tokoh tersebut dari saya. Sangat sulit untuk menuliskan Smiley setelah Smiley diperankan Guinness menjadi terkenal. Di satu sisi kesuksesan filmnya malah merusak langkah saya.”

    Jadilah le Carré mendatangi Israel dan Palestina, untuk membongkar konflik Israel-Palestina dalam kacamata baru. Dia memandang Barat telah mengabaikan aspek-aspek dari konflik berkepanjangan tersebut. Apalagi Golda Meir, perdana menteri Israel pada 1960-an pernah sesumbar, “Bangsa Palestina tidak pernah ada.” The Little Drummer Girl ditulis le Carré pada 1982 setelah serangkaian riset dan kunjungannya ke Israel dan Palestina. Dia berbicara dengan perwira-perwira intelijen militer dan Mossad, selain sempat hidup bersama dengan para pejuang Palestina di kamp Rashiddiyeh, yang terus-menerus diserang militer Israel.

    Dia juga memotret trend konflik Barat dengan Blok Timur yang saat itu sudah berwujud dalam terorisme. Dari pemboman, pembajakan pesawat terbang sipil, sampai pembantaian terhadap atlet Israel di Olimpiade Munich 1976. Di sini berkibar nama Bäder-Meinhoff, Carlos the Jackal, Brigade Merah, dan nama kelompok teroris lain yang mengklaim peristiwa-peristiwa tersebut. Sumber perekrutan kelompok-kelompok tersebut sebagian besar adalah bekas-bekas mahasiswa yang pada 1968 terlibat gelombang pemberontakan di berbagai negara maju, atau pada 1970-an kelompok-kelompok anarkis yang hidup dalam generasi hippies. Frustasi terhadap kapitalisme jadi bahan bakarnya.

    THE LITTLE DRUMMER GIRL SEMPAT MENGUNDANG PROTES BEBERAPA wartawan Israel, karena dianggap pro-Palestina. Le Carré dituduh anti-Semit karena paparannya dalam buku itu memberi simpati pada para pejuang Palestina. Apalagi, risetnya untuk menyusun novel itu termasuk berbicara dengan Yasser Arafat.

    Ceritanya dimulai dengan seorang aktris teater bernama Charlie yang dengan sadar mengubah latar belakang hidupnya demi dapat diterima kelompok anarkis, untuk menyenangkan pacarnya, Alastair. Meski dia tahu, Al bukanlah seorang anarkis yang baik, dalam kehidupan domestik dia adalah seorang fasis.

    Tapi bakat akting Charlie, yang benar-benar dia lakukan sehari-hari, menarik sekelompok orang yang mencoba menghentikan gelombang pemboman terhadap orang Yahudi Israel.

    Kelompok agen Mossad yang dipimpin oleh Kurtz, yang sudah muak pada badut-badut di Knesset (Parlemen Israel) dan para serdadu Israel yang haus darah. Kurtz, bekas seorang teroris Yahudi sebelum 1948, bosan dengan pemboman yang dilakukan militer Israel terhadap rakyat sipil Palestina.

    Bagi mereka, Charlie umpan untuk seorang teroris Palestina, yang bom-bom primitifnya merangkai terror. Sang teroris frustasi dengan perjuangan melawan Israel, apalagi Ketika dia dan adiknya melarikan diri ke wilayah yang dikuasai Suriah. Mereka ditangkap dan disiksa oleh militer Suriah, saudara-saudara Arabnya sendiri. “Sementara itu saudara-saudara Arab membunuh kita, kaum Zionis membunuh kita, kaum Falangis membunuh kita …”

    LE CARRÉ MEMANDANG HIDUP SEBAGAI IRONI, DAN ITU TERCERMIN dalam semua dongeng yang dia bukukan. “Kita menangi perang itu. (Tapi) kita sia-siakan perdamaian. Kita belum meningkat menuju kejayaan. Bentuk-bentuk materialisme yang kita gunakan sebagai pembenaran selama jihad anti-komunis kini muncul, mendakwa kita,” ujar le Carré saat diwawancarai Tim Weiner dalam Le Carré On The Most Immoral Premise of All.

    Dia menggunakan tokoh-tokoh dalam novel-novelnya untuk menyuarakan ironi yang dia maksudkan itu. Karakter Magnus Pym misalnya, digambarkan le Carré dulunya seorang mahasiswa pandai yang direkrut dinas rahasia Inggris untuk memata-matai mahasiswa pandai lainnya.

    Melalui dongengnya tentang Smiley dan Karla, dalam trilogy Tinker Taylor Soldier Spy, The Honourable Schoolboy, dan Smiley People, le Carré mengingatkan orang pada dekade 1950-an dan 1960-an. Saat itu Perang Dingin sedang memuncak, dan saat itu pula Inggris mengalami beberapa peristiwa yang memalukan. Sejumah pejabat dinas rahasianya membelot ke Uni Soviet, bahkan lima di antaranya disusupkan jauh sebelum Perang Dingin dimulai.

    Guy Burgess, Donald Maclean, dan Kim Philby direkrut di kampus Cambridge oleh NKVD (dinas rahasia Uni Soviet sebelum KGB). Agen Anthony Blunt direkrut oleh badan yang sama ketikan mengunjungi Rusia pada 1933. Agen rahasia yang ditugaskan Ml6 untuk menyusupi KGB, George Blake, malah sudah lama bekerja untuk KGB. Philby bahkan sempat menjadi direktur MI6, sementara karier terakhir Blunt menjadi kurator lukisan-lukisan milik Ratu Inggris dan mendapatkan gelar Sir.

    Lewat bingkai cerita tadi, le Carré melihat kemenangan Barat tak lebih dari serangkaian ironi – seperti keruntuhan Uni Soviet yang memerdekakan Azerbaijan, dengan kemungkinan pembantaian warga Armenia atau bangkitnya fundamentalisme lslam di republik-republik Asia Tengah. Sampai disini le Carré sepertinya hendak mengatakan bahwa imperium Barat akan menghadapi lebih banyak musuh dari kemenangannya selama ini.

    Seiring dengan bergeraknya politik dunia ke arah berakhinya Perang Dingin, Ie Carré mencari ironi lain, umpamanya dalam medium konfik NATO-Pakta Warsawa. Dan ketika konfik ini usai, le Carré memusatkan perhatian pada wacana antigloblisasi. Dia memperlihatkan sikap ini pada novel terakhirnya, The Constant Gardener. Dalam novel ini, dia mengisahkan Justin Quayle, seorang diplomat biasa di Konsultat Inggris untuk Kenya. Waktu luangnya dihabiskan untuk merawat taman di rumahnya. Istrinya, Tessa,adalah aktivis yang terlibat dalam pengawasan bantuan obat-obatan untuk masyarakat miskin Kenya. Dypraxa obat mutakhir untuk TBC, dibagi-bagikan oleh The House of Three Bees sebagai bahan uji coba yang murah di Kenya. Syahdan, pemerintahan diktator Moi akan mudah membereskan jika ada”kekacauan” akibat efek samping obat yang belum benar-benar teruji itu.

    Ketika Tessa dan temannya, Doktor Arnold Bluhm, dibunuh, kehidupan diplomat dan pertamanan Quayle berhenti. Dari seorang birokrat konsulat yang pendiam dan patuh pada tugas-tugasnya, Quayle berhenti bekerja dan menyusuri semua jejak Tessa dan Bluhm sebelum dibunuh. Setelah ditarik ke London, dia menghilang untuk mengetahui siapa yang membunuh Tessa dan apa penyebabnya. Namun, seperti beberapa tokoh le Carré dalam novel-novel terbaiknya, Quayle mengalami hal yang sama seperti Tessa.

    Kasus-kasus kematian akibat Dypraxa, yang membuat Tessa, Bluhm, dan akhirnya Quayle dibunuh, kembali jadi teka-teki abadi. Mereka yang terlibat tetap bebas. Keneth Curtiss si pemilik The House of Three Bees mendapatkan gelar kebangsawanan dan diangkat menjadi anggota The House of Lords. Sir Bernard Pellegrin dari Kementrian Luar Negeri Inggris mengambil pensiun dini untuk menjadi manajer di Karel Vita Hudson, produsen Dypraxa.

    The Constant Gardener membawa le Carré ke dalam alur tema mengenai bagaimana perusahaan-perusahaan obat internasional menggunakan negara dunia ketiga seperti Kenya sebagai laboratorium. Inspirasinya sangat jelas, berasal dari gejolak internasional yang kini terjadi: gerakan antiglobalisasi. Dalam penutup The Constant Gardener le Carré dengan tegas menyatakan bahwa apa yang ditulisnya tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang terjadi dalam dunia nyata.

  • Konten Eksklusif di Karyakarsa.com : Terorisme, Ekstrimisme, dan Diskriminasi

    Serangan bom bunuh diri mengguncang Markas Kepolisian Resor Kota Medan pada 13 November 2019. Sebelumnya, Menkopolhukam Wiranto (2016-2019) menjadi korban penusukan oleh anggota kelompok teror. Kedua serangan menarget simbol keamanan. Keduanya juga menunjukkan pola serangan yang bersifat individualis, mengandalkan kesederhanaan persenjataan dan kesulitan pendeteksian, dan keyakinan deterministik dari pelaku.

    Untuk lebih lengkapnya, konten ini eksklusif hanya di karyakarsa.com. Dengan Rp 25.000,00 per bulan, anda mendapatkan berbagai konten eksklusif yang tidak ada di website geopolitik.org.

    https://karyakarsa.com/post/terorisme-ekstrimisme-dan-disinformasi

  • Menggali Genealogi dan Arkeologi Kekuasaan – Catatan dan Komentar (Bagian 1)

    Judul : Foucault : The Birth of Power
    Penulis : Stuart Elden
    Penerbit : Polity Press, Cambridge, UK
    Tahun Penerbitan : 2017

    Relevansi

    Buku yang ditulis Stuart Elden, Profesor Teori Politik dan Geografi Universitas Warwick dan Universitas Monash, seperti bertepatan dengan upaya saya untuk kembali mempelajari dan merefleksikan pemikiran dan observasi Foucault tentang kekuasaan. Buku ini sebenarnya dituliskan dari material-material yang diteliti Elden dalam menyusun buku lain yang berjudul Foucault’s Last Decade (Polity, 2016).

    Elden bermaksud mengkonsolidasikan catatan-catatan yang dimilikinya untuk memahami awalan dan perubahan yang dilalui oleh pemikiran Foucault tentang kekuasaan. Elden berpendapat Foucault mengubah agenda riset yang menyibukannya selama dekade 1960, setelah kembali dari tugas mengajar di Tunisia. Pengalaman mengajar beberapa tahun di sana hingga 1969 dan perlawanan mahasiswa dan buruh pada Mei 1968 yang mendorong pembubaran Republik Perancis ke-IV, dinilai Elden sebagai penanda perubahan Foucault dari teoritis dan metologis menjadi lebih aktivis dan kolaboratif.

    Foucault melibatkan diri dalam riset-riset advokasi, khususnya terkait dengan lembaga penjara dan lembaga kesehatan. Riset-riset tersebut mengkaitkan erat dunia aktivis dan akademis Foucault.

    Catatan-catatan dari buku ini cukup membantu dalam mempelajari pemikiran-pemikiran Foucault tentang kekuasaan yang sedang saya lakukan. Fokus buku ini adalah periode 1969-1974, tahun-tahun pertama Foucault menjabat sebagai pengajar di College de France. Elden sendiri, dalam buku ini mencoba memahami apa yang pada saat itu diupayakan Foucault dan bagaimana ia melakukannya. Pendeknya, genealogi kemunculan pertanyaan tentang kekuasaan dan makna genealogi dalam karya-karya Foucault.

    Susunan Buku

    Elden membagi buku ini ke dalam tujuh bab, termasuk pengantar. Tiga bab setelah Bab Pengantar diberi judul dari tiga konsep yang dijadikan Foucault sebagai fokus pada kuliah berseri di Universitas Katolik Pontifikal Rio de Janeiro, Brazil, pada 21-25 Meil 1973. Ketiga konsep tersebut adalah measure, inquiry, dan examination (kurang lebih dalam bahasa Indonesia: ukuran, penyelidikan, dan pemeriksaan). Measure menjadi tema dasar dalam kuliah La volonté de savoir(Keinginan untuk Tahu, 1970-1971), inquiry muncul pada kuliah Théories et institutions pénales (Teori dan Kelembagaan Penghukuman, 1971-1972), dan examination adalah sebuah fokus dalam la Société punitive (Masyarakat Penghukum, 1972-1973).

    Tiga bab berikutnya diberikan judul sesuai dengan tema-tema penelitian Foucault sebelum karyanya yang terkenal_History of Sexuality_: kegilaan, disiplin dan penyakit. Ketiga tema tersebut merupakan kerja problematisasi Foucault dari apa yang ia sebut sebagai sejarah dari masa kini (histoire au présent). Di beberapa titik, tema-tema tersebut meninjau kembali karya-karya Foucault sebelumnya namun memperdalam dan berhubungan dengan problematisasi kekuasaan di tema lain. Menurut Elden, contoh pada Psychiatric Power menunjukkan diskusi tentang kekuasaan yang terhubung dengan diskusi di buku lain seperti Discipline and Punish, yang merupakan sebuah analisis sejarah, kelembagaan, dan sosial atas bagaimana “pengetahuan berfungsi sebagai kekuasaan”.

    Penyusunan tersebut mungkin mencerminkan catatan Elden pada bab penutup buku, bahwa karya-karya Foucault diarahkan untuk menjadi “kotak alat” di mana pembaca dapat mengambil alat-alat di dalamnya untuk menyelesaikan masalah. Foucault pernah menggambarkan dirinya sebagai seorang artificer (petugas zeni) yang bertugas memetakan pertahanan lawan dan cara mendobraknya, sebagai seseorang yang mengkonsepkan, membangun, membongkar atau membebaskan jalan.
    (Bersambung)

  • Perang sebagai Pisau Analisa Politik (Bagian 3)

    (lanjutan Catatan kuliah Michel Foucault “Il faut défendre la société” 21 Januari 1976, College de France, Paris)

    Karakter Diskursus Perang Permanen

    Menurut Foucault, karakteristik pertama dari diskursus perang permanen adalah pandangan atas sebuah masyarakat biner. Masyarakat terbagi menjadi dua kubu yang berseberangan, yang terus melakukan perang secara permanen. Tidak ada yang netral, dan setiap orang pasti akan punya musuh.

    Dalam sejarah pemikiran Eropa pasca Abad Pertengahan, inilah momen munculnya diskursus politik-kesejarahan (historico-political). Pengajar diskursus ini tidak dapat dan memang tidak berniat untuk mengambil posisi ahli hukum ataupun filsuf, yang netral, universal. Si pengujar adalah seseorang yang bertempur, punya musuh, dan sedang berjuang menuju kemenangan. Jika ia bicara tentang kebenaran dan hak, ia akan menuntut hak “miliknya”. Hak-haknya bersifat tunggal dan ditandai oleh relasi-relasi kepemilikan, penaklukan, kemenangan, ataupun alami. Ia bisa berwujud hak dari keluarga ataupun rasnya, hak dari keunggulan atau senioritasnya, hak dari invasi yang berhasil, atau hak dari pendudukkan. Karena tidak bermaksud melakukan penyimpulan yang netral, yang dilakukan adalah penyimpulan yang dapat menguntungkan posisi tempurnya. Artinya, kebenaran diskursus ini adalah dari perspektif pencapaian kemenangan dan keberlangsungan (survival) dari pengajar diskursus itu sendiri.

