Tag: SMBD

  • Perang sebagai Pisau Analisa Politik (Bagian 3)

    (lanjutan Catatan kuliah Michel Foucault “Il faut défendre la société” 21 Januari 1976, College de France, Paris)

    Karakter Diskursus Perang Permanen

    Menurut Foucault, karakteristik pertama dari diskursus perang permanen adalah pandangan atas sebuah masyarakat biner. Masyarakat terbagi menjadi dua kubu yang berseberangan, yang terus melakukan perang secara permanen. Tidak ada yang netral, dan setiap orang pasti akan punya musuh.

    Dalam sejarah pemikiran Eropa pasca Abad Pertengahan, inilah momen munculnya diskursus politik-kesejarahan (historico-political). Pengajar diskursus ini tidak dapat dan memang tidak berniat untuk mengambil posisi ahli hukum ataupun filsuf, yang netral, universal. Si pengujar adalah seseorang yang bertempur, punya musuh, dan sedang berjuang menuju kemenangan. Jika ia bicara tentang kebenaran dan hak, ia akan menuntut hak “miliknya”. Hak-haknya bersifat tunggal dan ditandai oleh relasi-relasi kepemilikan, penaklukan, kemenangan, ataupun alami. Ia bisa berwujud hak dari keluarga ataupun rasnya, hak dari keunggulan atau senioritasnya, hak dari invasi yang berhasil, atau hak dari pendudukkan. Karena tidak bermaksud melakukan penyimpulan yang netral, yang dilakukan adalah penyimpulan yang dapat menguntungkan posisi tempurnya. Artinya, kebenaran diskursus ini adalah dari perspektif pencapaian kemenangan dan keberlangsungan (survival) dari pengajar diskursus itu sendiri.

    Diskursus ini menetapkan sebuah hubungan yang fundamental antara relasi-relasi kekuatan dan relasi-relasi kebenaran. Artinya, identifikasi kebenaran dengan perdamaian atau netralitas) yang merupakan pembentuk filsafat Yunani, telah hancur. Dalam diskursus ini, dengan berpihak, mengambil posisi, seseorang dapat lebih menyuarakan kebenaran, lebih dapat menerjemahkan kebenaran. Buatnya, yang terpenting bagaimana kebenaran memperkuat mereka, atau mengubah perimbangan kekuatan atupun memperbesar ketimpangan, atau akhirnya kebenaran akhirnya memberikan kemenangan pada salah satu pihak. Foucault menekankan, subyek yang mengajukan diskursus ini adalah subyek yang sedang berperang. Dan jelas, diskursus ini menciptakan riak di antara diskursus-diskursus tentang kebenaran dan hukum yang telah ada selama ribuan tahun.

    Kedua, ini adalah diskursus yang membalikkan nilai-nilai, keseimbangan, dan polaritas dari pemahaman. Ia juga mensyaratkan penjelasan dari bawah. Namun penjelasan dari bawah bukanlah sesuatu yang jelas dan sederhana. Penjelasan semacam itu artinya menjelaskan dalam keadaan yang campur aduk, kacau, dan bisa bersifat kebetulan. Apa yang diajukan untuk. melakukan interpretasi atas masyarakat dan keteraturan nya yang kasatmata adalah campur-aduk dari kekerasan, hasrat, kebencian, kemarahan, kekecewaan dan kepahitan. Seperti meminta dewa perang menjelaskan hari-hari panjang dari keteraturan kerja, perdamaian, dan keadilan.

    Jadi apakah prinsip yang menjelaskan sejarah? Pada mulanya serangkaian fakta kasar, fakta fisik- biologis: kekuatan fisik, daya, energi, pembiakkan sebuah ras, kelemahan ras lainnya, dan seterusnya. Serangkaian peristiwa: kekalahan, kemenangan, kegagalan atau keberhasilan dari pemberontakkan, kegagalan atau keberhasilan dari persekongkolan antara persekutuan, dan setumpuk elemen psikologis dan moral (keberanian, ketakutan. kebencian, lupa, dan seterusnya). Menurut diskursus ini, tubuh/ hasrat, dan peristiwa yang saling tersangkut-paut adalah pembentuk jaringan permanen dari sejarah dan masyarakat. Di atas itu akan dibangun dengan rentan dan superfisial sebuah rasionalitas yang bertumbuh. Rasionalitas dari perhitungan, strategi, dan muslihat; rasionalitas dari prosedur teknis yang digunakan untuk berlangsungnya kemenangan, untuk membungkam perang, dan untuk menjaga atau membalikkan relasi-relasi kekuatan. Rasional tersebut, semakin ditarik ke atas, semakin abstrak, semakin terikat dengan kerentanan dan ilusi, dan semakin terikat dengan kelicikan dan kekejian dari mereka yang mencapai kemenangan sementara

    Skema penjelasan yang diajukan oleh diskursus ini memiliki poros yang berbeda dengan skema tradisional yang biasa kita lihat. Kita lihat sebuah poros yang pada ujung dasarnya sebuah irasionalitas fundamental dan permanen. Di ujung atas poros tersebut ada sebuah rasionalitas rentan dan sementara, yang selalu terkait dengan ilusi dan kekejian. Rasio (akal budi, raison) berada di penjuru mimpi liar, muslihat, kekejian. Sementara, kebenaran berada di penjuru yang sama dengan sebuah brutalitas elementer: sekumpulan sikap, tindakan, hasrat, kemurkaan. Jelas poros penjelasan ini berbeda dengan yang sebelumnya dipakai untuk menjelaskan hukum dan sejarah.

    Karakteristik penting ketiga dari diskursus ini adalah bahwa ia dikembangkan dalam dimensi kesejarahan. Ia ditempatkan ke dalam sebuah sejarah yang tidak memiliki lingkup, akhir dan batasan. Ia tidak bermaksud membuat sejarah yang monoton sebagai sebuah fakta permukaan/superfisial yang akan diperlakukan ke dalam beberapa prinsip yang ajeg dan fundamental, ia tidak bermaksud mengadili pemerintahan yang lalim, penyalahgunaan dan kekerasan, yang disandingkan dengan skema-skema ideal (apakah itu hukum alam, kehendak Tuhan, atau prinsip-prinsip fundamental dan seterusnya). Diskursus ini malah bermaksud mendefinisikan dan mengungkap di bawah bentuk- bentuk keadilan sebagaimana dilembagakan, di bawah keteraturan sebagaimana ditegakkan, di bawah pelembagaan sebagaimana diterima, masa lalu yang dilupakan dari perjuangan-perjuangan nyata, kemenangan-kemenangan efektif, kekalahan-kekalahan yang mungkin disembunyikan tapi tetap tercatat secara mendalam. Ia bermaksud mencari darah yang mengering dalam peraturan, dan konsekuensinya bukan mencari, di bawah mengambangnya sejarah, kemutlakan hukum. Yang dicari: di bawah stabilitas hukum, ketakterhinggaan sejarah; di bawah formula undang-undang. teriakan-teriakan pertempuran; di bawah keseimbangan dari keadilan, ketidak simetrian kekuatan-kekuatan.

    Melihat sisi kesejarahannya, kita tidak dapat mengatakannya sebagai sesuatu yang relatif. Ia tidak memiliki hubungan apapun dengan yang absolut. Diskursus ini berada dalam ketakterhinggaan sejarah yang sepertinya “di-tak-relatifkan”, dari sebuah disolusi abadi dalam mekanisme dan kejadian yang berasal dari kekuatan, kekuasaan, dan perang.