    Diskursus ini menetapkan sebuah hubungan yang fundamental antara relasi-relasi kekuatan dan relasi-relasi kebenaran. Artinya, identifikasi kebenaran dengan perdamaian atau netralitas) yang merupakan pembentuk filsafat Yunani, telah hancur. Dalam diskursus ini, dengan berpihak, mengambil posisi, seseorang dapat lebih menyuarakan kebenaran, lebih dapat menerjemahkan kebenaran. Buatnya, yang terpenting bagaimana kebenaran memperkuat mereka, atau mengubah perimbangan kekuatan atupun memperbesar ketimpangan, atau akhirnya kebenaran akhirnya memberikan kemenangan pada salah satu pihak. Foucault menekankan, subyek yang mengajukan diskursus ini adalah subyek yang sedang berperang. Dan jelas, diskursus ini menciptakan riak di antara diskursus-diskursus tentang kebenaran dan hukum yang telah ada selama ribuan tahun.

    Kedua, ini adalah diskursus yang membalikkan nilai-nilai, keseimbangan, dan polaritas dari pemahaman. Ia juga mensyaratkan penjelasan dari bawah. Namun penjelasan dari bawah bukanlah sesuatu yang jelas dan sederhana. Penjelasan semacam itu artinya menjelaskan dalam keadaan yang campur aduk, kacau, dan bisa bersifat kebetulan. Apa yang diajukan untuk. melakukan interpretasi atas masyarakat dan keteraturan nya yang kasatmata adalah campur-aduk dari kekerasan, hasrat, kebencian, kemarahan, kekecewaan dan kepahitan. Seperti meminta dewa perang menjelaskan hari-hari panjang dari keteraturan kerja, perdamaian, dan keadilan.

    Jadi apakah prinsip yang menjelaskan sejarah? Pada mulanya serangkaian fakta kasar, fakta fisik- biologis: kekuatan fisik, daya, energi, pembiakkan sebuah ras, kelemahan ras lainnya, dan seterusnya. Serangkaian peristiwa: kekalahan, kemenangan, kegagalan atau keberhasilan dari pemberontakkan, kegagalan atau keberhasilan dari persekongkolan antara persekutuan, dan setumpuk elemen psikologis dan moral (keberanian, ketakutan. kebencian, lupa, dan seterusnya). Menurut diskursus ini, tubuh/ hasrat, dan peristiwa yang saling tersangkut-paut adalah pembentuk jaringan permanen dari sejarah dan masyarakat. Di atas itu akan dibangun dengan rentan dan superfisial sebuah rasionalitas yang bertumbuh. Rasionalitas dari perhitungan, strategi, dan muslihat; rasionalitas dari prosedur teknis yang digunakan untuk berlangsungnya kemenangan, untuk membungkam perang, dan untuk menjaga atau membalikkan relasi-relasi kekuatan. Rasional tersebut, semakin ditarik ke atas, semakin abstrak, semakin terikat dengan kerentanan dan ilusi, dan semakin terikat dengan kelicikan dan kekejian dari mereka yang mencapai kemenangan sementara

    Skema penjelasan yang diajukan oleh diskursus ini memiliki poros yang berbeda dengan skema tradisional yang biasa kita lihat. Kita lihat sebuah poros yang pada ujung dasarnya sebuah irasionalitas fundamental dan permanen. Di ujung atas poros tersebut ada sebuah rasionalitas rentan dan sementara, yang selalu terkait dengan ilusi dan kekejian. Rasio (akal budi, raison) berada di penjuru mimpi liar, muslihat, kekejian. Sementara, kebenaran berada di penjuru yang sama dengan sebuah brutalitas elementer: sekumpulan sikap, tindakan, hasrat, kemurkaan. Jelas poros penjelasan ini berbeda dengan yang sebelumnya dipakai untuk menjelaskan hukum dan sejarah.

    Karakteristik penting ketiga dari diskursus ini adalah bahwa ia dikembangkan dalam dimensi kesejarahan. Ia ditempatkan ke dalam sebuah sejarah yang tidak memiliki lingkup, akhir dan batasan. Ia tidak bermaksud membuat sejarah yang monoton sebagai sebuah fakta permukaan/superfisial yang akan diperlakukan ke dalam beberapa prinsip yang ajeg dan fundamental, ia tidak bermaksud mengadili pemerintahan yang lalim, penyalahgunaan dan kekerasan, yang disandingkan dengan skema-skema ideal (apakah itu hukum alam, kehendak Tuhan, atau prinsip-prinsip fundamental dan seterusnya). Diskursus ini malah bermaksud mendefinisikan dan mengungkap di bawah bentuk- bentuk keadilan sebagaimana dilembagakan, di bawah keteraturan sebagaimana ditegakkan, di bawah pelembagaan sebagaimana diterima, masa lalu yang dilupakan dari perjuangan-perjuangan nyata, kemenangan-kemenangan efektif, kekalahan-kekalahan yang mungkin disembunyikan tapi tetap tercatat secara mendalam. Ia bermaksud mencari darah yang mengering dalam peraturan, dan konsekuensinya bukan mencari, di bawah mengambangnya sejarah, kemutlakan hukum. Yang dicari: di bawah stabilitas hukum, ketakterhinggaan sejarah; di bawah formula undang-undang. teriakan-teriakan pertempuran; di bawah keseimbangan dari keadilan, ketidak simetrian kekuatan-kekuatan.

    Melihat sisi kesejarahannya, kita tidak dapat mengatakannya sebagai sesuatu yang relatif. Ia tidak memiliki hubungan apapun dengan yang absolut. Diskursus ini berada dalam ketakterhinggaan sejarah yang sepertinya “di-tak-relatifkan”, dari sebuah disolusi abadi dalam mekanisme dan kejadian yang berasal dari kekuatan, kekuasaan, dan perang.

    Kolonisasi oleh Filsafat dan Hukum

    Di saat yang bersamaan, berkembang luas teori atau konsep filsafat dialektika. Dialektika bisa saja terlihat sebagai diskursus tentang gerak universal dan historis dari kontradiksi dan perang. Tapi jika dilihat lebih mendalam, dialektika mengkerangkakan perjuangan, perang, dan konfrontasi menjadi sebuah logika yang disebut logika kontradiksi; menjadikannya sebuah proses dua tahap, totalisasi dan penemuan, dari sebuah rasionalitas yang final dan mendasar secara sekaligus.

    Dialektika memastikan pembentukan historis dari sebuah subyek universal, sebuah kebenaran yang direkonsiliasikan, dan sebuah hukum di mana semua partikularitas memiliki tempat seharusnya. Dialektika Hegelian dan semua yang datang setelahnya, menurut Foucault, adalah kolonisasi dan pasifikasi otoriter oleh filsafat dan hukum atas diskursus historis-politis yang merupakan secara sekaligus menjadi laporan resmi, proklamasi dan praktik dari perang sosial. Dialektika adalah pasifikasi diskursus tersebut, oleh orde filosofis dan mungkin juga orde politik.

    Catatan Foucault ini perlu digarisbawahi, karena berbagai teori sejarah dan sosial mengedepankan pisau analisa atau perspektif dialektis. Semisal teori perjuangan kelas yang diajukan oleh perspektif Marxian, mengasumsikan bahwa setiap tubuh sosial terdapat pertentangan/kontradiksi antar kelas-kelas sosial (class struggle). Namun, jika dilihat awal kelahirannya, teori tersebut jelas terinspirasi oleh diskursus perang permanen yang saat itu berkembang pesat di kalangan intelektual priyayi dan jelata Eropa. Dengan membalikkan Dialektika Hegelian, seorang intelektual jelata seperti Karl Marx mengkolonisasi diskursus perang permanen menjadi teori perjuangan kelas.

    Saat Mitologi dan Pengetahuan Bertemu

    Mungkin karena alasan itulah diskursus ini dapat dikatakan berasal dari kalangan bangsawan yang mengenang kejayaan masa lalu atau para begawan di perpustakaan. Namun jika ditilik lebih lanjut, dari masa awalnya, sampai akhir Abad 19 dan juga pada Abad 20, diskursus ini bergerak dengan dan tertanam di dalam bentuk-bentuk mitos yang paling tradisional. Di dalam diskursus ini terdapat pengetahuan subtil yang dikawinkan dengan mitos-mitos besar. Ia diartikulasikan dalam skema penyampaian sejarah yang serupa dengan mitologi. Jaman nenek moyang yang gilang gemilang, masa kini yang suram, jaman baru yang menjelang, dan pada akhirnya datangnya kerajaan baru yang akan hapuskan kekalahan-kekalahan di masa lampau.

    Mitologi semacam ini menjadi kendaraan dari diskursus perang permanen. Di masa abad pertengahan, ia menyatu dengan cerita-cerita tentang raja dan pangeran yang dikalahkan musuh yang keji, yang nantinya akan terlahir kembali dan akan membebaskan rakyatnya. Seperti halnya cerita-cerita mengenai Ratu Adil, ia dapat membuat massa menunggu hari pembalasan, datangnya pimpinan baru, Fuhrer baru; atau kerajaan terakhir, Reich ketiga yang menjadi Dajjal sekaligus menjadi penyelamat kaum miskin. Kembalinya “pimpinan besar” seperta Edward si Pengaku-dosa, Charlemagne atau Frederik yang selama ini tertidur di sebuah gua antah-berantah dan kemudian kembali bangun untuk memimpin perang baru, demi kemenangan yang definitif.

    Artinya, diskursus perang permanen bukan hanya sebatas ciptaan menyedihkan dari kalangan kutu-buku saja. Diskursus ini mempertemukan sebuah pengetahuan yang dimiliki para bangsawan yang sedang dalam kemunduran, gelora dari mitos-mitos, dan semangat pembalasan rakyat jelata. Diskursus ini mungkin saja adalah diskursus historis-politis yang pertama menantang diskursus filosofis-yuridis. Ia adalah diskursus yang menggunakan kebenaran khusus sebagai senjata untuk sebuah kemenangan yang mutlak. Ia adalah sebuah diskursus yang kritis dengan sadar, namun juga dipenuhi mitos. Karena itu ia akan dipandang sebelah mata oleh para filsuf dan ahli hukum. Ia akan segera diabaikan pada masa itu. Paling mungkin ia memiliki akar di masa Yunani klasik, di antara para sofis yang paling culas.

    Yang menarik, menurut Foucault, diskursus ini mulai muncul, atau muncul kembali, antara akhir Abad 16 dan sekitar Abad 17, di saat adanya tantangan ganda dari rakyat jelata dan bangsawan terhadap kekuasaan raja. Diskursus ini berkembang luas dan mengemuka dengan cepat hingga akhir Abad 19 dan di Abad 20.

    Langkah Kelanjutan Studi

    Foucault melanjutkan studinya dengan dua hal penting.

    Pertama-tama, ia melepaskan semua hubungan-hubungan sesat yang biasanya kita lakukan dalam membahas diskursus historis-politis. Hubungan-hubungan kekuasaan/perang, kekuasaan/relasi kuasa sering kali dikaitkan dengan dua nama besar: Hobbes dan Machiavelli. Foucault ingin menunjukkan bahwa diskursus historis-politis bukanlah bagian politik Sang Pangeran atau kekuasaan absolut. Para pengujar diskursus historis-politis memandang Sang Pangeran hanyalah sebuah ilusi, sebuah instrumen, atau bahkan sebagai musuh.

    Kedua, ia bermaksud menunjukkan titik kemunculan diskursus tersebut. Mulanya, diskursus ini muncul di dekade 1630an seputar perlawanan jelata dan borjuis kecil di Inggris. Diskursus ini beredar di kalangan Kaum Puritan dan Kaum Leveller. Limapuluh tahun kemudian, diskursus ini muncul di kelompok atau kelas sosial yang berseberangan di Perancis, di kalangan bangsawan yang kecewa dan sedang melawan kekuasaan Raja pada akhir kekuasaan Louis XIV. Bentuk ide tersebut persisnya adalah perang yang berlangsung di bawah perdamaian dan ketertiban, yang berlangsung dalam masyarakat kita dan membelahnya secara biner, adalah pada dasarnya perang antar ras. Dengan segera, diskursus tersebut menggarisbawahi elemen-elemen fundamental yang memungkinkan dan memastikan berlangsungnya dan berkembangnya perang tersebut: perbedaan etnis, perbedaan bahasa; perbedaan kekuatan, kegigihan, energi, dan kekerasan; perbedaan kebrutalan dan kebarbaran; penaklukan sebuah ras atas ras lainnya. Tubuh sosial diartikulasikan dalam dua ras, di mana para pendukung dari teori tersebut mencari wajah dan mekanisme dari perang sosial.

    Dari kedua poin tersebut, Foucault bermaksud menelusuri sejarah pada masa Revolusi Perancis dan awal Abad 19, dengan Augustin dan Amédée Thierry, dan bagaimana teori ras mengalami dua transkripsi. Transkripsi pertama bersifat biologis, yang sudah berlangsung jauh sebelum Darwin dan yang meminjam diskursusnya dari autonomo-fisiologi materialis, lengkap dengan elemen-elemennya, konsep-konsepnya dan kosakatanya. Transkripsi ini juga menyokong dirinya di atas sebuah filologi, yang menjadi kelahiran teori ras dalam makna historis-biologis. Teori tersebut terartikulasikan dalam gerakan-gerakan kebangsaan dan perjuangan kebangsaan melawan aparatus raksasa Negara (terutama Austria dan Rusia) pada Abad 17 dan juga terartikulasi dalam politik kolonisasi Eropa.

    Transkripsi kedua, bergerak di tema besar teori perang sosial yang berkembang pada awal Abad 19 dan cenderung untuk menghapuskan semua jejak konflik ras untuk mendefinisikan perjuangan kelas. Di sini tampak sebuah pencabangan yang penting, yang berkorespon dengan analisa atas perjuangan tersebut dalam bentuk dialektika dan analisa pergulatan tersebut dalam teori evolusionisme dan perjuangan untuk hidup. Foucault bermaksud untuk menunjukkan perkembangan sebuah rasisme biologis-sosial, dengan sebuah ide, yang benar-benar baru dan menyebabkan diskursus tersebut berjalan dengan berbeda, bahwa ras yang lain sebenarnya bukan yang tiba dari tempat lain, bukan yang menang dan dominan, tetapi dari ras yang secara permanen dan tanpa henti, menyusup dalam tubuh sosial, atau lebih tepatnya menciptakan dirinya di dalam dan berangkat dari tubuh sosial. Dengan kata lain, apa yang dilihat sebagai perpecahan, sebagai pembagian biner dalam masyarakat, bukanlah pertarungan antara dua ras yang saling terpisah, tetapi pembelahan dari sebuah ras yang sama menjadi sebuah ras atas dan ras bawah.

    Dengan begitu, terdapat sebuah konsekuensi penting. Diskursus perjuangan ras, yang pada awal kemunculan dan berjalannya pada Abad 17 adalah alat perjuangan dari pihak-pihak yang menjauhi posisi sentral, menjadi diskursus yang bergeser ke sentral dan menjadi diskursus kekuasaan, dari sebuah kekuasaan terpusat, kekuasaan tersentralisasi dan kekuasaaan yang mensentralisasi. Sebuah diskursus dari pertarungan yang bukan dijalankan antara dua ras, tetapi dari sebuah ras yang dianggap sebagai yang benar dan satu-satunya, ras yang memegang kekuasaan dan pemilik dari norma, melawan mereka yang dianggap berbeda dengan norma tersebut, melawan mereka yang dianggap berbahaya terhadap warisan biologis. Artinya, sejak saat itu semua diskursus biologis-rasis tentang degenerasi (rasial) dan juga semua institusi yang menjalankan diskursus perjuangan ras ke dalam tubuh sosial adalah asal-muasal dari eliminasi, segregasi dan akhirnya normalisasi dari masyarakat.

    Artinya, diskursus yang dibahas Foucault ini meninggalkan formulasi awalnya: “Kita harus membela diri melawan musuh-musuh kita karena sebenarnya aparatus Negara, undang-undang, struktur kekuasaan bukan saja tidak membela kita melawan musuh-musuh kita, namun mereka adalah instrumen musuh-musuh kita dalam memburu dan menaklukkan kita.” Diskursus tersebut melenyap. Diskursus tersebut kini berubah, “Kita harus membela masyarakat melawan semua marabahaya biologis yang berasal dari ras lain, dari sub-ras lain, dari kontra-ras yang saat ini, bertentangan dengan kemauan kita, tengah kita jalankan pembentukkannya.” Tema rasis kini bukan lagi alat perjuangan sebuah kelompok sosial melawan kelompok sosial lainnya, tetapi telah menjadi sebuah strategi global dari konservativisme sosial.