    Kolonisasi oleh Filsafat dan Hukum

    Di saat yang bersamaan, berkembang luas teori atau konsep filsafat dialektika. Dialektika bisa saja terlihat sebagai diskursus tentang gerak universal dan historis dari kontradiksi dan perang. Tapi jika dilihat lebih mendalam, dialektika mengkerangkakan perjuangan, perang, dan konfrontasi menjadi sebuah logika yang disebut logika kontradiksi; menjadikannya sebuah proses dua tahap, totalisasi dan penemuan, dari sebuah rasionalitas yang final dan mendasar secara sekaligus.

    Dialektika memastikan pembentukan historis dari sebuah subyek universal, sebuah kebenaran yang direkonsiliasikan, dan sebuah hukum di mana semua partikularitas memiliki tempat seharusnya. Dialektika Hegelian dan semua yang datang setelahnya, menurut Foucault, adalah kolonisasi dan pasifikasi otoriter oleh filsafat dan hukum atas diskursus historis-politis yang merupakan secara sekaligus menjadi laporan resmi, proklamasi dan praktik dari perang sosial. Dialektika adalah pasifikasi diskursus tersebut, oleh orde filosofis dan mungkin juga orde politik.

    Catatan Foucault ini perlu digarisbawahi, karena berbagai teori sejarah dan sosial mengedepankan pisau analisa atau perspektif dialektis. Semisal teori perjuangan kelas yang diajukan oleh perspektif Marxian, mengasumsikan bahwa setiap tubuh sosial terdapat pertentangan/kontradiksi antar kelas-kelas sosial (class struggle). Namun, jika dilihat awal kelahirannya, teori tersebut jelas terinspirasi oleh diskursus perang permanen yang saat itu berkembang pesat di kalangan intelektual priyayi dan jelata Eropa. Dengan membalikkan Dialektika Hegelian, seorang intelektual jelata seperti Karl Marx mengkolonisasi diskursus perang permanen menjadi teori perjuangan kelas.

    Saat Mitologi dan Pengetahuan Bertemu

    Mungkin karena alasan itulah diskursus ini dapat dikatakan berasal dari kalangan bangsawan yang mengenang kejayaan masa lalu atau para begawan di perpustakaan. Namun jika ditilik lebih lanjut, dari masa awalnya, sampai akhir Abad 19 dan juga pada Abad 20, diskursus ini bergerak dengan dan tertanam di dalam bentuk-bentuk mitos yang paling tradisional. Di dalam diskursus ini terdapat pengetahuan subtil yang dikawinkan dengan mitos-mitos besar. Ia diartikulasikan dalam skema penyampaian sejarah yang serupa dengan mitologi. Jaman nenek moyang yang gilang gemilang, masa kini yang suram, jaman baru yang menjelang, dan pada akhirnya datangnya kerajaan baru yang akan hapuskan kekalahan-kekalahan di masa lampau.

    Mitologi semacam ini menjadi kendaraan dari diskursus perang permanen. Di masa abad pertengahan, ia menyatu dengan cerita-cerita tentang raja dan pangeran yang dikalahkan musuh yang keji, yang nantinya akan terlahir kembali dan akan membebaskan rakyatnya. Seperti halnya cerita-cerita mengenai Ratu Adil, ia dapat membuat massa menunggu hari pembalasan, datangnya pimpinan baru, Fuhrer baru; atau kerajaan terakhir, Reich ketiga yang menjadi Dajjal sekaligus menjadi penyelamat kaum miskin. Kembalinya “pimpinan besar” seperta Edward si Pengaku-dosa, Charlemagne atau Frederik yang selama ini tertidur di sebuah gua antah-berantah dan kemudian kembali bangun untuk memimpin perang baru, demi kemenangan yang definitif.

    Artinya, diskursus perang permanen bukan hanya sebatas ciptaan menyedihkan dari kalangan kutu-buku saja. Diskursus ini mempertemukan sebuah pengetahuan yang dimiliki para bangsawan yang sedang dalam kemunduran, gelora dari mitos-mitos, dan semangat pembalasan rakyat jelata. Diskursus ini mungkin saja adalah diskursus historis-politis yang pertama menantang diskursus filosofis-yuridis. Ia adalah diskursus yang menggunakan kebenaran khusus sebagai senjata untuk sebuah kemenangan yang mutlak. Ia adalah sebuah diskursus yang kritis dengan sadar, namun juga dipenuhi mitos. Karena itu ia akan dipandang sebelah mata oleh para filsuf dan ahli hukum. Ia akan segera diabaikan pada masa itu. Paling mungkin ia memiliki akar di masa Yunani klasik, di antara para sofis yang paling culas.

    Yang menarik, menurut Foucault, diskursus ini mulai muncul, atau muncul kembali, antara akhir Abad 16 dan sekitar Abad 17, di saat adanya tantangan ganda dari rakyat jelata dan bangsawan terhadap kekuasaan raja. Diskursus ini berkembang luas dan mengemuka dengan cepat hingga akhir Abad 19 dan di Abad 20.

    Langkah Kelanjutan Studi

    Foucault melanjutkan studinya dengan dua hal penting.

    Pertama-tama, ia melepaskan semua hubungan-hubungan sesat yang biasanya kita lakukan dalam membahas diskursus historis-politis. Hubungan-hubungan kekuasaan/perang, kekuasaan/relasi kuasa sering kali dikaitkan dengan dua nama besar: Hobbes dan Machiavelli. Foucault ingin menunjukkan bahwa diskursus historis-politis bukanlah bagian politik Sang Pangeran atau kekuasaan absolut. Para pengujar diskursus historis-politis memandang Sang Pangeran hanyalah sebuah ilusi, sebuah instrumen, atau bahkan sebagai musuh.

    Kedua, ia bermaksud menunjukkan titik kemunculan diskursus tersebut. Mulanya, diskursus ini muncul di dekade 1630an seputar perlawanan jelata dan borjuis kecil di Inggris. Diskursus ini beredar di kalangan Kaum Puritan dan Kaum Leveller. Limapuluh tahun kemudian, diskursus ini muncul di kelompok atau kelas sosial yang berseberangan di Perancis, di kalangan bangsawan yang kecewa dan sedang melawan kekuasaan Raja pada akhir kekuasaan Louis XIV. Bentuk ide tersebut persisnya adalah perang yang berlangsung di bawah perdamaian dan ketertiban, yang berlangsung dalam masyarakat kita dan membelahnya secara biner, adalah pada dasarnya perang antar ras. Dengan segera, diskursus tersebut menggarisbawahi elemen-elemen fundamental yang memungkinkan dan memastikan berlangsungnya dan berkembangnya perang tersebut: perbedaan etnis, perbedaan bahasa; perbedaan kekuatan, kegigihan, energi, dan kekerasan; perbedaan kebrutalan dan kebarbaran; penaklukan sebuah ras atas ras lainnya. Tubuh sosial diartikulasikan dalam dua ras, di mana para pendukung dari teori tersebut mencari wajah dan mekanisme dari perang sosial.

    Dari kedua poin tersebut, Foucault bermaksud menelusuri sejarah pada masa Revolusi Perancis dan awal Abad 19, dengan Augustin dan Amédée Thierry, dan bagaimana teori ras mengalami dua transkripsi. Transkripsi pertama bersifat biologis, yang sudah berlangsung jauh sebelum Darwin dan yang meminjam diskursusnya dari autonomo-fisiologi materialis, lengkap dengan elemen-elemennya, konsep-konsepnya dan kosakatanya. Transkripsi ini juga menyokong dirinya di atas sebuah filologi, yang menjadi kelahiran teori ras dalam makna historis-biologis. Teori tersebut terartikulasikan dalam gerakan-gerakan kebangsaan dan perjuangan kebangsaan melawan aparatus raksasa Negara (terutama Austria dan Rusia) pada Abad 17 dan juga terartikulasi dalam politik kolonisasi Eropa.

    Transkripsi kedua, bergerak di tema besar teori perang sosial yang berkembang pada awal Abad 19 dan cenderung untuk menghapuskan semua jejak konflik ras untuk mendefinisikan perjuangan kelas. Di sini tampak sebuah pencabangan yang penting, yang berkorespon dengan analisa atas perjuangan tersebut dalam bentuk dialektika dan analisa pergulatan tersebut dalam teori evolusionisme dan perjuangan untuk hidup. Foucault bermaksud untuk menunjukkan perkembangan sebuah rasisme biologis-sosial, dengan sebuah ide, yang benar-benar baru dan menyebabkan diskursus tersebut berjalan dengan berbeda, bahwa ras yang lain sebenarnya bukan yang tiba dari tempat lain, bukan yang menang dan dominan, tetapi dari ras yang secara permanen dan tanpa henti, menyusup dalam tubuh sosial, atau lebih tepatnya menciptakan dirinya di dalam dan berangkat dari tubuh sosial. Dengan kata lain, apa yang dilihat sebagai perpecahan, sebagai pembagian biner dalam masyarakat, bukanlah pertarungan antara dua ras yang saling terpisah, tetapi pembelahan dari sebuah ras yang sama menjadi sebuah ras atas dan ras bawah.

    Dengan begitu, terdapat sebuah konsekuensi penting. Diskursus perjuangan ras, yang pada awal kemunculan dan berjalannya pada Abad 17 adalah alat perjuangan dari pihak-pihak yang menjauhi posisi sentral, menjadi diskursus yang bergeser ke sentral dan menjadi diskursus kekuasaan, dari sebuah kekuasaan terpusat, kekuasaan tersentralisasi dan kekuasaaan yang mensentralisasi. Sebuah diskursus dari pertarungan yang bukan dijalankan antara dua ras, tetapi dari sebuah ras yang dianggap sebagai yang benar dan satu-satunya, ras yang memegang kekuasaan dan pemilik dari norma, melawan mereka yang dianggap berbeda dengan norma tersebut, melawan mereka yang dianggap berbahaya terhadap warisan biologis. Artinya, sejak saat itu semua diskursus biologis-rasis tentang degenerasi (rasial) dan juga semua institusi yang menjalankan diskursus perjuangan ras ke dalam tubuh sosial adalah asal-muasal dari eliminasi, segregasi dan akhirnya normalisasi dari masyarakat.

    Artinya, diskursus yang dibahas Foucault ini meninggalkan formulasi awalnya: “Kita harus membela diri melawan musuh-musuh kita karena sebenarnya aparatus Negara, undang-undang, struktur kekuasaan bukan saja tidak membela kita melawan musuh-musuh kita, namun mereka adalah instrumen musuh-musuh kita dalam memburu dan menaklukkan kita.” Diskursus tersebut melenyap. Diskursus tersebut kini berubah, “Kita harus membela masyarakat melawan semua marabahaya biologis yang berasal dari ras lain, dari sub-ras lain, dari kontra-ras yang saat ini, bertentangan dengan kemauan kita, tengah kita jalankan pembentukkannya.” Tema rasis kini bukan lagi alat perjuangan sebuah kelompok sosial melawan kelompok sosial lainnya, tetapi telah menjadi sebuah strategi global dari konservativisme sosial.

    Berlawanan dengan apa yang ditemukan Foucault di awal, kini ia menemukan paradoks atas tujuan dan bentuk awal dari diskursus yang sedang ia paparkan. Ia menemukan awalan dari rasisme Negara, sebuah rasisme yang dijalankan sebuah masyarakat atas dirinya sendiri, atas elemen-elemen dirinya, atas segala macam keturunannya. Sebuah rasisme internal, dari pemurnian permanen, yang akan menjadi dimensi dasar dari normalisasi sosial.

  • Perang sebagai Pisau Analisa Politik (Bagian 2)


    (lanjutan Catatan kuliah Michel Foucault “Il faut défendre la société” 21 Januari 1976, College de France, Paris)

    Tesis Monopoli Negara atas Perang

    Poin penting pada akhir bagian sebelumnya adalah pembalikkan tesis terkenal Clausewitz, yang menjadi: “politik adalah kelanjutan dari perang dengan cara-cara lain.” Foucault berargumen sangatlah mungkin sebenarnya Clausewitz membalikkan tesis tersebut dalam memformulasikan tesis terkenalnya.

    Secara umum, pada perkembangan Negara di masa Abad Pertengahan hingga jaman modern, praktik-praktik dan kelembagaan perang mengalami sebuah evolusi yang sangat terlihat jelas. Pertama-tama, praktik dan kelembagaan perang dikonsentrasikan di bawah sebuah kekuasaan terpusat. Lalu, secara faktual dan secara hukum, hanya kekuasaan Negara yang dapat menyelenggarakan perang dan mengelola instrumen-instrumen peperangan. Karena itu, secara bersamaan, terhapus sudah di dalam tubuh sosial, di dalam hubungan antar perorangan, antar kelompok, apa yang kita dapat sebut sebagai perang sehari-hari, atau “perang pribadi”.

    Lama kelamaan, perang, praktik-praktik perang dan lembaga-lembaga perang hanya ada di daerah-daerah perbatasan sebagai perwujudan dari hubungan kekerasan yang nyata atau potensial antar negara. Dan pada saat bersamaan, sedikit demi sedikit keseluruhan tubuh sosial dibersihkan dari hubungan-hubungan peperangan (bellicose) yang sebelumnya menjadi bagian integral dalam Abad Pertengahan.

    Perang menjadi sesuatu yang profesional dan teknis, yang diselenggarakan sebuah aparatus militer yang didefinisikan dan di kendalikan secara hati-hati. Inilah yang memunculkan sebuah pembeda antara Negara Modern dengan Negara Abad pertengahan. Pembeda tersebut adalah Angkatan Bersenjata sebagai sebuah lembaga.

    Paradoks Monopoli Negara atas Perang dan Instrumen Kekerasan

    Di saat perang disisihkan ke batas-batas negara dan disentralisasikan, muncul sebuah diskursus. Menurut Foucault, diskursus ini tergolong ganjil pada masanya. Inilah diskursus historis-politis yang pertama tentang masyarakat dan berbeda dengan diskursus filosofis-yuridis yang umumnya diperbincangkan pada masa itu. Dan ia membahas tentang perang, yang pada saat itu dipahami sebagai relasi sosial permanen, landasan tak terhapuskan dari semua hubungan-hubungan dan lembaga-lembaga kekuasaan.