    Berlawanan dengan apa yang ditemukan Foucault di awal, kini ia menemukan paradoks atas tujuan dan bentuk awal dari diskursus yang sedang ia paparkan. Ia menemukan awalan dari rasisme Negara, sebuah rasisme yang dijalankan sebuah masyarakat atas dirinya sendiri, atas elemen-elemen dirinya, atas segala macam keturunannya. Sebuah rasisme internal, dari pemurnian permanen, yang akan menjadi dimensi dasar dari normalisasi sosial.

  • Perang sebagai Pisau Analisa Politik (Bagian 2)


    (lanjutan Catatan kuliah Michel Foucault “Il faut défendre la société” 21 Januari 1976, College de France, Paris)

    Tesis Monopoli Negara atas Perang

    Poin penting pada akhir bagian sebelumnya adalah pembalikkan tesis terkenal Clausewitz, yang menjadi: “politik adalah kelanjutan dari perang dengan cara-cara lain.” Foucault berargumen sangatlah mungkin sebenarnya Clausewitz membalikkan tesis tersebut dalam memformulasikan tesis terkenalnya.

    Secara umum, pada perkembangan Negara di masa Abad Pertengahan hingga jaman modern, praktik-praktik dan kelembagaan perang mengalami sebuah evolusi yang sangat terlihat jelas. Pertama-tama, praktik dan kelembagaan perang dikonsentrasikan di bawah sebuah kekuasaan terpusat. Lalu, secara faktual dan secara hukum, hanya kekuasaan Negara yang dapat menyelenggarakan perang dan mengelola instrumen-instrumen peperangan. Karena itu, secara bersamaan, terhapus sudah di dalam tubuh sosial, di dalam hubungan antar perorangan, antar kelompok, apa yang kita dapat sebut sebagai perang sehari-hari, atau “perang pribadi”.

    Lama kelamaan, perang, praktik-praktik perang dan lembaga-lembaga perang hanya ada di daerah-daerah perbatasan sebagai perwujudan dari hubungan kekerasan yang nyata atau potensial antar negara. Dan pada saat bersamaan, sedikit demi sedikit keseluruhan tubuh sosial dibersihkan dari hubungan-hubungan peperangan (bellicose) yang sebelumnya menjadi bagian integral dalam Abad Pertengahan.

    Perang menjadi sesuatu yang profesional dan teknis, yang diselenggarakan sebuah aparatus militer yang didefinisikan dan di kendalikan secara hati-hati. Inilah yang memunculkan sebuah pembeda antara Negara Modern dengan Negara Abad pertengahan. Pembeda tersebut adalah Angkatan Bersenjata sebagai sebuah lembaga.

    Paradoks Monopoli Negara atas Perang dan Instrumen Kekerasan

    Di saat perang disisihkan ke batas-batas negara dan disentralisasikan, muncul sebuah diskursus. Menurut Foucault, diskursus ini tergolong ganjil pada masanya. Inilah diskursus historis-politis yang pertama tentang masyarakat dan berbeda dengan diskursus filosofis-yuridis yang umumnya diperbincangkan pada masa itu. Dan ia membahas tentang perang, yang pada saat itu dipahami sebagai relasi sosial permanen, landasan tak terhapuskan dari semua hubungan-hubungan dan lembaga-lembaga kekuasaan.

    Kapan diskursus historis-politis ini muncul? Foucault berargumen, dari pengamatan dan penelusurannya, diskursus ini mengemuka setelah usainya perang-perang saudara dan perang-perang keagamaan di Eropa pada Abad Keenambelas. Akan tetapi, ia bukanlah hasil dari penulisan sejarah ataupun analisis atas perang-perang tersebut.

    Lanjutnya, diskursus ini kelihatan diformulasikan pada masa-masa awal pergolakan politik besar-besaran di Inggris pada Abad 17. Diskursus ini juga muncul di Perancis pada akhir Abad 17, pada akhir masa kekuasaan Louis XIV, dan dalam pergulatan politik lainnya, seperti perjuangan para bangsawan Perancis melawan berdirinya monarki absolut dan administratif.

    Di satu sisi, diskursus ini adalah salah satu alat perjuangan, alat berpolemik dan alat pembangunan kekuatan politik dari kelompok-kelompok borjuis borjuis kecil, dan rakyat, luas untuk melawan monarki absolut. Namun di sisi lain, ia juga adalah diskursus para bangsawan untuk melawan jenis monarki tersebut.

    Foucault juga menunjukkan tokoh-tokoh diskursus ini berasal dari beragam latar belakang sosial. Di Inggris, tokoh-tokohnya adalah Edward Coke (terlahir dari keluarga pengacara) dan John Lilburne (lahir dari bangsawan rendahan) yang mewakili gerakan-gerakan rakyat, sedangkan di Perancis tokoh-tokoh seperti de Boulainvilliers, Freret atau Comte d’Estaing, ketiganya adalah sejarawan. Lalu ada Sieyes, Buonarroti, Augustin Thiery ataupun Courtet. Lalu diikuti oleh para ahli biologi yang rasis, eugenis dan seterusnya.

    Diskursus yang menyebar ini berkarakter intektual, argumennya canggih, dan dihasilkan dari studi di perpustakaan-perpustakaan. Tetapi juga, diskursus ini disebarkan oleh pembicara-pembicara dari kalangan rakyat biasa ataupun anonim.

    Apa yang diajukan oleh diskursus ini?

    Berseberangan dengan apa yang dikatakan teori hak kedaulatan filosofis yuridis, kekuasaan politik tidak bermula di saat perang berhenti. Perang tidak pernah istirahat. Awalnya, perang telah memulai lahirnya Negara: hukum, perdamaian, undang- undang dilahirkan dalam darah dan lumpur pertempuran. Yang dimaksud bukanlah pertempuran yang dibayangkan para filsuf dan ahli hukum. Diskursus ini menegaskan: hukum tidaklah lahir dari alam, ia lahir dari pertempuran nyata, kemenangan, pembantaian, penaklukan yang tanggalnya dicatat sejarah.

    Akan tetapi bukan berarti masyarakat, hukum dan Negara semacam wujud dari gencatan senjata dalam perang ataupun pampasan perang. Hukum bukanlah pasifikasi, karena perang tetap berlanjut di dalam semua mekanisme kekuasaan. Dengan kata lain, perdamaian itu adalah perang yang disamarkan (coded war).

    Sebelum diskursus tersebut menyeruak, gambaran tubuh sosial yang diberikan oleh para filsuf (teori-teori filsafat politik) adalah seperti yang dibayangkan oleh Hobbes atau trias politik. Imaji tersebut kini ditantang oleh konsepsi masyarakat biner yang diajukan oleh diskursus perang permanen.

    Dalam diskursus perang permanen, musuh masih terus mengancam dan perdamaian tidak akan mengakhiri perang. Hanya dengan menjadi pemenang pertempuran final lah perang akan berakhir. Karena itu kita harus selalu bersiap untuk memenangkannya.

  • Ulasan Buku Vedi Hadiz: Islamic Populism in Indonesia and the Middle East

    Dalam buku terbarunya, Islamic Populism in Indonesia and the Middle East,1 Vedi Hadiz mencoba melihat sebuah trend politik global dari populisme yang kini menjadi tantangan pada berbagai negeri. Hadiz yang kini menjadi Profesor Studi Asia di Universitas Melbourne menawarkan apa yang ia sebut sebagai pendekatan baru dalam mempelajari perpolitikan Islam. Ia mencoba melihat kecenderungan jangka panjang gerakan Islam dari kacamata sosiologi historis dan politik ekonomi, dengan pendekatan komparatif di beberapa negeri berpenduduk mayoritas Muslim: Indonesia, Mesir dan Turki.

    Tak diragukan bahwa buku ini membawa pendekatan baru, terutama dalam konteks studi politik dan budaya muslim di Indonesia yang didominasi pengaruh cultural studies yang dipelopori oleh Clifford Geertz dengan istilah santri, priyayi dan abangan. Atau bahkan lebih jauh lagi dengan masa kejayaan Orientalisme di mana Snouck Hurgronje, penasihat kebijakan kolonial Hindia Belanda, adalah salah satu pelopornya.

    Buku ini merupakan riset Hadiz beberapa tahun sebelumnya, sehingga cukup update dari sisi pendekatan komparasi dengan dua negara lainnya. Lagian, buku ini terbit di saat yang “tepat”, dalam konteks Indonesia, terkait dengan gelombang gerakan kaum Muslimin yang bereaksi terhadap kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki T. Purnama, calon gubernur pentahana DKI Jakarta.

    Beberapa Poin Rangkuman

    Dengan sembilan bab sepanjang total hampir 190 halaman, bangunan argumentasi Hadiz memberikan konteks kesejarahan, dalam beberapa hal mengulas genealogi, melakukan komparasi perkembangan gerakan Muslim di ketiga negeri, dan menyoroti lebih dalam pada beberapa titik kelok dari populisme Muslim. Kombinasi analisis sosiologi historis dan ekonomi politik merajut berbagai pengetahuan sebelumnya dapat bermanfaat untuk mereka yang relatif awam mengenai gerakan Islam politik, terutama di Indonesia.

    Hadiz juga menyadari bahwa populisme sebagai sebuah fenomena politik yang sulit didefinisikan. Studi yang mulai dipopulerkan oleh Ionescu dan Gellner, dan kemudian Canovan diulas cukup baik untuk kemudian disandingkan dalam berbagai studi yang lebih kekinian seperti yang dibawa Laclau. Meski banyak mengamini Laclau yang lebih menekankan rantai ekuivalensi tuntutan-tuntutan yang berasal dari berbagai kelompok masyarakat sebagai pembentuk gerakan populis,2 Hadiz lebih menegaskan kemunculan gerakan populis sebagai produk perjuangan/pertarungan kontemporer atas kekuasaan dan sumber daya material sekaligus sebagai resultat dari konflik yang terjadi dalam berbagai konteks sosial dan historis.

    Argumen tersebut mengantarkan Hadiz kepada satu kesimpulan yang kemudian menjadi pisau analisis dalam buku ini, yaitu populisme sebagai sebuah gerakan lintas kelas sosial yang asimetris. Menurutnya, dalam gerakan populis ada berbagai kepentingan kelas yang bisa jadi antagonistik dan berbeda tingkat artikulasinya.

    Dengan perspektif demikian, Hadiz memaparkan kemunculan populisme Muslim sebagai warisan dari kebangkitan gerakan Pan-Islamisme yang muncul pada awal Abad 20 seiring dengan memudarnya Kekaisaran Utsmaniyah. Tema sentral dari gerakan tersebut adalah pembangunan ummat demi munculnya jaman kejayaan Islam. Hadiz menggarisbawahi bahwa kemunculan gerakan tersebut sebagai reaksi terhadap dua hal. Pertama, “Dominasi Barat” yang pada saat itu direpresentasikan oleh masifnya kekuasaan kolonial negeri-negeri Eropa yang menjajah Afrika dan Asia. Kedua, “Pengaruh Barat” dalam bentuk gaya hidup, sistem nilai bahkan ideologi dan sistem politik/ekonomi seperti kapitalisme, sekularisme, pluralisme dan demokrasi.

    Dalam pandangan Hadiz, kristalisasi gerakan politik Islam terjadi pasca Perang Dunia II di mana ide-ide Pan-Islamisme bergerak ke latar belakang sementara panggung dikuasai oleh ide-ide nasionalisme dan sosialisme. Dominasi kedua ide tersebut terlihat di negeri-negeri Arab, Afrika Utara, dan Indonesia. Kristalisasi gerakan berada di dalam masa kekuasaan otoriter/represif seperti dalam kasus gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir ataupun penumpasan DI/TII dan pembubaran Masyumi pada windu terakhir kekuasaan Sukarno.

    Bekas mendalam yang sama di satu sisi juga ditinggalkan oleh desakan-desakan modernisasi, namun di sisi lain juga oleh pendalaman konflik Perang Dingin di negeri-negeri Dunia Ketiga menyebabkan pertarungan keras antara kelompok-kelompok politik Islam/Muslim dengan kelompok-kelompok Nasionalis/Kiri. Runtuhnya gerakan Kiri juga membuat negara-negara tersebut kembali melakukan represi terhadap politik Islam. Dengan tekanan-tekanan modernisasi yang memperbesar ketimpangan sosial dan ekonomi dan represi negara, terjadi penguatan makna ummat menjadi dekat dengan menjadi bagian dari massa tertindas. Menurut Hadiz, inilah yang menjadi landasan struktural populisme Islam.

    Bagian yang kemudian disorot adalah terkait dengan periode kebuntuan perjuangan Negara Islam, di mana kekuatan-kekuatan arus utama Islam (di Indonesia diidentifikasi sebagai jaringan NU dan Muhammadiyah) memilih untuk tidak terlibat di hadapan kekuatan koersif Negara. Kondisi tersebut mempersulit gerakan-gerakan politik Islam dan membuat mereka terpinggirkan dan menghadapi kebuntuan. Beberapa kelompok memilih jalan bawah tanah dan perjuangan bersenjata/kekerasan, sementara banyak lainnya berfokus pada aktivitas dakwah. Perbedaan-perbedaan yang terjadi kemudian mendorong fragmentasi gerakan menjadi organisasi-organisasi atau jaringan-jaringan yang lebih kecil dan lokal.

    Menariknya, Hadiz kemudian mengajukan studi kasus tentang perkembangan gerakan Darul Islam (DI) setelah kekalahannya di 1960an. Ia berpendapat bahwa DI memiliki pengaruh dan inspirasi yang sangat besar hingga sekarang. DI sendiri tidak ada bandingannya dalam komparasi dengan dua negeri lainnya dalam hal regenerasi dan diversifikasi jaringan turunannya (banyak di antaranya terlibat dalam konflik di Poso, Ambon, bahkan jejaring radikal/ekstrimis). Pada bagian ini, terlihat kaitan penting antara keturunan/keluarga anggota DI dengan jaringan/organisasi yang terinspirasi oleh DI. Namun sebagai catatan, problem inkoherensi dalam pewarisan ideologi membuat para “pewaris” cita-cita DI tidak mendapatkan posisi politik yang kuat.

    Sistem politik demokrasi yang berdiri sejak 1999 menciptakan sebuah tantangan baru untuk gerakan politik Islam. Namun sistem elektoral yang tersedia juga membuat mereka harus bersaing dengan sesama mereka sendiri maupun dengan partai-partai yang terkait dengan ormas-ormas Muslim arus utama seperti NU dan Muhammadiyah. Upaya representasi ummat ini pun pada akhirnya memperoleh 18% suara pada Pileg 2004, +/- 25% pada Pileg 2009 dan 31.5% pada 2014. Jika difokuskan pada partai-partai yang secara terbuka memproyeksikan ummat hanya mencapai 15% dari total suara 2014.3 Tercatat juga bagaimana langkah elektoral memiliki pengaruh dan kemenangan dalam politik, seperti perda-perda berbasis syariah. Akan tetapi, kompetisi elektoral, baik dengan partai-partai nasionalis maupun dengan partai-partai terkait arus utama Muslim, menyebabkan mereka memoderasi isu-isu ataupun propaganda/kampanye non elektoral mereka.