    Kapan diskursus historis-politis ini muncul? Foucault berargumen, dari pengamatan dan penelusurannya, diskursus ini mengemuka setelah usainya perang-perang saudara dan perang-perang keagamaan di Eropa pada Abad Keenambelas. Akan tetapi, ia bukanlah hasil dari penulisan sejarah ataupun analisis atas perang-perang tersebut.

    Lanjutnya, diskursus ini kelihatan diformulasikan pada masa-masa awal pergolakan politik besar-besaran di Inggris pada Abad 17. Diskursus ini juga muncul di Perancis pada akhir Abad 17, pada akhir masa kekuasaan Louis XIV, dan dalam pergulatan politik lainnya, seperti perjuangan para bangsawan Perancis melawan berdirinya monarki absolut dan administratif.

    Di satu sisi, diskursus ini adalah salah satu alat perjuangan, alat berpolemik dan alat pembangunan kekuatan politik dari kelompok-kelompok borjuis borjuis kecil, dan rakyat, luas untuk melawan monarki absolut. Namun di sisi lain, ia juga adalah diskursus para bangsawan untuk melawan jenis monarki tersebut.

    Foucault juga menunjukkan tokoh-tokoh diskursus ini berasal dari beragam latar belakang sosial. Di Inggris, tokoh-tokohnya adalah Edward Coke (terlahir dari keluarga pengacara) dan John Lilburne (lahir dari bangsawan rendahan) yang mewakili gerakan-gerakan rakyat, sedangkan di Perancis tokoh-tokoh seperti de Boulainvilliers, Freret atau Comte d’Estaing, ketiganya adalah sejarawan. Lalu ada Sieyes, Buonarroti, Augustin Thiery ataupun Courtet. Lalu diikuti oleh para ahli biologi yang rasis, eugenis dan seterusnya.

    Diskursus yang menyebar ini berkarakter intektual, argumennya canggih, dan dihasilkan dari studi di perpustakaan-perpustakaan. Tetapi juga, diskursus ini disebarkan oleh pembicara-pembicara dari kalangan rakyat biasa ataupun anonim.

    Apa yang diajukan oleh diskursus ini?

    Berseberangan dengan apa yang dikatakan teori hak kedaulatan filosofis yuridis, kekuasaan politik tidak bermula di saat perang berhenti. Perang tidak pernah istirahat. Awalnya, perang telah memulai lahirnya Negara: hukum, perdamaian, undang- undang dilahirkan dalam darah dan lumpur pertempuran. Yang dimaksud bukanlah pertempuran yang dibayangkan para filsuf dan ahli hukum. Diskursus ini menegaskan: hukum tidaklah lahir dari alam, ia lahir dari pertempuran nyata, kemenangan, pembantaian, penaklukan yang tanggalnya dicatat sejarah.

    Akan tetapi bukan berarti masyarakat, hukum dan Negara semacam wujud dari gencatan senjata dalam perang ataupun pampasan perang. Hukum bukanlah pasifikasi, karena perang tetap berlanjut di dalam semua mekanisme kekuasaan. Dengan kata lain, perdamaian itu adalah perang yang disamarkan (coded war).

    Sebelum diskursus tersebut menyeruak, gambaran tubuh sosial yang diberikan oleh para filsuf (teori-teori filsafat politik) adalah seperti yang dibayangkan oleh Hobbes atau trias politik. Imaji tersebut kini ditantang oleh konsepsi masyarakat biner yang diajukan oleh diskursus perang permanen.

    Dalam diskursus perang permanen, musuh masih terus mengancam dan perdamaian tidak akan mengakhiri perang. Hanya dengan menjadi pemenang pertempuran final lah perang akan berakhir. Karena itu kita harus selalu bersiap untuk memenangkannya.

  • Menemukan Perang sebagai Pisau Analisa Politik (Bagian 1)

    Catatan kuliah Michel Foucault “Il faut défendre la société”

    21 Januari 1976, College de France, Paris.

    Tiga Muasal

    Pada catatan kuliah sebelumnya, kita telah melihat bagaimana Teori Kedaulatan tidak lagi dapat dipakai sebagai metode analisis atas hubungan/relasi-relasi kuasa. Malahan, dapat disimpulkan bahwa Teori Kedaulatan (TK) mencoba, menurut Foucault, melakukan tiga hal berikut ini.

    Pertama, TK berupaya membentuk sebuah siklus, yaitu siklus dari subyek ke subyek, dan mencoba menunjukkan bagaimana sebuah subyek -yang dimaknai sebagai seorang individu diberkahi secara alami/asali dengan hak-hak, kemampuan dan seterusnya- dapat dan harus menjadi subyek. Tentunya sebagai sebuah elemen yang ditundukkan (assujetti atau subjectified) dalam relasi kuasa. Kedaulatan menentukan hubungan politik antara subyek dan subyek

    Kedua, TK mengasumsikan adanya berbagai kekuasaan yang sebenarnya bukan dalam makna politik. Yang dimaksud di sini adalah kapasitas, kemungkinan, potensi, yang dapat dibentuk oleh TK sebagai kekuasaan dalam makna politik jika teori tersebut telah menciptakan sebuah momen penyatuan mendasar antara kemungkinan dan kekuasaan. Artinya, berbagai bentuk kekuasaan, dalam makna politik, dapat didirikan dan berjalan hanya dilandaskan pada kekuasaan yang menyatukan (unitary power), yang sebenarnya bersumber pada TK.

    Ketiga, TK berupaya menunjukkan bagaimana sebuah kekuasaan dibentuk bukan tepat berdasarkan hukum. Kekuasaan didirikan berdasarkan semacam legitimasi yang lebih mendasar daripada hukum manapun, dan legitimasi tersebut memungkinkan hukum berjalan secara semestinya

    Singkatnya, TK adalah: siklus dari subyek ke subyek; siklus dari kekuasaan ke kekuasaan-kekuasaan; dan siklus dari legitimasi ke hukum. TK memiliki prasyarat adanya subyek, ia bertujuan untuk menciptakan dasar kesatuan esensial dari kekuasaan, dan ia bergerak selalu di dalam elemen-elemen pendahuluan dari hukum. Ketiganya disebut Foucault sebagai “Tiga Muasal”: subyek yang akan ditundukkan, kesatuan kekuasaan yang akan didirikan, dan legitimasi yang akan dipatuhi.


    Produksi Subyek

    Dengan maksud membebaskan analisis politik dari “Tiga Muasal” tadi dan memunculkan apa yang ia sebut sebagai relasi-relasi atau operator-operator dominasi, Foucault mengajukan beberapa hal berikut ini:

    Pertama, analisis dimulai dari hubungan kekuasaan, baik yang aktual maupun yang efektif, dan melihat bagaimana hubungan tersebut menentukan elemen mana yang akan diberlakukan. Jadi bukan menyelidiki bagaimana, mengapa, dan atas alas hak apa sebuah subyek dapat menerima penundukkan, tetapi memperlihatkan bagaimana hubungan-hubungan penundukkan memproduksi subyek.

    Kedua, tugas kita adalah mengungkap hubungan-hubungan dominasi, dan membuat mereka memunculkan diri dalam berbagai wujud, perbedaan, kekhususan, ataupun keterbalikan mereka. Kita perlu menunjukkan bagaimana berbagai operator dominasi saling mendukung, saling berhubungan, bagaimana mereka bertemu dan saling memperkuat di dalam beberapa kasus, dan saling menihilkan atau berupaya membatalkan yang lain di kasus-kasus lainnya.

    Untuk urusan ini, Foucault mengajak kita melihat aparatus pendidikan pada sebuah masyarakat. Bukannya tidak mungkin seorang analis kekuasaan mendeskripsikan sistem pendidikan tersebut, akan tetapi ia dapat melakukan deskripsi tersebut dengan lebih efektif jika hanya ia tidak melihatnya dari kesatuannya secara umum, misal dari kesatuan kedaulatan yang Etatis. Dalam konteks Indonesia, jelas kita tidak dapat menganalisa satu set aparatus pendidikan hanya dari mandat formal negara kepada sekolah-sekolah ataupun dari visi-misi pendidikan berdasarkan RPJP atau RPJMN. Kita hanya dapat menganalisanya dari bagaimana berbagai apparatus tersebut berinteraksi, saling mendukung, dan bagaimana ia mendefinisikan sejumlah strategi umum berdasarkan berbagai proses penundukkan (dari anak ke dewasa, lajang ke orang tua, bodoh ke berpengetahuan, magang menjadi ahli, keluarga menjadi pengelolaan dan seterusnya). Singkatnya, kita harus melihat struktur kekuasaan sebagai strategi umum yang melintasi dan menggunakan taktik-taktik lokal dari dominasi.

    Ketiga, kita tidak menyelidiki relasi-relasi dominasi tersebut di dalam hal-hal pembentuk legitimasi fundamentalnya, namun mencari instrumen-instrumen teknis yang memungkinkan relasi-relasi dominasi tersebut berjalan.

    Jadi, bukan mencari sumber-sumber kekuasaan dan lembaganya dari kedaulatan, melainkan melihat dari teknik-teknik (kekuasaan), kemajemukannya, dan efek-efek penandaan dari teknik-teknik tersebut. Ketiganya adalah kerangka sesungguhnya dari relasi-relasi dan aparatus-aparatus besar kekuasaan.

    Tema besarnya adalah produksi subyek, bukan asal muasal kedaulatan.

    Perang Sebagai Pertanyaan  Analisa

    Pertanyaan-pertanyaan metode selanjutnya: Bagaimana kita melakukan analisis atas relasi-relasi dominasi? Sampai di titik mana kita melanjutkan analisis relasi-relasi dominasi hingga mendapatkan makna dari relasi-relasi kekuatan? Dan selanjutnya, bagaimana relasi-relasi kekuatan dapat direduksikan menjadi relasi perang?

    Jadi pertanyaannya sekarang adalah: Apakah perang dapat menyediakan sebuah analisis valid dari relasi-relasi kekuasaan? Dapatkah ia menjadi sebuah matriks atau kerangka dari teknik-teknik dominasi?

    Foucault menegaskan bahwa di titik itu ia tidak sedang mengacaukan relasi kekuasaan dengan relasi perang. Ia mengajukan perang sebagai kasus ekstrim, ketegangan maksimum, di mana relasi-relasi kekuatan terlihat dengan telanjang. Jadi, apakah relasi kekuasaan adalah relasi konfrontasi, pertarungan hidup-mati, atau sebuah perang? Bila kita menilik di bawah perdamaian, ketertiban, kekayaan, dan kewenangan, di bawah ketertiban (order) yang tenang dari kepatuhan, di bawah Negara dan aparatur Negara, di bawah hukum, akankah kita dengar dan temukan semacam perang primitif dan permanen?

    Foucault kemudian bergerak lebih lanjut. Dapatkah fenomena perang dipandang lebih utama daripada hubungan-hubungan lainnya (misal relasi ketimpangan, pembagian kerja/perburuhan, hubungan eksploitasi dan seterusnya)? Haruskah ia dipandang sebagai yang utama? Dapatkah kita kelompokkan di dalam mekanisme ataupun bentuk umum yang kita sebut sebagai perang, fenomena seperti antagonisme, persaingan, konfrontasi, dan pergulatan antar perseorangan, kelompok, atau kelas? Kita bahkan dapat pertanyakan istilah-istilah, yang pada abad 18 dan 19 adalah bagian seni berperang (strategi, taktik, dan seterusnya), sebenarnya adalah instrumen yang valid dan cukup untuk menganalisa relasi-relasi kekuasaan.

    Foucault menegaskan kita perlu mempertanyakan apakah lembaga-lembaga militer, praktik-praktik yang menyertainya, juga semua teknik yang digunakan untuk berperang adalah, secara langsung maupun tidak langsung, inti/nukleus dari lembaga politik. Dari pertanyaan tersebut, dapatkah terlihat apa yang berlangsung di bawah dan di dalam relasi-relasi kekuasaan adalah sebuah perang? Apakah kita bisa lihat bahwa perdamaian dibentuk oleh perang yang terus berkecamuk, atau bahkan melihat tatanan keadaban sipil adalah susunan pasukan tempur? Apakah bisa dilihat di dalam peperangan yang berlangsung di bawah perdamaian terdapat prinsip-prinsip yang membantu kita memahami tatanan, Negara, lembaga, dan sejarahnya?

    Salah satu poin terentang dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah kalimat Clausewitz: “Perang adalah kelanjutan politik melalui cara-cara lain.” Melihat beberapa pertanyaan tadi, kita bisa membalik kesimpulan Clausewitz: “Bisa saja perang adalah kelanjutan dari politik melalui cara-cara lain, tetapi bukankah politik itu sendiri adalah kelanjutan dari perang dengan cara-cara lain?” Di titik ini Foucault menyatakan bahwa dia ingin membuktikan bahwa kalimat Clausewitz Hah yang sebenarnya membalikkan sebuah prinsip yang telah ada sebelumnya telah lama ada. Dan prinsip tersebut (politik adalah kelanjutan dari perang dengan cara-cara lain) telah tersebar luas di Eropa di abad 17 dan 18 dan sebenarnya juga sangat spesifik.

    (Bersambung)

  • Mari Tinggalkan Teori Hak/Kedaulatan

    Catatan kuliah Michel Foucault “Il faut défendre la société”

    14 Januari 1976, College de France, Paris.

    Catatan pembelajaran saya untuk bab pertama buku ini bertanggal 9 Desember 2009. Hampir tujuh tahun untuk benar-benar kembali melihat corat-coret yang telah dibuat mengenai bab ini (saya telah mengunggahnya di situs scribd namun situs tersebut telah mengganti syarat dan ketentuannya). Coretan tersebut tentunya masih sangat membantu resonansi pembelajaran saya ini dalam kehidupan kontemporer, juga membantu proses pemahaman kita atas ide-ide analitis yang disampaikan oleh Foucault. Ini tentunya bukan untuk memberikan penjelasan teoritik atas struktur ataupun peristiwa sosial di mana resonansi tersebut ditemukan. Yang diinginkan adalah pemeriksaan apakah metode yang ditawarkan dapat membantu dalam melakukan analisis atas fenomena kekuasaan yang berlangsung.