    Bersamaan dengan berjalannya demokrasi elektoral, pengaruh diskursus-diskursus ekonomi dan pemerintahan yang beraliran Neoliberal juga meluas. Akses yang baru diperoleh dari politik elektoral/kepartaian juga telah menumbuhkan pengusaha-pengusaha baru, meskipun tidak sebesar para pebisnis besar. Pada abad 20, gerakan politik Islam dekat dengan proteksionisme sebagai alat pelindung kepentingan ummat. Meskipun tetap menyuarakan penolakan/perlawanan, berbagai pimpinan politik dan bisinis Islam juga memperlihatkan penerimaan dan mencari peran-peran baru di luar dari sebagai “korban” globalisasi. Hadiz, mengutip Mohamed Nour, juru bicara Partai Al Nour Mesir yang juga pengusaha teknologi perangkat lunak, tidak selamanya politik Islam bertentangan dengan kapitalisme. Pandanganini menyatakan bahwa etika Islam dapat berperan dalam mengendalikan kerusakan kapitalisme, dalam bentuk bisnis yang bernuansa nilai-nilai Islam. Di Indonesia, salah satu pimpinan politik Islam yang diwawancarai Hadiz malah menyatakan dukungannya untuk bergabung dalam sistem ekonomi kapitalis dunia melalui pengembangan bakat-bakat wirausaha dari ummat.

    Satu catatan kesimpulan yang penting dari buku Hadiz ini adalah tingkat adaptasi yang diambil oleh berbagai aliran dalam politik Islam untuk masuk ke dalam politik elektoral yang sekuler dan terlibat dalam neoliberalisme global. Di lain pihak, kondisi kerentanan akibat kebijakan-kebijakan neoliberal, yang notabene di mana partai-partai politik Islam terlibat di dalamnya, juga berkontribusi di dalam tendensi populis di masyarakat. Kerentanan ini pada akhirnya akan menjadi ruang beroperasinya lembaga-lembaga amal dan kemanusiaan yang baik langsung maupun tidak langsung terafiliasi dengan gerakan politik Islam.

    Menimbang Pendekatan Sosiologi Historis dan Ekonomi Politik dalam Mengkaji Populisme

    Mengamini pembahasan Hadiz dan banyak peneliti/penulis sebelumnya seperti Laclau, populisme sebagai sebuah fenomena politik memang sulit didefinisikan. Ide-ide yang banyak diekspresikan sebagai pendefinisian populisme juga memiliki ambiguitas. Semisal kata Demokrasi yang memiliki akar demos yang berarti rakyat dalam bahasa Yunani. Populisme memiliki akar bahasa Latin dari populus. Keduanya sama-sama berarti rakyat, namun memiliki nuansa politik yang berbeda. Demos memiliki nuansa mulia/noble sedangkan populus lebih bermakna gerombolan/mob.

    Momen-momen kesejarahan populisme juga bervariasi bentuk, proses terjadi, dan kelompok sosial konstitutifnya. Kasus-kasus klasiknya misal di Rusia dengan Narodnaya Volya yang merepresentasikan gerakan agraria di akhir abad 19. Di Amerika, di mana istilah populisme ini berasal adalah gerakan perlawanan petani atas kehancuran harga-harga dan mahalnya pinjaman dan transportasi, juga di akhir abad 19. Periode yang sama juga muncul dua gelombang populisme dengan Bonapartisme (Napoleon III) dan Boulangisme, di mana keduanya adalah resultat dari pertarungan tiga matra yaitu modal versus buruh, desa/tani versus kota, dan elit baru (borjuasi) versus elit lama (bangsawan).

    Yang membedakan pendekatan Hadiz dari literatur yang diulasnya dalam buku ini adalah terlihatnya Hadiz menempatkan populisme Islami sebagai sesuatu yang given, yang perlu dipotret melalui lensa Sosiologi Historis dan Ekonomi Politik, di mana tekanannya, seperti diulas pada bagian sebelumnya tulisan ini, adalah basis kelas konstitutif dan sumber pertarungan politik dan ekonominya. Meskipun cukup menarik dalam literatur tentang populisme hingga kini, pendekatan ini memiliki dua problem dalam analisis selanjutnya.

    Problem pertama, jika dilihat dalam uraian buku ini, banyak diskusi terfokus pada aktor politik (tokoh, organisasi politik) yang terlihat untuk mengkerangkakan mereka sebagai “kaum populis”. Sementara itu, tidak cukup perhatian diberikan kepada fenomena dan dinamika gerakan sosial/politiknya. Akibatnya, potret yang muncul adalah sebuah gerakan sosial dan politik yang terus menerus ada di ketiga negara dan menggabungkan dan sekaligus mengaburkan berbagai tipologi gerakan seperti ekstrimisme, radikal, moderat, dan “imitasi” ke dalam satu keranjang. Padahal, jika ditilik tidak seluruh kontinum waktu tersebut terdapat momen populis ataupun, seperti kasus DI, setiap periode dan diversifikasi gerakan memiliki karakter/kampanye dan ideologi/propaganda yang berbeda dan belum tentu dapat dikatakan populis.

    Problem kedua, meski tetap penting kombinasi kedua pendekatan tersebut untuk memberikan perspektif dalam menghadapi secara material dan strategis, namun tidak cukup memberikan gambaran atas dinamika gerakan populis dalam sebuah momentum politik. Ini terlihat dengan kurangnya elaborasi terkait dengan konsep dan signifikansi dari ummat. Narasi tentang ummat adalah sebuah proyeksi yang suka atau tidak suka dekat dengan konsep bangsa atau nation dalam nasionalisme. Pada konsep ummat lah kita dapat menakar kapan politik Islam adalah sebuah gerakan populis, kapan ia menjadi kontribusi khazanah politik, dan kapan ia hanya menjadi politik sektarian.

    Untuk catatan penutup, ada baiknya kita melihat pendekatan lain dalam mencoba menjelaskan populisme. Dorna4, misalnya, dalam upaya memberikan perspektif psikologi politik mengajukan karakterisasi dari populisme sebagai berikut.

    Proposisi Dorna dimulai dari argumen bahwa kecenderungan populis ada di dalam setiap demokrasi. Munculnya gerakan populisme adalah pertanda dari krisis. Maka wajar gerakan tersebut akan lebih bersifat emosional, dan mensyaratkan penyelidikan dari dimensi psikologis.

    Sebagai respon atas adanya krisis, populisme sebenarnya adalah kritik terhadap status quo. Ia adalah bentuk kemarahan dan ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga (negara) yang dianggap busuk atau korup. Ketika kelembagaan yang ditolak, ini berarti juga termasuk tokoh-tokoh dan mekanisme politik di dalamnya. Ini yang menyebabkan pembesaran gerakan populisme akan diiringi oleh kemunculan seorang pemimpin yang kharismatik.

    Dalam banyak hal, agenda politik yang menggerakkan massa adalah isu-isu yang muncul dari dinamika politik dan bukan program politik yang terdefinisi dengan baik. Mirip dengan nasionalisme, khususnya dalam argumen Imagined Communities Ben Anderson, populisme adalah momen gerakan yang disokong oleh adanya industri media (cetak). Karena itu, dibandingkan ideologi dan program politik, kekuatan dan raison d’être dari populisme adalah seruan (mobilisasi) kepada rakyat.

    1. Hadiz, V. R. (2016). Islamic populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press.
    2. Laclau, E. (2005). On populist reason. London: Verso, hal 129-148.
    3. Hadiz menggunakan kategori “pureIslamic Parties yang diadopsi dari Alamsyah, Andi Rahman. (2013). ‘Islamic Parties at an Impasse, Need Reform to Avoid the Worst’, Jakarta Post, February 25, www.thejakartapost.com/news/2013/02/25/ islamic-parties-impasse-need-reform-avoid-worst.html
    4. Dorna, A. (2004). De l’âme et de la cité: Crise, populisme, charisme et machiavélisme. Paris: L’Harmattan
  • Menemukan Perang sebagai Pisau Analisa Politik (Bagian 1)

    Catatan kuliah Michel Foucault “Il faut défendre la société”

    21 Januari 1976, College de France, Paris.

    Tiga Muasal

    Pada catatan kuliah sebelumnya, kita telah melihat bagaimana Teori Kedaulatan tidak lagi dapat dipakai sebagai metode analisis atas hubungan/relasi-relasi kuasa. Malahan, dapat disimpulkan bahwa Teori Kedaulatan (TK) mencoba, menurut Foucault, melakukan tiga hal berikut ini.

    Pertama, TK berupaya membentuk sebuah siklus, yaitu siklus dari subyek ke subyek, dan mencoba menunjukkan bagaimana sebuah subyek -yang dimaknai sebagai seorang individu diberkahi secara alami/asali dengan hak-hak, kemampuan dan seterusnya- dapat dan harus menjadi subyek. Tentunya sebagai sebuah elemen yang ditundukkan (assujetti atau subjectified) dalam relasi kuasa. Kedaulatan menentukan hubungan politik antara subyek dan subyek

    Kedua, TK mengasumsikan adanya berbagai kekuasaan yang sebenarnya bukan dalam makna politik. Yang dimaksud di sini adalah kapasitas, kemungkinan, potensi, yang dapat dibentuk oleh TK sebagai kekuasaan dalam makna politik jika teori tersebut telah menciptakan sebuah momen penyatuan mendasar antara kemungkinan dan kekuasaan. Artinya, berbagai bentuk kekuasaan, dalam makna politik, dapat didirikan dan berjalan hanya dilandaskan pada kekuasaan yang menyatukan (unitary power), yang sebenarnya bersumber pada TK.

    Ketiga, TK berupaya menunjukkan bagaimana sebuah kekuasaan dibentuk bukan tepat berdasarkan hukum. Kekuasaan didirikan berdasarkan semacam legitimasi yang lebih mendasar daripada hukum manapun, dan legitimasi tersebut memungkinkan hukum berjalan secara semestinya

    Singkatnya, TK adalah: siklus dari subyek ke subyek; siklus dari kekuasaan ke kekuasaan-kekuasaan; dan siklus dari legitimasi ke hukum. TK memiliki prasyarat adanya subyek, ia bertujuan untuk menciptakan dasar kesatuan esensial dari kekuasaan, dan ia bergerak selalu di dalam elemen-elemen pendahuluan dari hukum. Ketiganya disebut Foucault sebagai “Tiga Muasal”: subyek yang akan ditundukkan, kesatuan kekuasaan yang akan didirikan, dan legitimasi yang akan dipatuhi.


    Produksi Subyek

    Dengan maksud membebaskan analisis politik dari “Tiga Muasal” tadi dan memunculkan apa yang ia sebut sebagai relasi-relasi atau operator-operator dominasi, Foucault mengajukan beberapa hal berikut ini:

    Pertama, analisis dimulai dari hubungan kekuasaan, baik yang aktual maupun yang efektif, dan melihat bagaimana hubungan tersebut menentukan elemen mana yang akan diberlakukan. Jadi bukan menyelidiki bagaimana, mengapa, dan atas alas hak apa sebuah subyek dapat menerima penundukkan, tetapi memperlihatkan bagaimana hubungan-hubungan penundukkan memproduksi subyek.

    Kedua, tugas kita adalah mengungkap hubungan-hubungan dominasi, dan membuat mereka memunculkan diri dalam berbagai wujud, perbedaan, kekhususan, ataupun keterbalikan mereka. Kita perlu menunjukkan bagaimana berbagai operator dominasi saling mendukung, saling berhubungan, bagaimana mereka bertemu dan saling memperkuat di dalam beberapa kasus, dan saling menihilkan atau berupaya membatalkan yang lain di kasus-kasus lainnya.

    Untuk urusan ini, Foucault mengajak kita melihat aparatus pendidikan pada sebuah masyarakat. Bukannya tidak mungkin seorang analis kekuasaan mendeskripsikan sistem pendidikan tersebut, akan tetapi ia dapat melakukan deskripsi tersebut dengan lebih efektif jika hanya ia tidak melihatnya dari kesatuannya secara umum, misal dari kesatuan kedaulatan yang Etatis. Dalam konteks Indonesia, jelas kita tidak dapat menganalisa satu set aparatus pendidikan hanya dari mandat formal negara kepada sekolah-sekolah ataupun dari visi-misi pendidikan berdasarkan RPJP atau RPJMN. Kita hanya dapat menganalisanya dari bagaimana berbagai apparatus tersebut berinteraksi, saling mendukung, dan bagaimana ia mendefinisikan sejumlah strategi umum berdasarkan berbagai proses penundukkan (dari anak ke dewasa, lajang ke orang tua, bodoh ke berpengetahuan, magang menjadi ahli, keluarga menjadi pengelolaan dan seterusnya). Singkatnya, kita harus melihat struktur kekuasaan sebagai strategi umum yang melintasi dan menggunakan taktik-taktik lokal dari dominasi.

    Ketiga, kita tidak menyelidiki relasi-relasi dominasi tersebut di dalam hal-hal pembentuk legitimasi fundamentalnya, namun mencari instrumen-instrumen teknis yang memungkinkan relasi-relasi dominasi tersebut berjalan.

    Jadi, bukan mencari sumber-sumber kekuasaan dan lembaganya dari kedaulatan, melainkan melihat dari teknik-teknik (kekuasaan), kemajemukannya, dan efek-efek penandaan dari teknik-teknik tersebut. Ketiganya adalah kerangka sesungguhnya dari relasi-relasi dan aparatus-aparatus besar kekuasaan.

    Tema besarnya adalah produksi subyek, bukan asal muasal kedaulatan.

    Perang Sebagai Pertanyaan  Analisa

    Pertanyaan-pertanyaan metode selanjutnya: Bagaimana kita melakukan analisis atas relasi-relasi dominasi? Sampai di titik mana kita melanjutkan analisis relasi-relasi dominasi hingga mendapatkan makna dari relasi-relasi kekuatan? Dan selanjutnya, bagaimana relasi-relasi kekuatan dapat direduksikan menjadi relasi perang?

    Jadi pertanyaannya sekarang adalah: Apakah perang dapat menyediakan sebuah analisis valid dari relasi-relasi kekuasaan? Dapatkah ia menjadi sebuah matriks atau kerangka dari teknik-teknik dominasi?

    Foucault menegaskan bahwa di titik itu ia tidak sedang mengacaukan relasi kekuasaan dengan relasi perang. Ia mengajukan perang sebagai kasus ekstrim, ketegangan maksimum, di mana relasi-relasi kekuatan terlihat dengan telanjang. Jadi, apakah relasi kekuasaan adalah relasi konfrontasi, pertarungan hidup-mati, atau sebuah perang? Bila kita menilik di bawah perdamaian, ketertiban, kekayaan, dan kewenangan, di bawah ketertiban (order) yang tenang dari kepatuhan, di bawah Negara dan aparatur Negara, di bawah hukum, akankah kita dengar dan temukan semacam perang primitif dan permanen?

    Foucault kemudian bergerak lebih lanjut. Dapatkah fenomena perang dipandang lebih utama daripada hubungan-hubungan lainnya (misal relasi ketimpangan, pembagian kerja/perburuhan, hubungan eksploitasi dan seterusnya)? Haruskah ia dipandang sebagai yang utama? Dapatkah kita kelompokkan di dalam mekanisme ataupun bentuk umum yang kita sebut sebagai perang, fenomena seperti antagonisme, persaingan, konfrontasi, dan pergulatan antar perseorangan, kelompok, atau kelas? Kita bahkan dapat pertanyakan istilah-istilah, yang pada abad 18 dan 19 adalah bagian seni berperang (strategi, taktik, dan seterusnya), sebenarnya adalah instrumen yang valid dan cukup untuk menganalisa relasi-relasi kekuasaan.

    Foucault menegaskan kita perlu mempertanyakan apakah lembaga-lembaga militer, praktik-praktik yang menyertainya, juga semua teknik yang digunakan untuk berperang adalah, secara langsung maupun tidak langsung, inti/nukleus dari lembaga politik. Dari pertanyaan tersebut, dapatkah terlihat apa yang berlangsung di bawah dan di dalam relasi-relasi kekuasaan adalah sebuah perang? Apakah kita bisa lihat bahwa perdamaian dibentuk oleh perang yang terus berkecamuk, atau bahkan melihat tatanan keadaban sipil adalah susunan pasukan tempur? Apakah bisa dilihat di dalam peperangan yang berlangsung di bawah perdamaian terdapat prinsip-prinsip yang membantu kita memahami tatanan, Negara, lembaga, dan sejarahnya?