    Dalam catatan pembelajaran sebelumnya (Pemberontakkan Pengetahuan Melawan Rejim Baru), resonansi dari kuliah pertama 7 Januari 1976 tersebut pada kelanjutan pembangunan rejim di masa pemerintahan Yudhoyono-Boediono (2009-2014). Meski mendapatkan dukungan elit dan populer, pemerintahan tersebut terus menerus diterpa oleh berbagai angin ribut dan badai politik yang hampir semua dimulai dari pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya terlalu lokal, sulit ditentukan keterhubungannya dengan pengetahuan lokal lainnya, seperti pengalaman masing-masing rakyat dalam pencabutan subsidi BBM di mana dampaknya berada di luar taksiran model matematika pemerintahan saat itu. Jenis pengetahuan lainnya yang turut mengundang angin ribut politik adalah pengetahuan-pengetahuan yang didiskualifikasi sebagai “tidak ilmiah”, tidak memenuhi syarat sebagai landasan kebijakan pemerintah, seperti bukti-bukti yang dibawa rakyat dalam memprotes kebijakan pemerintah kedua jenis pengetahuan ini, yang disebut “subjugated knowledge”, dapat saja dan bahkan terjadi menyeruak kepada publik dan menjadi sumber angin ribut politik pada masa itu. Karenanya disebut pemberontakan pengetahuan (“insurrection of the subjugated knowledge”).

    Kita telah tiba pada semacam persimpangan untuk meninggalkan atau melanjutkan “ekonomisme” dalam menganalisa kekuasaan. Perkembangan teknologi kekuasaan terlihat terlalu kompleks untuk dianalisa melalui kacamata “ekonomisme” yang mengandaikan kekuasaan adalah hasil dari transaksi (teori kontrak sosial) maupun sebatas alat produksi dan reproduksi relasi ekonomi kapitalisme (konsepsi umum Marxisme tentang kekuasaan). Keteteran dalam menganalisa ini terlihat dalam kegagalan pemikiran-­pemikiran tersebut dalam memberi inspirasi untuk menggagalkan kebangkitan Nazisme maupun Stalinisme. Di Indonesia sendiri, para pemikir liberal tahun 1960an dengan pendekatan kedaulatan/hak gagal menganalisa kekuasaan yang berlangsung pada masa kepresidenan Soekarno yang mereka anggap otoriter/diktator dan dengan naif mendukung dan bekerja sama dengan para pengembang teknologi anti kebebasan sipil.

    Saya merasa agak beruntung dalam melanjutkan bagian kedua eksplorasi Foucault dan Kekuasaan menemukan contoh praktisnya pada saat itu. Pertama, dilarangnya pemutaran film Balibo oleh Lembaga Sensor Film. Kedua, masih soal breidel-membreidel, Kejaksaan Agung baru saja memutuskan pelarangan lima buku atas nama ketertiban umum.

    Sebenarnya bukan karena dua peristiwa itu menunjukkan represifnya pembangunan rejim (yang pada saat itu baru dilanjutkan) yang saya jelaskan dalam catatan pertama, tetapi justru contoh tersebut ditunjukkan di saat berbincang-bincang dengan kawan­-kawan yang terlibat dalam (embrio) gerakan mencabut wewenang pelarangan buku pada saat itu. Setidaknya terdapat dua posisi dalam memandang persoalan ini. Di satu sisi, ada yang berpandangan bahwa segala bentuk pelarangan buku (dan juga tentunya sensor dalam berbagai bentuk media) harus ditolak. Masyarakat berkedaulatan untuk menentukan pandangan-­pandangannya mengenai sebuah persoalan. Di sisi lain, contoh­-contoh naiknya Nazi di Jerman atau genosida di Rwanda dan Burundi yang mengandalkan buku dan media massa mengisyaratkan bahwa ada hal­-hal tertentu yang harus dibatasi melalui kekuasaan Negara.

    Studi geopolitik yang lebih mendalam, seperti yang dilakukan oleh Online Encyclopedia of Genocide dalam melihat kasus Rwanda, memperlihatkan bahwa relasi antara hate­speech dan genosida bukanlah sesuatu yang langsung. Ternyata masih ada beberapa hal lain yang jauh lebih signifikan dan jauh lebih berpengaruh dibandingkan media ataupun buku. Posisi kekuasaan, kerakusan, representasi dari konflik di masa silam, dendam dan faktor-­faktor lain ternyata menjadi penyebab dominan dibanding hate­speech yang disebar media. Dinamika mobilisasi lokal juga lebih besar pengaruhnya dalam rentetan kekejaman yang terjadi.

    Kembali ke pendekatan kedaulatan ­hak dan turunannya teori kontrak sosial, yang kini menjadi sumber ide berbagai tuntutan gerakan Hak Asasi Manusia, kedua posisi yang disebut di atas terlihat secara bersamaan bisa benar sekaligus salah. Artinya, jika kita berkehendak untuk membangun sebuah analisa atas rejim baru tadi, sangat mungkin teori kedaulatan­/hak memiliki keterbatasan­keterbatasan. Dan kini dari dunia di luar penjelajahan literatur, pengetahuan­pengetahuan lokal mengenai praktek­praktek terus bermunculan, selalu memberi tantangan terbuka atas teori kedaulatan­/hak dan segala aplikasi turunannya dalam analisa politik.

    Dalam catatan sebelumnya, muncul sebuah hipotesa yang sekaligus juga sebuah pertanyaan dalam melakukan analisa politik: Dapatkah kita temukan melalui model peperangan, sebuah prinsip yang dapat membantu kita memahami dan menganalisa kekuasaan politik, menerjemahkan kekuasaan politik dalam bentuk­ bentuk perang, pergulatan, dan konfrontasi?

    Membongkar Akar Kedaulatan

    Untuk memulai, perlu dicatat bahwa eksplorasi ini memiliki “bias” Barat yang cukup besar. Studi yang dilakukan Foucault soal kekuasaan memang sedari awal dipaku pada perkembangan kekuasaan di Eropa, karena itu kehati­hatian juga diperlukan terutama untuk mencerna penjelasan­-penjelasan kesejarahan yang jelas berbeda perkembangannya di Indonesia. Namun, kita tetap dapat menjadikan eksplorasi ini sebagai landasan pengembangan analisa­-analisa politik yang baru, karena hubungan­-hubungan kolonial yang terjadi selama ratusan tahun telah memperkecil pengaruh perkembangan kekuasaan yang terjadi sebelum penjajahan Eropa dan mengimpor (tentunya dengan berbagai modifikasi kolonial) perkembangan kekuasaan yang lahir di Eropa.

    Menurut Foucault, perkembangan pemikiran sistem hukum pada esensinya terpusat kekuasaan raja, bahkan sejak Abad Pertengahan. Sistem hukum dikembang-tumbuhkan atas perintah kekuasaan raja, selain demi kepentingan kekuasaan tersebut, dan untuk dijadikan instrumen kekuasaan ataupun penegak legitimasi kekuasaan itu. Pergulatan kekuasaan di Eropa pada abad-abad selanjutnya memperlihatkan berubahnya struktur dan sistem hukum dari mengabdi kepada kekuasaan raja sekaligus melegitimasinya menjadi berhadapan dengan kuasa kerajaan. Akan tetapi letak pertaruhannya tetaplah tentang kekuasaan raja. Pada kelahiran monarki konstitusional Inggris, telah dikenal Magna Carta yang dituliskan untuk mengatur hak dan kewajiban antara raja dan para bangsawan sebagai awal digunakannya hukum untuk membatasi kekuasaan raja. Singkatnya, baik sebagai alat raja atau pun berhadapan dengan raja, struktur konseptual hukum Barat tetaplah soal raja: hak-haknya, kekuasaannya dan batas-batas yang mungkin dari kekuasaannya.

    Pada makna pertama, kekuasaan raja harus ditunjukkan sebagai kuasa yang tertanam di dalam jubah hukum. Bahwa raja adalah tubuh hidup dari kedaulatan dan kekuasaannya, secara utuh sejalan dengan sebuah hak dasar. Pada makna kedua, kekuasaan raja harus ditunjukkan sebagai kuasa yang harus dibatasi. Kekuasaan tersebut harus tunduk kepada aturan-aturan tertentu. Dan jika kekuasaan tersebut ingin menjaga legitimasinya, ia harus dijalankan dalam batas-batas tertentu.

    Peran dari teori hak, simpul Foucault, sejak abad pertengahan adalah menentukan legitimasi kekuasaan, dengan kata lain persoalan utama teori hak adalah problem kedaulatan. Dengan demikian, teori hak (bahasa kerennya saat ini: supremasi hukum) merupakan payung untuk serangkaian diskursus dan teknik untuk menggantikan dan menghapuskan dominasi dengan dua hal: hak-hak sah dari yang berdaulat dan kewajiban hukum untuk mematuhinya.

    Pada tahun-tahun sebelumnya, Foucault telah membelejeti “hal-hal kecil” terkait dengan kekuasaan. Hal ini ia lakukan untuk membalikkan arah umum analisis dari teori hak sejak Abad Pertengahan: dari penguraian persoalan-persoalan kedaulatan dan legitimasi menjadi pembelejetan fakta-fakta dominasi dalam seluruh brutalitas dan kerahasiaannya. Ini menunjukkan bukan hanya teori hak (hukum?) adalah instrumen dominasi tetapi juga bagaimana, sampai di titik mana, dan dalam bentuk apa hukum menjadi kendaraan dan menjalankan relasi-relasi yang sebenarnya bukan relasi kedaulatan melainkan relasi-relasi dominasi.

    Foucault menggarisbawahi bahwa ia tidak hanya bicara hukum sebagai perangkat peraturan tertulis (perundang-undangan) tetapi juga keseluruhan aparatus, kelembagaan, dan pengaturan yang melaksanakan hukum. Dan mengenai dominasi, yang dimaksud adalah bukan fakta besar dari “sebuah” dominasi masif dari seseorang atas yang lainnya, ataupun dari sekelompok terhadap kelompok lainnya. Foucault bicara tentang berbagai wujud dominasi yang dapat berlangsung di dalam sebuah masyarakat. Jadi bukan hanya sang Raja dalam posisi sentralnya, tetapi juga para subyek/warga dalam relasi timbal-baliknya. Bukan hanya kedaulatan dalam jubah khususnya (perundang-undangan, kelembagaan hukum), tetapi juga berbagai penundukkan (subjugation/assujettissement) yang berada dan berjalan di dalam tubuh sosial (masyarakat).

    Koridor Metodologis

    Dengan sistem hak dan sistem yuridis menjadi kendaraan permanent dari relasi-relasi dominasi, dari teknik-teknik penundukkan dengan berbagai bentuk, Foucault meyakini bahwa teori hak haruslah dilihat dari sisi berbagai prosedur penundukkan Yang dijalankannya. Melihat hak dari sisi legitimasi yang harus ditetapkan malah akan menghambat analisis kekuasaan. Bagi Foucault, kini persoalannya adalah bagaimana menerabas atau menghindari problem tersebut. Karena itu dibutuhkan sebuah koridor metodologis yang akan dipaparkan dalam poin-poin berikut ini.

    Pertama, tujuan kita bukanlah menganalisa bentuk-bentuk kekuasaan yang absah dan berdasarkan peraturan, yang memiliki sebuah pusat tunggal. Bukan juga untuk menganalisa mekanisme umumnya ataupun efek-efeknya. Kita akan menganalisa pada titik-titik terjauhnya, dalam bentuk-bentuk dan kelembagaan yang paling terlokalisir. Terutama di mana kekuasaan tersebut melanggar aturan-aturan hak yang menata dan membatasinya.

    Kita harus melihat bagaimana praktik-praktik tersebut tertanam di dalam lembaga-lembaga, terwujudkan dalam teknik-teknik kuasa dan menjalankan berbagai instrumen intervensi material yang kadang-kadang menggunakan kekerasan. Sebagai contoh, daripada membahas di mana atau bagaimana kekuasaan untuk menghukum mendapatkan dasarnya dalam kedaulatan, Foucault memilih untuk melihat bagaimana hukuman ataupun kekuasaan untuk menghukum mewujudkan dirinya dalam berbagai lembaga lokal, regional, material. Intinya, kita membidik di mana pelaksanaan kekuasaan untuk menghukum menjadi semakin tidak yuridis.

    Kedua, tujuannya adalah bukan menganalisa kekuasaan dari dalam (kepemilikan, maksud dan tujuan), tetapi menganalisanya dari wajah luarnya. Dalam praktik-praktik nyata dan efektif di mana kekuasaan berhubungan langsung dengan obyek kuasanya, di mana kekuasaan menanamkan dirinya dan menghasilkan efek-efek nyata. Foucault di sini ingin melihat bagaimana berbagai wujud tubuh, kekuatan, energi, materi, hasrat, pemikiran dan lain sebagainya dibentuk secara perlahan namun pasti, nyata dan material menjadi subyek. Menyelidiki kejadian material dari penundukkan sebagai pembentukkan subyek jelaslah berlawanan dengan apa yang ingin dilakukan oleh Hobbes dalam Leviathan. Para ahli hukum atau dalam konteks Indonesia ahli tata negara, seperti Hobbes, melihat bagaimana terbentuknya sebuah kehendak ataupun bahkan tubuh tunggal dari berbagai wujud individu dan kehendak, meski digerakkan oleh sebuah ruh yang bernama Kedaulatan. Dalam skema ini, Leviathan sebagai sebuah manusia buatan, hanyalah sebuah gabungan atau koagulasi dari sekian banyak perorangan yang terpisah-pisah, yang disatukan oleh berbagai elemen pembentuk Negara. Namun pada kepalanya terdapat sesuatu yang membentuknya seperti itu, yaitu kedaulatan yang Hobbes sebut sebagai ruh dari Kedaulatan. Daripada menganalisa problem ruh utama tersebut, Foucault memilih mempelajari bagian-bagian pinggiran dan jamak yang sebenarnya dibentuk oleh efek-efek kekuasaan menjadi subyek.

    Ketiga, kekuasaan bukanlah sebuah fenomena dominasi masal dan homogen. Yang dianalisis di sini bukanlah kekuasaan suatu individu di atas individu-individu lainnya, atau sebuah kelas sosial di atas kelas-kelas sosial lainnya. Kecuali dilihat dari posisi sangat tinggi di atas ataupun sangat jauh, kekuasaan tidaklah terbagi antara mereka yang memilikinya secara eksklusif dan mereka yang tidak memilikinya dan menjadi subyeknya. Kekuasaan berjalan dalam sirkulasi, rantaian dan jaringan. Perseorangan/individu adalah relay kekuasaan, mereka tidaklah diam ataupun menjadi target kekuasaan yang bersetuju dengannya. Kekuasaan bergerak melalui perorangan, bukan diterapkan atas mereka.