    Salah satu poin terentang dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah kalimat Clausewitz: “Perang adalah kelanjutan politik melalui cara-cara lain.” Melihat beberapa pertanyaan tadi, kita bisa membalik kesimpulan Clausewitz: “Bisa saja perang adalah kelanjutan dari politik melalui cara-cara lain, tetapi bukankah politik itu sendiri adalah kelanjutan dari perang dengan cara-cara lain?” Di titik ini Foucault menyatakan bahwa dia ingin membuktikan bahwa kalimat Clausewitz Hah yang sebenarnya membalikkan sebuah prinsip yang telah ada sebelumnya telah lama ada. Dan prinsip tersebut (politik adalah kelanjutan dari perang dengan cara-cara lain) telah tersebar luas di Eropa di abad 17 dan 18 dan sebenarnya juga sangat spesifik.

    (Bersambung)

  • Mari Tinggalkan Teori Hak/Kedaulatan

    Catatan kuliah Michel Foucault “Il faut défendre la société”

    14 Januari 1976, College de France, Paris.

    Catatan pembelajaran saya untuk bab pertama buku ini bertanggal 9 Desember 2009. Hampir tujuh tahun untuk benar-benar kembali melihat corat-coret yang telah dibuat mengenai bab ini (saya telah mengunggahnya di situs scribd namun situs tersebut telah mengganti syarat dan ketentuannya). Coretan tersebut tentunya masih sangat membantu resonansi pembelajaran saya ini dalam kehidupan kontemporer, juga membantu proses pemahaman kita atas ide-ide analitis yang disampaikan oleh Foucault. Ini tentunya bukan untuk memberikan penjelasan teoritik atas struktur ataupun peristiwa sosial di mana resonansi tersebut ditemukan. Yang diinginkan adalah pemeriksaan apakah metode yang ditawarkan dapat membantu dalam melakukan analisis atas fenomena kekuasaan yang berlangsung.

    Dalam catatan pembelajaran sebelumnya (Pemberontakkan Pengetahuan Melawan Rejim Baru), resonansi dari kuliah pertama 7 Januari 1976 tersebut pada kelanjutan pembangunan rejim di masa pemerintahan Yudhoyono-Boediono (2009-2014). Meski mendapatkan dukungan elit dan populer, pemerintahan tersebut terus menerus diterpa oleh berbagai angin ribut dan badai politik yang hampir semua dimulai dari pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya terlalu lokal, sulit ditentukan keterhubungannya dengan pengetahuan lokal lainnya, seperti pengalaman masing-masing rakyat dalam pencabutan subsidi BBM di mana dampaknya berada di luar taksiran model matematika pemerintahan saat itu. Jenis pengetahuan lainnya yang turut mengundang angin ribut politik adalah pengetahuan-pengetahuan yang didiskualifikasi sebagai “tidak ilmiah”, tidak memenuhi syarat sebagai landasan kebijakan pemerintah, seperti bukti-bukti yang dibawa rakyat dalam memprotes kebijakan pemerintah kedua jenis pengetahuan ini, yang disebut “subjugated knowledge”, dapat saja dan bahkan terjadi menyeruak kepada publik dan menjadi sumber angin ribut politik pada masa itu. Karenanya disebut pemberontakan pengetahuan (“insurrection of the subjugated knowledge”).

    Kita telah tiba pada semacam persimpangan untuk meninggalkan atau melanjutkan “ekonomisme” dalam menganalisa kekuasaan. Perkembangan teknologi kekuasaan terlihat terlalu kompleks untuk dianalisa melalui kacamata “ekonomisme” yang mengandaikan kekuasaan adalah hasil dari transaksi (teori kontrak sosial) maupun sebatas alat produksi dan reproduksi relasi ekonomi kapitalisme (konsepsi umum Marxisme tentang kekuasaan). Keteteran dalam menganalisa ini terlihat dalam kegagalan pemikiran-­pemikiran tersebut dalam memberi inspirasi untuk menggagalkan kebangkitan Nazisme maupun Stalinisme. Di Indonesia sendiri, para pemikir liberal tahun 1960an dengan pendekatan kedaulatan/hak gagal menganalisa kekuasaan yang berlangsung pada masa kepresidenan Soekarno yang mereka anggap otoriter/diktator dan dengan naif mendukung dan bekerja sama dengan para pengembang teknologi anti kebebasan sipil.

    Saya merasa agak beruntung dalam melanjutkan bagian kedua eksplorasi Foucault dan Kekuasaan menemukan contoh praktisnya pada saat itu. Pertama, dilarangnya pemutaran film Balibo oleh Lembaga Sensor Film. Kedua, masih soal breidel-membreidel, Kejaksaan Agung baru saja memutuskan pelarangan lima buku atas nama ketertiban umum.

    Sebenarnya bukan karena dua peristiwa itu menunjukkan represifnya pembangunan rejim (yang pada saat itu baru dilanjutkan) yang saya jelaskan dalam catatan pertama, tetapi justru contoh tersebut ditunjukkan di saat berbincang-bincang dengan kawan­-kawan yang terlibat dalam (embrio) gerakan mencabut wewenang pelarangan buku pada saat itu. Setidaknya terdapat dua posisi dalam memandang persoalan ini. Di satu sisi, ada yang berpandangan bahwa segala bentuk pelarangan buku (dan juga tentunya sensor dalam berbagai bentuk media) harus ditolak. Masyarakat berkedaulatan untuk menentukan pandangan-­pandangannya mengenai sebuah persoalan. Di sisi lain, contoh­-contoh naiknya Nazi di Jerman atau genosida di Rwanda dan Burundi yang mengandalkan buku dan media massa mengisyaratkan bahwa ada hal­-hal tertentu yang harus dibatasi melalui kekuasaan Negara.

    Studi geopolitik yang lebih mendalam, seperti yang dilakukan oleh Online Encyclopedia of Genocide dalam melihat kasus Rwanda, memperlihatkan bahwa relasi antara hate­speech dan genosida bukanlah sesuatu yang langsung. Ternyata masih ada beberapa hal lain yang jauh lebih signifikan dan jauh lebih berpengaruh dibandingkan media ataupun buku. Posisi kekuasaan, kerakusan, representasi dari konflik di masa silam, dendam dan faktor-­faktor lain ternyata menjadi penyebab dominan dibanding hate­speech yang disebar media. Dinamika mobilisasi lokal juga lebih besar pengaruhnya dalam rentetan kekejaman yang terjadi.

    Kembali ke pendekatan kedaulatan ­hak dan turunannya teori kontrak sosial, yang kini menjadi sumber ide berbagai tuntutan gerakan Hak Asasi Manusia, kedua posisi yang disebut di atas terlihat secara bersamaan bisa benar sekaligus salah. Artinya, jika kita berkehendak untuk membangun sebuah analisa atas rejim baru tadi, sangat mungkin teori kedaulatan­/hak memiliki keterbatasan­keterbatasan. Dan kini dari dunia di luar penjelajahan literatur, pengetahuan­pengetahuan lokal mengenai praktek­praktek terus bermunculan, selalu memberi tantangan terbuka atas teori kedaulatan­/hak dan segala aplikasi turunannya dalam analisa politik.

    Dalam catatan sebelumnya, muncul sebuah hipotesa yang sekaligus juga sebuah pertanyaan dalam melakukan analisa politik: Dapatkah kita temukan melalui model peperangan, sebuah prinsip yang dapat membantu kita memahami dan menganalisa kekuasaan politik, menerjemahkan kekuasaan politik dalam bentuk­ bentuk perang, pergulatan, dan konfrontasi?

    Membongkar Akar Kedaulatan

    Untuk memulai, perlu dicatat bahwa eksplorasi ini memiliki “bias” Barat yang cukup besar. Studi yang dilakukan Foucault soal kekuasaan memang sedari awal dipaku pada perkembangan kekuasaan di Eropa, karena itu kehati­hatian juga diperlukan terutama untuk mencerna penjelasan­-penjelasan kesejarahan yang jelas berbeda perkembangannya di Indonesia. Namun, kita tetap dapat menjadikan eksplorasi ini sebagai landasan pengembangan analisa­-analisa politik yang baru, karena hubungan­-hubungan kolonial yang terjadi selama ratusan tahun telah memperkecil pengaruh perkembangan kekuasaan yang terjadi sebelum penjajahan Eropa dan mengimpor (tentunya dengan berbagai modifikasi kolonial) perkembangan kekuasaan yang lahir di Eropa.

    Menurut Foucault, perkembangan pemikiran sistem hukum pada esensinya terpusat kekuasaan raja, bahkan sejak Abad Pertengahan. Sistem hukum dikembang-tumbuhkan atas perintah kekuasaan raja, selain demi kepentingan kekuasaan tersebut, dan untuk dijadikan instrumen kekuasaan ataupun penegak legitimasi kekuasaan itu. Pergulatan kekuasaan di Eropa pada abad-abad selanjutnya memperlihatkan berubahnya struktur dan sistem hukum dari mengabdi kepada kekuasaan raja sekaligus melegitimasinya menjadi berhadapan dengan kuasa kerajaan. Akan tetapi letak pertaruhannya tetaplah tentang kekuasaan raja. Pada kelahiran monarki konstitusional Inggris, telah dikenal Magna Carta yang dituliskan untuk mengatur hak dan kewajiban antara raja dan para bangsawan sebagai awal digunakannya hukum untuk membatasi kekuasaan raja. Singkatnya, baik sebagai alat raja atau pun berhadapan dengan raja, struktur konseptual hukum Barat tetaplah soal raja: hak-haknya, kekuasaannya dan batas-batas yang mungkin dari kekuasaannya.

    Pada makna pertama, kekuasaan raja harus ditunjukkan sebagai kuasa yang tertanam di dalam jubah hukum. Bahwa raja adalah tubuh hidup dari kedaulatan dan kekuasaannya, secara utuh sejalan dengan sebuah hak dasar. Pada makna kedua, kekuasaan raja harus ditunjukkan sebagai kuasa yang harus dibatasi. Kekuasaan tersebut harus tunduk kepada aturan-aturan tertentu. Dan jika kekuasaan tersebut ingin menjaga legitimasinya, ia harus dijalankan dalam batas-batas tertentu.

    Peran dari teori hak, simpul Foucault, sejak abad pertengahan adalah menentukan legitimasi kekuasaan, dengan kata lain persoalan utama teori hak adalah problem kedaulatan. Dengan demikian, teori hak (bahasa kerennya saat ini: supremasi hukum) merupakan payung untuk serangkaian diskursus dan teknik untuk menggantikan dan menghapuskan dominasi dengan dua hal: hak-hak sah dari yang berdaulat dan kewajiban hukum untuk mematuhinya.

    Pada tahun-tahun sebelumnya, Foucault telah membelejeti “hal-hal kecil” terkait dengan kekuasaan. Hal ini ia lakukan untuk membalikkan arah umum analisis dari teori hak sejak Abad Pertengahan: dari penguraian persoalan-persoalan kedaulatan dan legitimasi menjadi pembelejetan fakta-fakta dominasi dalam seluruh brutalitas dan kerahasiaannya. Ini menunjukkan bukan hanya teori hak (hukum?) adalah instrumen dominasi tetapi juga bagaimana, sampai di titik mana, dan dalam bentuk apa hukum menjadi kendaraan dan menjalankan relasi-relasi yang sebenarnya bukan relasi kedaulatan melainkan relasi-relasi dominasi.

    Foucault menggarisbawahi bahwa ia tidak hanya bicara hukum sebagai perangkat peraturan tertulis (perundang-undangan) tetapi juga keseluruhan aparatus, kelembagaan, dan pengaturan yang melaksanakan hukum. Dan mengenai dominasi, yang dimaksud adalah bukan fakta besar dari “sebuah” dominasi masif dari seseorang atas yang lainnya, ataupun dari sekelompok terhadap kelompok lainnya. Foucault bicara tentang berbagai wujud dominasi yang dapat berlangsung di dalam sebuah masyarakat. Jadi bukan hanya sang Raja dalam posisi sentralnya, tetapi juga para subyek/warga dalam relasi timbal-baliknya. Bukan hanya kedaulatan dalam jubah khususnya (perundang-undangan, kelembagaan hukum), tetapi juga berbagai penundukkan (subjugation/assujettissement) yang berada dan berjalan di dalam tubuh sosial (masyarakat).

    Koridor Metodologis

    Dengan sistem hak dan sistem yuridis menjadi kendaraan permanent dari relasi-relasi dominasi, dari teknik-teknik penundukkan dengan berbagai bentuk, Foucault meyakini bahwa teori hak haruslah dilihat dari sisi berbagai prosedur penundukkan Yang dijalankannya. Melihat hak dari sisi legitimasi yang harus ditetapkan malah akan menghambat analisis kekuasaan. Bagi Foucault, kini persoalannya adalah bagaimana menerabas atau menghindari problem tersebut. Karena itu dibutuhkan sebuah koridor metodologis yang akan dipaparkan dalam poin-poin berikut ini.

    Pertama, tujuan kita bukanlah menganalisa bentuk-bentuk kekuasaan yang absah dan berdasarkan peraturan, yang memiliki sebuah pusat tunggal. Bukan juga untuk menganalisa mekanisme umumnya ataupun efek-efeknya. Kita akan menganalisa pada titik-titik terjauhnya, dalam bentuk-bentuk dan kelembagaan yang paling terlokalisir. Terutama di mana kekuasaan tersebut melanggar aturan-aturan hak yang menata dan membatasinya.

    Kita harus melihat bagaimana praktik-praktik tersebut tertanam di dalam lembaga-lembaga, terwujudkan dalam teknik-teknik kuasa dan menjalankan berbagai instrumen intervensi material yang kadang-kadang menggunakan kekerasan. Sebagai contoh, daripada membahas di mana atau bagaimana kekuasaan untuk menghukum mendapatkan dasarnya dalam kedaulatan, Foucault memilih untuk melihat bagaimana hukuman ataupun kekuasaan untuk menghukum mewujudkan dirinya dalam berbagai lembaga lokal, regional, material. Intinya, kita membidik di mana pelaksanaan kekuasaan untuk menghukum menjadi semakin tidak yuridis.

    Kedua, tujuannya adalah bukan menganalisa kekuasaan dari dalam (kepemilikan, maksud dan tujuan), tetapi menganalisanya dari wajah luarnya. Dalam praktik-praktik nyata dan efektif di mana kekuasaan berhubungan langsung dengan obyek kuasanya, di mana kekuasaan menanamkan dirinya dan menghasilkan efek-efek nyata. Foucault di sini ingin melihat bagaimana berbagai wujud tubuh, kekuatan, energi, materi, hasrat, pemikiran dan lain sebagainya dibentuk secara perlahan namun pasti, nyata dan material menjadi subyek. Menyelidiki kejadian material dari penundukkan sebagai pembentukkan subyek jelaslah berlawanan dengan apa yang ingin dilakukan oleh Hobbes dalam Leviathan. Para ahli hukum atau dalam konteks Indonesia ahli tata negara, seperti Hobbes, melihat bagaimana terbentuknya sebuah kehendak ataupun bahkan tubuh tunggal dari berbagai wujud individu dan kehendak, meski digerakkan oleh sebuah ruh yang bernama Kedaulatan. Dalam skema ini, Leviathan sebagai sebuah manusia buatan, hanyalah sebuah gabungan atau koagulasi dari sekian banyak perorangan yang terpisah-pisah, yang disatukan oleh berbagai elemen pembentuk Negara. Namun pada kepalanya terdapat sesuatu yang membentuknya seperti itu, yaitu kedaulatan yang Hobbes sebut sebagai ruh dari Kedaulatan. Daripada menganalisa problem ruh utama tersebut, Foucault memilih mempelajari bagian-bagian pinggiran dan jamak yang sebenarnya dibentuk oleh efek-efek kekuasaan menjadi subyek.

    Ketiga, kekuasaan bukanlah sebuah fenomena dominasi masal dan homogen. Yang dianalisis di sini bukanlah kekuasaan suatu individu di atas individu-individu lainnya, atau sebuah kelas sosial di atas kelas-kelas sosial lainnya. Kecuali dilihat dari posisi sangat tinggi di atas ataupun sangat jauh, kekuasaan tidaklah terbagi antara mereka yang memilikinya secara eksklusif dan mereka yang tidak memilikinya dan menjadi subyeknya. Kekuasaan berjalan dalam sirkulasi, rantaian dan jaringan. Perseorangan/individu adalah relay kekuasaan, mereka tidaklah diam ataupun menjadi target kekuasaan yang bersetuju dengannya. Kekuasaan bergerak melalui perorangan, bukan diterapkan atas mereka.

    Menurut Foucault, adalah salah menilai perorangan sebagai nukleus elementer, atom primitif, ataupun berbagai materi yang diam di mana kekuasaan diterapkan. Ataupun perorangan sebagai sesuatu yang dihantam oleh kekuasaan yang merendahkan ataupun menghancurkan perorangan. Argumen Foucault, kekuasaan memungkinkan tubuh, perilaku, diskursus, dan hasrat diidentifikasikan dan dibentuk sebagai sesuatu yang perorangan (individual). Perorangan adalah produk pertama dari efek-efek kekuasaan. Artinya, kekuasaan bergerak melalui perorangan yang telah dibentuknya.

    Keempat, meski kita dapat mengatakan, “Kekuasaan berjalan, bersirkulasi, membentuk jaringan” ataupun “Kita semua memiliki fasisme dalam kepala kita” atau bahkan lebih mendasar “Kita semua memiliki elemen-elemen kekuasaan dalam tubuh kita”, kita tidak dapat langsung menyatakan atau menyimpulkan bahwa kekuasaan itu adalah sesuatu yang terdistribusikan dengan baik, atau sesuatu yang terdistribusikan secara luas. Artinya dalam menganalisa kekuasaan, adalah penting untuk tidak melakukan deduksi atas kekuasaan dengan memulai dari pusatnya lalu mencoba sejauh mana ia bergerak, atau sejauh mana ia direproduksi ataupun diperbaharui di dalam elemen-elemen paling atomistik dari masyarakat.

    Sebaliknya, Foucault menilai pentingnya melakukan analisis menanjak, memulai dari mekanisme terkecil (dengan sejarah, perjalanan, teknik dan taktik mereka sendiri) dan melihat bagaimana mekanisme kekuasaan tersebut, bersama dengan soliditas dan teknologinya, telah dan sedang ditanamkan, dikolonisasikan, digunakan, dibelokkan, diubah, dipindahkan, diperluas, dan seterusnya oleh mekanisme kekuasaan yang semakin umum dan bentuk-bentuk dominasi keseluruhan. Pertanyaannya adalah bagaimana mekanisme-mekanisme terkecil tersebut ditanamkan/ditambahkan oleh fenomena kuasa keseluruhan, dan bagaimana keuntungan lanjutan secara kekuasaan dan ekonomi dapat menyelinap ke dalam permainan teknologi kekuasaan ini yang pada saat bersamaan relatif otonom dan merupakan satuan terkecil.

    Poin metode ini merupakan poin terpenting buat Foucault sehingga ia menunjukkan dua contoh untuk menggambarkannya, yaitu persoalan seksualitas anak-anak dan kegilaan di Eropa pada abad 19. Keduanya terkait problematika kekuasaan dan kepentingan borjuasi yang banyak diangkat oleh para intelektual Eropa.

    Kedua contoh tersebut bertautan dengan studi-studi yang telah atau pada saat itu sedang dilakukan olehnya. Tema kegilaan adalah subyek pertama dari studi yang dilakukan Foucault, tesis doktoralnya yang ditulis di Swedia sewaktu mengajar bahasa Perancis di sana pada paruh pertama dekade 1950. Sedangkan mengenai seksualitas anak-anak merupakan studi yang sedang dilakukan dan akan menjadi sebuah trilogi studi tentang seks dan kekuasaan yang terbit di tahun-tahun setelah kuliah umum ini.

    Seksualitas Anak-Anak dan Kegilaan

    Fakta berkuasanya borjuasi dimulai pada akhir Abad 16 sampai Abad 17 menjadi pembahasan begitu penting di studi politik, sosiologi dan ekonomi. Begitu banyak perubahan sosial, politik dan ekonomi yang dikaitkan dengan dominasi baru tersebut oleh kalangan intelektual Eropa dan Amerika Utara. Contoh pertama tentang konsep kegilaan dan perlakuan terhadap orang gila diajukan Foucault untuk menunjukkan ambiguitas analisis berdasarkan teori hak dan alur pikir deduksi.

    Bagaimana kita dapat mendeduksikan penangkapan dan pemenjaraan orang gila terkait dengan kekuasaan borjuasi? Foucault meledek terlalu banyak yang dengan mudah mengaitkan bahwa karena orang gila tidak berguna dalam ekonomi industri, maka borjuasi merasa harus membereskan mereka.

    Begitu juga dengan contoh kedua, mengapa pada Abad 18 dan 19 terdapat kampanye besar-besaran untuk merepresi seksualitas anak-anak (utamanya masturbasi). Jawaban yang didapat adalah karena sejak Abad 17 dan 18 tubuh manusia telah menjadi tenaga produktif yang menggerakkan ekonomi industri, karena itu semua bentuk penggunaan tubuh yang tidak berguna, atau tepatnya tidak dapat dimasukkan ke dalam relasi produksi, haruslah dilarang, dikeluarkan dan direpresi. Namun, menurut Foucault, argumen tersebut terlalu lemah dan mudah, karena ia bisa mengajukan argumen tandingan dengan mendeduksikan dari berkuasanya borjuasi. Borjuasi sebagai kelas dominan bisa juga tidak menginginkan kontrol atas seksualitas ataupun seksualitas anak-anak. Yang mereka butuhkan, dalam garis argumen tandingan ini, adalah pendidikan seks, pelatihan seks, atau bahkan seks usia dini dengan tujuan mereproduksi tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Pada Abad 19, banyak ekonom percaya bahwa makin besar populasi kelas buruh, makin hebat sistem produksi kapitalis bekerja penuh dan efisien.

    Artinya, kita bisa mendapatkan berbagai kesimpulan asal-asalan dari analisis deduktif atas berkuasanya borjuasi. Karena itu, untuk menghindari alur pikir asal-asalan ini kita perlu melakukan analisis yang berlawanan arah dengan deduksi. Analisis tersebut haruslah bergerak dari bawah dan memperhatikan kesejarahan, bagaimana mekanisme kontrol dapat berperan dalam penyingkiran kegilaan ataupun memberantas dan membasmi seksualitas anak-anak. Bagaimana fenomena-fenomena penyingkiran atau pembasmian ini menemukan instrumen dan logikanya, sekaligus memenuhi kebutuhan di satuan masyarakat terkecil (semisal keluarga dan tetangganya). Kita harus dapat menjelaskan siapa saja pelaku-pelaku (agen) dari fenomena tersebut pada titik mikro, semisal dokter, anggota keluarga, orang tua, petugas kepolisiandan seterusnya. Dan kita harus dapat menjelaskan bagaimana mekanisme-kekuasaan ini pada saat dan dengan perubahan-perubahan tertentu menjadi menguntungkan secara ekonomi dan berguna secara politik.

    Kekuasaan Borjuasi dan Mekanisme Kuasa

    Jika kita benar-benar menelusuri aras argumentasi di atas, kita akan sadar bahwa sulit menyatakan adanya “borjuasi” dan “kepentingan borjuasi” yang menginginkan kegilaan disingkirkan ataupun seksualitas anak-anak diberantas. Namun dalam kedua fenomena tersebut terdapat mekanisme-mekanisme yang dapat menyingkirkan orang gila ataupun teknik-teknik yang dapat mengawasi seksualitas anak-anak.

    Pada saat-saat tertentu dan dengan alasan yang masih harus dipelajari, mekanisme-mekanisme dan teknik-teknik tersebut menciptakan keuntungan ekonomi ataupun kegunaan politik. Karena itu mereka akan dikuasai dan didukung oleh mekanisme umum kekuasaan dan pada akhirnya menjadi bagian dari keseluruhan sistem Negara. Jika kita fokuskan pada mekanisme dan teknik tersebut, kita dapat memahami keuntungan ekonomis ataupun kegunaan politiknya dan mengapa ia menjadi bagian keseluruhan sistem.

    Borjuasi tidak peduli kepada orang gila, akan tetapi sejak Abad 19 dan melalui perubahan tertentu, prosedur dan teknik untuk menyingkirkan orang gila membuahkan keuntungan politik, atau bahkan kegunaan ekonomis tertentu. Mereka adopsi prosedur dan teknik tersebut dan gunakan untuk keberlangsungan sistem secara keseluruhan. Borjuasi tidaklah tertarik pada orang gila, tetapi tertarik pada kekuasaan yang berlaku pada orang gila. Borjuasi tidak peduli anak-anak bermasturbasi, namun tertarik pada sistem kekuasaan yang mengendalikan seksualitas anak-anak.

    Kelima, sangatlah mungkin mesin besar kekuasaan berjalan diiringi oleh produksi ideologi. Sudah ada, misalnya, ideologi pendidikan, ideologi kekuasaan kerajaan, ideologi demokrasi parlementer dan seterusnya. Namun Foucault berpendapat, bukanlah ideologi yang menjadi landasan di mana menjulangnya berbagai jaringan kekuasaan. Landasan sesungguhnya terletak pada berbagai instrumen efektif pembentuk dan pengumpul pengetahuan: metode observasi, teknik pencatatan, prosedur penyelidikan dan penelitian, alat-alat verifikasi. Intinya, dalam hal kekuasaan menjalankan mekanisme-mekanisme mikronya, ia tidak dapat bekerja tanpa pembentukan, pengorganisasian dan sirkulasi dari sebuah pengetahuan ataupun dari sebuah aparatus pengetahuan yang bukan kelengkapan atau selubung ideologis.

    Kelima batasan metodologis di atas dapat membantu untuk menghindari jebakan yang berputar-putar pada mantel/jubah yuridis dari kedaulatan, aparatus Negara, dan ideologi pendamping kekuasaan. Foucault mengarahkan analisisnya pada sisi dominasi (bukan dari sisi kedaulatan), pada sisi penundukkan, sistem-sistem lokal dari penundukkan, dan seterusnya. Poinnya, kita perlu meninggalkan model Leviathan dalam menganalisa kekuasaan, meninggalkan bidang analisis kekuasaan yang dibatasi oleh kedaulatan yuridis dan kelembagaan Negara, dan mulai menganalisa kekuasaan dari teknik dan taktik dominasi.

    Bertemu dengan Kuasa Disipliner

    Foucault menyatakan bahwa dengan mengikuti kelima batasan tersebut, kita akan menjumpai sebuah “fakta historis yang masif”. Fakta tersebut terkait dengan alasan mengapa kita harus tinggalkan teori hak/kedaulatan. Diskursus tentang hak dan juga kedaulatan muncul pada Abad Pertengahan di Eropa, seiring dengan dihidupkannya kembali sistem hukum Romawi. Sepanjang Abad Pertengahan hingga Revolusi Perancis, teori hak/kedaulatan setidaknya, dalam catatan Foucault, memainkan empat peran.

    Mula-mula, teori ini menjadi referensi untuk berjalannya kekuasaan efektif yang dijalankan oleh kerajaan feodal. Kemudian, ia memerankan peran kedua sebagai instrumen dan justifikasi untuk pembentukkan kerajaan-kerajaan administratif. Berbeda dengan tahap perkembangan kerajaan feodal, di mana secara prinsip raja hanyalah menjalankan fungsi kehakiman/yudisial dan para bangsawan tuan tanah menjalankan fungsi keamanan warga yang mereka naungi, dalam kerajaan atau monarki administratif mulai dijalankan fungsi-fungsi yang kini kita sebut sebagai pemerintahan. Dalam sistem tersebut, teori hak/kedaulatan menjadi lebih ekstensif untuk membenarkan dan menjadi alat sehingga fungsi-fungsi pemerintahan yang mulai mengintervensi kehidupan sehari-hari para warga.

    Pada tahap selanjutnya, teori tersebut memainkan peran ketiga, sebagai alat perjuangan politik dan teoritik pihak-pihak yang memperebutkan kekuasaan. Sejak Abad 16, khususnya Abad 17, teori hak bersirkulasi di antara pihak-pihak yang bertikai, baik untuk membatasi kekuasaan raja ataupun memperkuat kekuasaan raja. Teori hak, seperti teori Kontrak Sosial yang diusung Hobbes, menemukan dirinya bermanfaat di semua pihak tersebut : dalam Perang Agama-Agama (Katolik versus Protestan), diskursus hak dan kedaulatan menemani konflik antara kaum katolik monarkis dan protestan anti-monarkis. Ia juga berseliweran di antara kaum protestan pro monarki maupun yang kurang lebih liberal, berseliweran juga di para katolik pendukung pemenggalan raja atau pergantian dinasti.

    Akhirnya, pada Abad 18, diskursus-diskursus dari teori hak/kedaulatan ini kita temukan juga dalam tulisan-tulisan Rousseau dan intelektual semasanya, untuk memainkan peran yang baru. Diskursus-diskursus hak/kedaulatan dipakai untuk menghantam monarki administratif, otoriter dan absolut, dan membangun sebuah model alternatif yaitu demokrasi parlementer.

    Di tengah pergulatan politik dan teoritik itulah dapat kita tarik sebuah catatan penting. Apapun peran dari teori hak/kedaulatan pada berbagai tahap perkembangan sistem politik, teori tersebut dan diskursus-diskursusnya berkembang sejalan dengan mekanisme umum kekuasaan yang berlangsung, sejalan dengan perkembangan keseluruhan tubuh sosial masyarakatnya. Singkatnya, tetap dalam relasi antara daulat dan rakyatnya, antara raja dan subyeknya. Termasuk pada fase berikutnya, antara Kedaulatan Rakyat dan individu rakyat.

    Selanjutnya, pada saat yang bersamaan dengan berkembangnya monarki administratif dan monarki absolut, berbagai perkembangan teknik kerja dan produksi menjadi landasan tumbuhnya sebuah mekanika kekuasaan yang baru. Mekanika kekuasaan ini memiliki berbagai prosedur berbeda, instrumen-instrumen yang sama sekali baru, dan, secara keseluruhan, tidak berkesesuaian dengan relasi kedaulatan. Mekanika baru ini berbeda karena ia berjalan langsung kepada tubuh manusia dan apa yang bisa dikerjakannya, bukan kepada tanah dan hasil bumi. Mekanika kuasa ini memungkinkan yang berkuasa menghisap waktu dan kerja dari tubuh. Ia tidak lagi menggantungkan dirinya kepada kehadiran fisik sang raja dan kaki tangannya, tetapi berjalan atas sebuah sistem pengawasan yang permanen. Dengan pendekatan yang sistematis, mekanika ini dapat memperhitungkan penggunaan kekuasaan, seperti pemaksaan fisik/material, secara minimum namun mendapatkan hasil yang maksimum. Ia tidak lagi membutuhkan pasal-pasal hukum dari kewajiban warga dan jadwal penyerahan upeti, cukup dengan merumuskan bentuk-bentuk pengawasan berkelanjutan. Mekanika ini adalah penemuan besar masyarakat borjuis, bahkan adalah instrumen fundamental dari berdirinya kapitalisme dan masyarakat industrial. Foucault menamakannya kuasa “disipliner”.

    Pertanyaannya kemudian, jika jenis kuasa ini membuat kekuasaan berdasarkan teori kedaulatan menjadi usang, mengapa kuasa ini tidak menggantikan teori kedaulatan? Bahkan pada Abad 19 melalui Kode Penal Napoleon yang menyebar ke seluruh penjuru Eropa, teori hak/kedaulatan menjadi prinsip menata sistem hukum di berbagai negara? Mengapa teori kedaulatan bertahan untuk tetap menjadi ideologi dan penata utama sistem hukum hingga saat ini?

    Foucault mengajukan dua alasan. Pertama, teori kedaulatan adalah instrumen kunci yang permanen untuk menghadapi kekuasaan monarki dan untuk menghadapi semua penghalang yang dapat berlawanan dengan pembangunan masyarakat disipliner. Kedua, teori tersebut, ataupun penataan sistem hukum yang berdasarkan kepadanya memungkinkan untuk menyelubungi mekanisme-mekanisme disiplin dengan sebuah sistem hak. Sistem hak tersebut menyembunyikan berbagai prosedur dan operasi disiplin, menghapuskan apapun yang dimaui dalam dominasi dan teknik dominasi, dan akhirnya, menjamin setiap orang yang dinaungi kedaulatan negara mendapatkan hak-hak kedaulatannya masing-masing.

    Artinya di sini, sistem hukum, apapun teori dan kodenya, membuat mungkin adanya demokratisasi kedaulatan, berdirinya sebuah hukum publik yang diartikulasikan sebagai kedaulatan kolektif, pada saat bersamaan dengan tenggelamnya demokratisasi kedaulatan tersebut ke dalam mekanisme-mekanisme pemaksa disiplin.

    Di sinilah letak tegangan keadaban/masyarakat sipil. Di satu sisi hak-hak publik ditata, diatur berasaskan kedaulatan tubuh sosial (“Kedaulatan Rakyat”), namun di sisi lainnya ia berada dalam kerangkeng ketat pemaksaan disiplin untuk menjamin keutuhan dari tubuh sosial tersebut. Sebuah hak/hukum berdasarkan kedaulatan dan sebuah mekanika disiplin.

    Disiplin memiliki diskursusnya sendiri. Ia menciptakan aparatus pengetahuan dan sekian banyak lapangan keahlian untuk mendukung diskursus tersebut. Diskursus ini jelas mengenai sebuah aturan, namun bukanlah aturan yuridis. Yang dibangun adalah sebuah aturan natural, asali atau alami. Sesuatu yang disebut normal. Ini adalah sebuah diskursus normalisasi, yang merujuk kepada ilmu tentang manusia. Karena itu, yurisprudensi dari diskursus aturan dan normalisasi tersebut adalah pengetahuan yang bersifat klinis, yang melihat manusia dalam sebuah relasi antara dokter dan pasien, masyarakat sebagai sesuatu yang diobati/diberlakukan treatment.

    Normalisasi disipliner dalam negara modern semakin berkonflik dengan sistem yuridis yang bersumber dari kedaulatan. Di banyak sisi, lebih terlihat bahwa diskursus kedaulatan semakin tidak mampu menghadapi penyerobotan oleh mekanika disipliner. Ia semakin impoten menghadapi sebuah kekuasaan yang berdasarkan pengetahuan ilmiah.

    Berhadapan dengan penyerobotan oleh mekanika (kuasa) disipliner, kita berada dalam situasi mandek karena yang tersedia hanyalah mengusung hak hukum yang disusun di seputar teori kedaulatan. Teori kedaulatan ini pun tetap tidak bisa membatasi efek-efek dari kekuasaan disipliner.

    Lebih lanjut, kedaulatan dan disiplin adalah dua hal pembentuk mekanisme- mekanisme umum dari kekuasaan dalam masyarakat saat ini. Karenanya, untuk melawan kuasa disipliner, dalam mencari sebuah kuasa non disipliner, Foucault meyakini bahwa seharusnya tidak kembali kepada hak/hukum kedaulatan yang menjadi usang akibat kuasa disipliner. Ia ingin bergerak menuju sebuah hak baru yang akan anti-disipliner, tetapi juga pada saat yang sama terbebaskan dari prinsip teori kedaulatan.

  • Taming the Leviathan

     

    Indonesia’s Presidential Election 2014 is probably a landmark moment in the country’s democracy. Never before in the last decade saw a big surge of public political participation. Thousands of volunteers’ organisations from villages to the national stage sprouted like mushrooms in rainy seasons. A combination between the hope of a new beginning and the fear of past dictatorship propelled the apolitical citizens to take side in supporting the winning pair Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

    New Governments are usually expected to bring breakthrough in governance and public life. During the Presidential Race, campaign promises attracted Indonesian voters in terms of change in people’s welfare: health, education and income. Those appeals articulated the new hope and the votes of 9 July 2014. But questions remain: What the winners of the race will actually deliver? What changes will arrive before 2019? How civic engagements of CSOs can push more social, political and cultural changes through the new government?

    The Electoral Balance of Power

    Before we can answer the questions, we have to do a quick scan of the political balance in Jakarta.The President and Vice President are supported by a minority coalition. The four parties (PDI-P, NASDEM, PKB and HANURA) represents only 37% of parliamentary seats elected in April 2014. However, the pair managed to garner 53% of popular votes. This means that while the new Chief of State won the public support, he will face a relatively hostile Parliament.

    This is seen during post-election politics: the outgoing parliament managed to pass two controversial bills (Law on The Peoples Assembly, House of Representatives, House of the Provinces’ Representatives, and Local House of Representatives – or UU MD3, and Bill on The Elections of Provincial and District/Municipal Governments – or UU PILKADA). The two bills are clearly beneficial to the Coalition Opposition (Coalition Red-White, KMP) who controls the national and local parliaments. Through UU MD3, the opposition managed to secure the leadership of the Parliament. UU PILKADA eliminates direct local government elections and gives the mandate to local parliaments to elect local leadership. UU PILKADA, however, is not successful as it was vetoed by the outgoing President Yudhoyono.

    The continuing debates and protests on UU PILKADA also highlight the power structure that will facilitate or hinder the success of the new government. First of all, Indonesia is not a federal state but a unitary state. Thus, the new government’s successes rely on how its policies and programmes are implemented by the provinces (level 1) and districts and cities (level 2) in the highest coherent and integrated manner. One of the main challenges is that the local governments are not controlled by the same ruling coalition, and the binary relationship of government-opposition is not translated in the same manner at the provinces and districts/cities. A governor in a Sulawesi province might be coming from the party that is part of the opposition coalition, but his/her election was supported by parties coming from both ruling and opposition coalitions in Jakarta. And starting in 2015, the race to control the provinces, districts and cities will start. As stated by the National Election Commission, 214 regional head elections will be conducted in that year alone.

    Taming the Leviathan (or the “Deep State”)

    Besides the balance of power at the national and local level, there is also another important feature of contemporary Indonesia’s democracy. The transition to democracy, started in 1998, has also a focus on the bureaucracy reform. A professional, clean and impartial bureaucracy force has been in the vision The reform itself was implemented in many ways, such as the creation of Ombudsman Indonesia, the Anti-Corruption Commission, and more recently, the Law of National Civil Apparatuses.

    Jokowi has a strong track record in driving the bureaucracy reform in Solo and Jakarta. On the other hand, the bureaucracy both at the center and in the regions also have a track record of, often in subtlety, sabotaging the government agenda that they consider not in their favor. It happened in the Habibie, more severe in the successive terms of Wahid (1999-2001), Megawati (2001-2004) and Yudhoyono (2004-2014). From this side of the political landscape, it is equally naive if we expect Jokowi-JK administration running the business as usual scenario in fulfilling their campaign promises.

    At least there are four strategic complexities faced by Jokowi-JK to run the government:

    The first complexity is related to the regulatory barriers successfully enacted by the key bureaucrats to limit bureaucratic reform. One example is the case of the Civil Law of the State Apparatus. Efforts to encourage the formation of a competent bureaucracy and a merit system based on competence and performance are diluted by the interests of key bureaucrats. They want to perpetuate a bureaucracy model based on seniority and other formal aspects.

    This complexity has a serious impact in the performance of the new government after 20 October 2014. The President and the ministers, who are the State’s executive, would have difficulties to quell the resistance from senior bureaucrats in the ministries. As previously stated, the bureaucrats have track record of sabotage. And the only way to eliminate the resistance by replacing those senior officials is also made ​​more difficult. The replacements must have sufficient seniority. The government will also face difficulties to cut sectoral ego in the ministries, with their silos or small kingdoms, which has been making the government inefficient and wasteful due to inability to operate across ministries and to reduce overlaps.

    The second complexity is born from the pattern of regional autonomy. As mentioned earlier, the programs of Jokowi-JK must be synchronized by the programs that are currently running in 511 districts and 34 provinces and cities. Two key Jokowi-JK flag campaign promises, Smart Indonesia Card and Healthy Indonesia Card (basically cash transfer programs related to health and education), require strong coordination between several ministries in the central government and relevant regional departments to implement the dissemination, planning, and execution of the two programs.

    The reduction and conversion of fuel subsidies in the transport sector clearly needs a big role the provincial and district/city governments to make sure the shock of the fuel subsidy reduction can be isolated. In the current pattern of regional autonomy, it is inconceivable how the central government bureaucrats described above can ensure adoption. We can see an example, how the central government failed in pushing the Government of DKI Jakarta under Fauzi Bowo to run 17 policy steps to reduce the Capital’s acute traffic jam. Most of those steps are finally implemented even after Jokowi elected in 2012.

    The third complexity is the problem of legacy programs from Yudhoyono administration which are detrimental or potentially detrimental to the people’s welfare. We can see examples such as the presidential aircraft and Mercedes Benz for the ministers. They are a small sample and insignificant in comparison with some other programs such as the Master Plan for Acceleration of Indonesian Economic Development (MP3EI). Already hundreds of projects have been started by the umbrella of MP3EI Public Private Partnership with multi-year financing scheme. Also, social and ecological impact that occurs in these projects will be a stumbling block on the course of the next administration.

    MP3EI legacy projects will also reduce the fiscal space. Until now, the observations made by some non-governmental organizations, government participation is still much larger than the expected private capital in PPP. Most of the projects are actually financed by the public domestic and foreign debts.

    The fourth and last complexity is not less strategic. This problem lies in the dominant narrative and discourse in the role of the state which has now been adopted by the bureaucracy, they are both reformers and conservatives.

    Previously, the logic of bureaucracy are in ideological veil of mengayomi or “nurturing”. The bureaucracy considers itself as higher, more knowledgable, more competent than the people, thus it devotes itself to guide the people. The problem is, the people at that time did not have the right to know how the bureaucrats and their cronies enriched themselves from pengayoman or “the nurture”. Today, amid the public pressure and scrutiny, the bureaucracy has found a new veil, the “empowerment”. Previously, the State was responsible of everything. Now, the State is responsible for fewer things as needed, because the people need to be empowered. By this logic, the role of the State is minimized and service delivery roles are handed back to the people through market mechanism.

    This means, the ideology of government Jokowi-JK with the agenda Nawa Cita (in short, a strong and present State) will face two opponents and competitors: the ideology that thinks the public goods should be managed by market mechanism (adopted by the reformists) and the ideology of a bureaucratic regime who is busy saving its own interests. These three perspectives of political interests will obviously make difficult policy formulation. It is very likely that the fight will not escalate into severe political crisis, but most likely this will make government policies incoherent, multi-interpretation and eventually ineffective.

  • “Warga” sebagai artikulasi gerakan rakyat, proyeksi gerakan atau proyeksi media?

    Dengan menggunakan alat awan-kata (word cloud), aksi-aksi protes yang diberitakan sepanjang Januari 2013 yang dikumpulkan oleh lembaga Praxis, kita dapat menemukan kata “warga” sebagai kata yang paling digunakan dalam pemberitaan media, selain kata “aksi”. Kata “warga” jauh lebih banyak daripada kata “masyarakat” dan “rakyat”. Kategori sektoral yang tertinggi adalah “mahasiswa”, tidak mengherankan karena demonstrasi terbanyak, meski jumlah “massa” hanyalah “puluhan”, dilakukan oleh sektor tersebut.

    2013Jan.jpg

  • Catatan mengenai negara dan wilayah

    Berbagai catatan awal berkaitan dengan ide-ide dalam geografi politik dan geopolitik.

    [scribd id=204466324 key=key-qclgjw3zr7lkxk215ex mode=book]

  • Manuskrip Awal Mengenai Hobbes dan Filsafat Politiknya

    Hobbes, meski kini telah banyak dilupakan, sebenarnya salah satu peletak dasar teori-teori politik dan filsafat politik liberal. Terlampir adalah catatan tangan awal dalam mempelajari Hobbes.

    [scribd id=193806962 key=key-phbv7x76w9a5p4lvwgw mode=scroll]

  • Pembatasan Diri Sebagai Pandangan Etis Pemerintahan

    Pengantar: Artikel ini ditulis sebagai tugas akhir Mata Kuliah Etika dalam Program Matrikulasi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Jadi ia tak bisa dikatakan sebagai karya, yang memiliki ide sendiri yang ingin dikembangkan pada saat ia diserahkan tanggal 19 November 2013. Namun dalam pembuatannya ada beberapa argumen menarik, dari sisi etika politik. Karenanya saya publikasikan di situs ini.

    Pendahuluan

    Berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada Mei 1998 juga merupakan sebuah pertanda berakhirnya sebuah rejim, dalam makna keseluruhan dari kelembagaan, praktik-praktik, dan ide-ide yang melingkupi cara bagaimana negara dan masyarakat berjalan. Sejak saat itu, Indonesia berada dalam masa transisi yang panjang, sebuah proses pembangunan rejim baru: lembaga-lembaga pemerintahan yang baru, praktik-praktik tata kelola negara yang baru, dan tentunya ide-ide baru tentang bagaimana roda pemerintahan dijalankan.

    Dalam sebuah transisi seperti pembangunan rejim baru yang berlangsung hingga kini, sangat wajar jika terjadi pergulatan-pergulatan mengenai problem-problem kontemporer yang dihadapi masyarakat tersebut. Dunia politik adalah arena di mana pergulatan-pergulatan tersebut berlangsung, dan partai politik serta politisi, atau dalam pembacaan masa kini, aktor-aktor politik, adalah para petarung yang berupaya menang. Dalam pola pikir semacam ini, sewajarnya pergantian penguasa hasil pemilu dinantikan dengan harapan atas akan adanya perubahan kebijakan. Penguasa yang bercitra kerakyatan, yang memajukan simbol-simbol dekat dengan wong cilik, wajar dinantikan untuk menyediakan kebijakan-kebijakan memudahkan rakyat biasa. Atau juga, calon-calon penguasa yang selalu terlihat dekat dengan para pedagang wajar dinantikan untuk mengeluarkan titah-titah yang memudahkan perdagangan dan pengumpulan kekayaan pribadi.

    Terlepas dari pendambaan atau penantian tadi, berjalannya pembangunan rejim saat ini seperti mengabaikan pakem tersebut. Siapapun yang berkuasa, secara umum kebijakan yang berkaitan dengan penghidupan orang banyak berjalan dalam koridor yang sama: peran korporasi-korporasi besar dalam layanan-layanan publik diperbesar, pelayanan negara dijalankan dalam perhitungan untung rugi, dan terlihat upaya untuk mengurangi peran negara secara umum dalam penghidupan setiap anggota masyarakatnya (semisal, subsidi BBM).

    Menariknya, argumen-argumen pendukung koridor kebijakan tersebut bertumpu pada dua hal. Pertama, adanya obsesi untuk meningkatkan daya saing Indonesia, terutama dalam mendapatkan investasi asing, di antara negeri-negeri lainnya yang sederajat atau berada dalam satu kawasan atau kategori yang sama. Obsesi mengenai daya saing ini mempercayai dengan adanya kompetisi maka akan terjadi perbaikan kualitas. Tumpuan kedua, yang juga terkait dengan yang pertama, adalah pandangan yang memasukkan hubungan-hubungan dagang/komersial sebagai panduan atas semua  hubungan-hubungan yang sehari-hari terjadi dalam tubuh masyarakat.

    Dalam tataran praktis, kehidupan bernegara (civil society atau tata negara) kemudian diukur dengan seberapa jauh negara atau pemerintah mengatur kehidupan warganya. Negara yang dianggap terlalu banyak mengatur dikatakan tidak baik. Negara yang dianggap terlalu banyak terlibat dalam kehidupan warganya juga dikatakan tidak baik. Mengapa? Negara yang bertindak semacam itu akan mengganggu tatanan masyarakat yang berdasarkan pada kompetisi dan hubungan dagang (yang diasumsikan bebas). Pemerintah yang baik, yang bijak (good government), adalah pemerintah yang dapat mengendalikan negara sehingga tidak mengganggu kompetisi dan pasar. Pemerintah yang baik, seharusnya, terus menerus memastikan kompetisi dan pasar berlangsung dan menjaga keduanya agar tidak menjadi malapetaka. Inilah nilai etis utama dari koridor kebijakan-kebijakan negara di masa transisi ini.

    Esai ini mencoba mengupas pandangan etika pemerintahan yang kini menjadi arus utama dalam masa pembangunan rejim baru. Untuk dapat memahami hal tersebut, kita perlu memahami konsepsi ideal negara yang kini diperkenalkan sekaligus konsekuensi-konsekuensi etis dari konsepsi ideal tersebut. Kemudian, esai ini akan mencoba melihat problem etis pemerintahan dan maknanya dalam tata negara.

    Peran Negara yang Ideal dan Etika Pemerintahan

    Kesulitan utama dalam membahas apakah sebuah kebijakan diambil melaui pertimbangan etis yang masak atau tidak, semisal pencabutan subsidi yang berdampak besar dalam penghidupan rakyat, adalah dalam kondisi masa kini sebuah argumen etis mengasumsikan definisi atau narasi atas peran negara yang ideal atau seharusnya. Dengan adanya berbagai macam ideologi politik atau ideologi tata negara, dapat dipastikan beradunya argumen-argumen etis yang berasumsi berbeda-beda. Pencapaian kesepakatan dalam salah satu aspek kebijakan menjadi sulit. Perbedaan ideologi dan pandangan etis ini ditunjukkan bukan untuk mendukung argumen relativitas etis, namun memperlihatkan bahwa kebijakan publik adalah sebuah arena, seperti halnya dunia politik yang tadi ditunjukkan.

    Artinya peran negara yang ideal itu adalah sebuah perdebatan dan akan terus menerus berubah seiring dominasi sebuah ideologi tertentu dalam kekuasaan politik. Potret dari pergulatan ini tentunya dapat kita tangkap dalam konstitusi dan perangkat turunannya, seperti Undang-Undang ataupun Peraturan Pemerintah. Peran negara yang ideal, setidaknya secara resmi (yang artinya menurut mereka yang berkuasa) dapat dilihat di Undang-Undang No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. UU RPJP menurunkan tujuan yang tercantum di Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi delapan misi pembangunan hingga tahun 2025. Dari kedelapan misi tersebut, kita dapat mencatat bahwa setidak-tidaknya ada beberapa peran negara yang idealnya dipenuhi oleh negara. Pertama, negara sebagai pendidik dan pengayom masyarakatnya (misi 1, 2, 3, dan 7). Kedua, negara sebagai penjamin berlangsungnya prinsip kehidupan sosial-politik yang ideal (misi 2, 3, 5, dan 8). Ketiga, negara sebagai penjamin keberlangsungan tatanan masyarakat yang dinaunginya (misi 4, 6, 7, dan 8). Cukup menarik kiranya untuk melihat bahwa misi kedua dari pembangunan nasional adalah mewujudkan bangsa yang berdaya saing.

    Tentunya, ide tentang peran negara yang resmi tetap berada dalam pertarungan dengan ide-ide alternatif, ide-ide yang bergerak dan menyebar di dalam wacana publik. Sebagai contoh, di kalangan pegiat masyarakat sipil, negara yang dibayangkan adalah negara kesejahteraan (Welfare State, État providence) atau negara yang menyediakan fasilitas dan layanan dasar untuk semua warganya. Di kalangan kelas menengah atas yang memiliki usaha-usaha komersial, negara yang dibayangkan adalah negara yang tidak banyak aturan dan berfokus kepada keamanan dan penegakkan hukum.

    Dengan memiliki perbedaan-perbedaan dalam konsep negara ideal menurut pihak-pihak yang berdebat, sangat mungkin kebijakan yang diambil, atau yang memenangkan pertarungan, dapat saja mewakili bukan hanya satu pandangan etis kenegaraan tertentu, tetapi dua atau tiga pandangan sekaligus yang bisa saja saling bertentangan. Sebagai contoh, pilihan pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat didukung oleh dua pandangan, pandangan mengenai negara tidak boleh terlalu dibebani dengan melibatkan diri (atau menjadi sumber daya) dalam penghidupan masyarakat, dan pandangan yang berpendapatan bahwa negara bertugas untuk menjamin keberlangsungan penghidupan masyarakatnya.

    Lalu bagaimana melihat pilihan-pilihan etis dengan situasi mereka yang berdebat memiliki cita-cita negara yang berbeda? Pada akhirnya, seperti dalam banyak kasus, negara modern melakukan perdebatan itu dalam anggaran negara atau kebijakan fiskal. Kembali ke contoh kebijakan subsidi BBM dan mekanisme kompensasi pengurangan subsidi tersebut, argumen yang kemudian mengisolasi persoalan tersebut dari persoalan-persoalan lainnya adalah argumen anggaran: “200 trilyun dibakar”, misalnya. Argumen ini bukan argumen baru, ini adalah argumen ekonomi politik yang diperkenalkan oleh para physiocrat (kelompok intelektual yang meletakkan dasar studi ekonomi pada akhir monarki absolut Perancis).

    Ekonomi politik membuat pengambil kebijakan negara mempertimbangkan batasan-batasan kebijakan negara. Studi ekonomi politik, seperti studi yang dilakukan Adam Smith dalam The Wealth of Nations, menempatkan negara dan tindakannya dalam rasionalitas sehubungan dengan apa yang disebut sebagai hukum-hukum alam dari kegiatan ekonomi. Dengan menyadari dan mematuhi “hukum-hukum alami” dari ekonomi, ekses-ekses kekuasaan yang dialami pada masa Monarki Absolut dapat dihindari, dan negara dijalankan atas prinsip frugal government (negara hemat). Prinsip ini diajukan oleh Thomas Jefferson dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden ketiga Amerika Serikat pada 1801. Ia berpendapat bahwa pemerintahan yang baik (good government) adalah yang mencegah warganya dari saling melukai, membiarkan warganya mengatur sendiri usaha dan perkembangannya, serta tidak mengambil apa-apa yang telah dihasilkan oleh warganya.

    Bisa dilihat kemudian bahwa ide frugal government menjadi etika pembatasan diri negara-negara modern dalam berhubungan dengan masyarakat di mana mereka berada.

    Problem Pembatasan Diri Pemerintah dan Makna Tata Negara (Civil Society)

    Pembatasan diri pemerintah memiliki dua makna. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pembatasan diri (self-limitation) menjadi sebuah prinsip etis dalam menjalankan pemerintahan dalam negara modern. Pembatasan diri juga bermakna dalam mekanisme negara modern, dalam bentuk penyusunan anggaran tahunan. Dengan studi ekonomi politik, para pengambil kebijakan dapat mengetahui sumber daya yang tersedia dalam bentuk gross domestic product (GDP) dan potensi pendapatan negara, seperti pajak dan royalti.

    Etika pembatasan diri ini juga didukung dengan rasionalitas yang dibangun melalui pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan oleh ekonomi politik. Teori tentang inflasi dan perputaran uang memungkinkan pengambil kebijakan negara menghindari bencana yang diakibatkan oleh pencetakkan uang yang berlebihan akibat dari ambisi membiayai intervensi yang dilakukan negara. Pengetahuan mengenai statistika memungkinkan para politisi membicarakan prediksi-prediksi sumber daya di masa mendatang, merencanakan pembangunan fasilitas-fasilitas negara.

    Akan tetapi, pandangan etis yang didukung oleh rasionalitas ini bukan tanpa masalah, terutama saat menghadapi krisis ekonomi. Pandangan etis pembatasan diri dalam menjalankan pemerintahan adalah salah satu alasan utama “dikorbankannya” kepentingan warga negara yang dianggap tidak produktif dan berkontribusi kecil terhadap ekonomi secara keseluruhan. Melalui kacamata etis tersebut, negara harus mengalokasikan anggaran untuk menyelamatkan sektor perbankan yang macet di masa krisis, dibandingkan menyediakan anggaran untuk memastikan layanan-layanan dasar seperti air bersih, energi, kesehatan dan seterusnya tersedia untuk warga negara yang miskin. Dengan etika pembatasan diri, krisis digunakan sebagai alasan untuk “merestrukturisasi” pelayanan negara kepada warga. Pada krisis ekonomi 1997-1998 di Indonesia, negara memilih memotong subsidi-subsidi yang sebelumnya menjadi sistem pendukung kehidupan warga miskin (petani, buruh, nelayan, dan miskin perkotaan) di saat yang sama menyediakan ratusan trilyun rupiah untuk menyelamatkan sektor perbankan yang menjadi salah satu penyebab krisis. Krisis ekonomi global pada tahun 2008 juga menyaksikan hal yang sama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Yunani.

    Dampak dari kebijakan-kebijakan itu luar biasa besar di kalangan warga yang miskin. Kehidupan mayoritas yang miskin kehilangan martabat hidup mereka, kekurangan gizi pada anak-anak dan ibu rumah tangga, angka bunuh diri yang meningkat dan seterusnya.

    Bagaimana sebuah pandangan etis yang bertujuan untuk menjaga tata negara (civil society) malah merusak segi-segi kemaslahatan umum yang menjadi tujuan tata negara?

    Etika pembatasan diri pemerintahan sebenarnya telah berkembang jauh, dari sebelumnya bersifat lebih pasif seperti motto seorang Perdana Menteri Inggris abad 18 Sir Robert Walpole yang mengatakan “quieta non movere” atau “jangan ganggu anjing yang sedang tidur” (Foucault, 2004: 29), menjadi negara yang berperan aktif untuk memastikan kompetisi, ekonomi pasar, dan frugal government berlangsung mengikuti hukum-hukum “alami” dari ekonomi.

    Perubahan dari pasif dalam mengawasi ekonomi laissez-faire melalui invisible hand dapat dilihat dari peran aktif lembaga-lembaga negara membentuk warga yang berdaya saing, kompetitif. Perubahan ini merupakan jawaban atas Krisis Ekonomi Global 1930, di mana pasifnya negara mengakibatkan kompetisi berubah menjadi monopoli yang pada akhirnya menjadi bibit-bibit bangkitnya fasisme dan sosialisme.

    Dalam pandangan pendukungnya, seperti Foldvary (Foldvary, 1978), pasar bebas adalah  sebuah entitas yang bernilai etis, karena pertukaran untuk produksi dan konsumsi berlangsung bebas dari paksaan karena barang dan jasa memiliki nilai sesuai dengan yang dipercaya dan sesuai dengan kemauan membayarnya. Intervensi atas pasar tidak dapat dibenarkan secara etis seperti halnya tidak dibenarkannya tindakan-tindakan kriminal, karena merupakan bentuk pemaksaan kehendak. Tugas negara kemudian adalah memastikan bahwa pasar bebas berjalan, artinya pasar bebas menjadi tujuan adanya negara.

    Akan tetapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Ha-Joon Chang (Chang, 2010:  Thing 1), pasar bebas itu sendiri tidak ada. Ekonomi yang berlandaskan pasar bebas pada kenyataannya memiliki batasan-batasan yang ditentukan secara politik. Penentuan upah, misalnya, ditentukan oleh keputusan politik dan jikapun kebijakan upah minimum dihapuskan di Eropa, buruh-buruh Asia yang lebih murah tidak akan bisa menawarkan tenaganya karena aturan imigrasi, yang ditentukan oleh mereka yang juga mendukung pasar bebas. Dalam perdagangan saham, sebagai contoh lainnya, seseorang tidak bisa langsung menjual saham perusahaannya begitu saja. Ia harus melewati proses verifikasi, mematuhi sekian banyak regulasi, dan sertifikasi untuk dapat dianggap setara dengan emiten saham lainnya. Pasar bebas kemudian dapat dikatakan sebagai mitos, atau sebuah utopia di mana negara-negara kini didorong secara bersama-sama untuk mewujudkannya.

    Seorang presiden, yang memiliki kekuasaan eksekutif begitu besar dengan sumber daya yang tak kalah besarnya, kini dihadapkan pada problem pilihan politis di masa krisis ekonomi. Apakah ia harus menyelamatkan bank-bank yang memiliki resiko sistemik yang tinggi, dalam arti menyelamatkan lembaga yang menopang keberlangsungan ekonomi pasar seperti diamanatkan oleh tujuan resmi negara? Dengan kata lain, apakah ia memilih menyelamatkan perilaku ekonomi yang sebenarnya juga adalah sumber dari krisis? Ataukah ia akan memilih untuk melakukan penyelamatan penghidupan rakyat banyak, dengan memastikan layanan dasar tetap tersedia dan inisiatif-inisiatif ekonomi rakyat kecil dapat terus berlangsung? Pilihan yang diambil jelas bukan saja pilihan politis semata yang berada dalam tekanan dari berbagai aktor, namun juga sebuah pilihan etis. Namun jika pandangan etis yang dominan adalah sebuah imperatif untuk menyelamatkan pasar, maka kita telah tahu apa makna kalimat: “Saya mengerti bahwa saya mengambil kebijakan yang tidak populer.” Presiden tersebut telah, secara politis dan preferensi etis, memilih suatu pandangan etis, demi pembatasan diri negara, di atas kepentingan menjaga tata negara dan mencederai rasa keadilan rakyat.

    Kesimpulan

    Etika politik memang sebuah ruang pertarungan dan perdebatan. Pilihan-pilihan yang diambil oleh seorang pejabat negara tidak lah cukup lagi hanya mempertimbangkan pandangan-pandangan etis yang sudah diserap dan dituliskan dalam konstitusi dan perundang-undangan. Pandangan-pandangan etis tersebut tetaplah harus dilihat secara kritis asal muasal dan konsekuensi-konsekuensinya dalam dunia nyata.

    Catatan lainnya adalah sebuah pandangan etis dalam politik tetaplah sebuah pendapat politis yang memiliki kepentingan politis, keketatan berpikir dan kecanggihan teoritis dalam metode yang digunakan tetap saja hanyalah alat membantu rasio untuk mencerna dan memformulasikan pandangan tersebut. Dalam etika di sebuah republik, tata negara dalam makna civil society tetaplah bermakna kemaslahatan publik yang tidak dapat direndahkan atau ditundukkan oleh pemikir-pemikir canggih dan elitis.

    Catatan
    1. Misi Pembangunan dalam RPJP 2007 adalah: (1) Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila; (2) Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing; (3) Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum; (4) Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu; (5) Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan; (6) Mewujudkan Indonesia asri dan lestari; (7) Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional; dan (8) Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.

    Referensi
    Amable, B. (2011) “Morals and Politics in the Ideology of Neo-liberalism”,  Socio-Economic Review, 9, hlm 3-30.
    Foldvary, F. E (1978, April 1). Is the Free Market Ethical?. Foundation for Economic Education. Diakses di http://www.fee.org/the_freeman/detail/is-the-free-market-ethical#axzz2l9UccKoA pada 16 November 2013.
    Foucault, M. (2004) The Birth of Biopolitics. Lectures at The Collège de France, 1978–1979 (trans. 2008), New York, Palgrave Macmillan.
    Chang, H-J. (2010) 23 Things They Don’t Tell You about Capitalism, London, Pinguin Books
    Jefferson, T. (1801) Inaugural Address. Diakses di http://ahp.gatech.edu/jefferson_inaug_1801.html pada 16 November 2013.
    Wolff, J. (1996) An Introduction to Political Philosophy, Oxford, Oxford University Press.
    Republik Indonesia. (2007) Undang-Undang no 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

  • diskusi ttg analisa politik yu…

    diskusi ttg analisa politik yuk? sbg penyegar http://t.co/JF9gY0G

  • Catatan Goonewardena et al, Sp…

    Catatan Goonewardena et al, Space, Difference, Everyday Life – Reading Henri Lefebvre http://fb.me/N5SW4aDX