    Menurut Foucault, adalah salah menilai perorangan sebagai nukleus elementer, atom primitif, ataupun berbagai materi yang diam di mana kekuasaan diterapkan. Ataupun perorangan sebagai sesuatu yang dihantam oleh kekuasaan yang merendahkan ataupun menghancurkan perorangan. Argumen Foucault, kekuasaan memungkinkan tubuh, perilaku, diskursus, dan hasrat diidentifikasikan dan dibentuk sebagai sesuatu yang perorangan (individual). Perorangan adalah produk pertama dari efek-efek kekuasaan. Artinya, kekuasaan bergerak melalui perorangan yang telah dibentuknya.

    Keempat, meski kita dapat mengatakan, “Kekuasaan berjalan, bersirkulasi, membentuk jaringan” ataupun “Kita semua memiliki fasisme dalam kepala kita” atau bahkan lebih mendasar “Kita semua memiliki elemen-elemen kekuasaan dalam tubuh kita”, kita tidak dapat langsung menyatakan atau menyimpulkan bahwa kekuasaan itu adalah sesuatu yang terdistribusikan dengan baik, atau sesuatu yang terdistribusikan secara luas. Artinya dalam menganalisa kekuasaan, adalah penting untuk tidak melakukan deduksi atas kekuasaan dengan memulai dari pusatnya lalu mencoba sejauh mana ia bergerak, atau sejauh mana ia direproduksi ataupun diperbaharui di dalam elemen-elemen paling atomistik dari masyarakat.

    Sebaliknya, Foucault menilai pentingnya melakukan analisis menanjak, memulai dari mekanisme terkecil (dengan sejarah, perjalanan, teknik dan taktik mereka sendiri) dan melihat bagaimana mekanisme kekuasaan tersebut, bersama dengan soliditas dan teknologinya, telah dan sedang ditanamkan, dikolonisasikan, digunakan, dibelokkan, diubah, dipindahkan, diperluas, dan seterusnya oleh mekanisme kekuasaan yang semakin umum dan bentuk-bentuk dominasi keseluruhan. Pertanyaannya adalah bagaimana mekanisme-mekanisme terkecil tersebut ditanamkan/ditambahkan oleh fenomena kuasa keseluruhan, dan bagaimana keuntungan lanjutan secara kekuasaan dan ekonomi dapat menyelinap ke dalam permainan teknologi kekuasaan ini yang pada saat bersamaan relatif otonom dan merupakan satuan terkecil.

    Poin metode ini merupakan poin terpenting buat Foucault sehingga ia menunjukkan dua contoh untuk menggambarkannya, yaitu persoalan seksualitas anak-anak dan kegilaan di Eropa pada abad 19. Keduanya terkait problematika kekuasaan dan kepentingan borjuasi yang banyak diangkat oleh para intelektual Eropa.

    Kedua contoh tersebut bertautan dengan studi-studi yang telah atau pada saat itu sedang dilakukan olehnya. Tema kegilaan adalah subyek pertama dari studi yang dilakukan Foucault, tesis doktoralnya yang ditulis di Swedia sewaktu mengajar bahasa Perancis di sana pada paruh pertama dekade 1950. Sedangkan mengenai seksualitas anak-anak merupakan studi yang sedang dilakukan dan akan menjadi sebuah trilogi studi tentang seks dan kekuasaan yang terbit di tahun-tahun setelah kuliah umum ini.

    Seksualitas Anak-Anak dan Kegilaan

    Fakta berkuasanya borjuasi dimulai pada akhir Abad 16 sampai Abad 17 menjadi pembahasan begitu penting di studi politik, sosiologi dan ekonomi. Begitu banyak perubahan sosial, politik dan ekonomi yang dikaitkan dengan dominasi baru tersebut oleh kalangan intelektual Eropa dan Amerika Utara. Contoh pertama tentang konsep kegilaan dan perlakuan terhadap orang gila diajukan Foucault untuk menunjukkan ambiguitas analisis berdasarkan teori hak dan alur pikir deduksi.

    Bagaimana kita dapat mendeduksikan penangkapan dan pemenjaraan orang gila terkait dengan kekuasaan borjuasi? Foucault meledek terlalu banyak yang dengan mudah mengaitkan bahwa karena orang gila tidak berguna dalam ekonomi industri, maka borjuasi merasa harus membereskan mereka.

    Begitu juga dengan contoh kedua, mengapa pada Abad 18 dan 19 terdapat kampanye besar-besaran untuk merepresi seksualitas anak-anak (utamanya masturbasi). Jawaban yang didapat adalah karena sejak Abad 17 dan 18 tubuh manusia telah menjadi tenaga produktif yang menggerakkan ekonomi industri, karena itu semua bentuk penggunaan tubuh yang tidak berguna, atau tepatnya tidak dapat dimasukkan ke dalam relasi produksi, haruslah dilarang, dikeluarkan dan direpresi. Namun, menurut Foucault, argumen tersebut terlalu lemah dan mudah, karena ia bisa mengajukan argumen tandingan dengan mendeduksikan dari berkuasanya borjuasi. Borjuasi sebagai kelas dominan bisa juga tidak menginginkan kontrol atas seksualitas ataupun seksualitas anak-anak. Yang mereka butuhkan, dalam garis argumen tandingan ini, adalah pendidikan seks, pelatihan seks, atau bahkan seks usia dini dengan tujuan mereproduksi tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Pada Abad 19, banyak ekonom percaya bahwa makin besar populasi kelas buruh, makin hebat sistem produksi kapitalis bekerja penuh dan efisien.

    Artinya, kita bisa mendapatkan berbagai kesimpulan asal-asalan dari analisis deduktif atas berkuasanya borjuasi. Karena itu, untuk menghindari alur pikir asal-asalan ini kita perlu melakukan analisis yang berlawanan arah dengan deduksi. Analisis tersebut haruslah bergerak dari bawah dan memperhatikan kesejarahan, bagaimana mekanisme kontrol dapat berperan dalam penyingkiran kegilaan ataupun memberantas dan membasmi seksualitas anak-anak. Bagaimana fenomena-fenomena penyingkiran atau pembasmian ini menemukan instrumen dan logikanya, sekaligus memenuhi kebutuhan di satuan masyarakat terkecil (semisal keluarga dan tetangganya). Kita harus dapat menjelaskan siapa saja pelaku-pelaku (agen) dari fenomena tersebut pada titik mikro, semisal dokter, anggota keluarga, orang tua, petugas kepolisiandan seterusnya. Dan kita harus dapat menjelaskan bagaimana mekanisme-kekuasaan ini pada saat dan dengan perubahan-perubahan tertentu menjadi menguntungkan secara ekonomi dan berguna secara politik.

    Kekuasaan Borjuasi dan Mekanisme Kuasa

    Jika kita benar-benar menelusuri aras argumentasi di atas, kita akan sadar bahwa sulit menyatakan adanya “borjuasi” dan “kepentingan borjuasi” yang menginginkan kegilaan disingkirkan ataupun seksualitas anak-anak diberantas. Namun dalam kedua fenomena tersebut terdapat mekanisme-mekanisme yang dapat menyingkirkan orang gila ataupun teknik-teknik yang dapat mengawasi seksualitas anak-anak.

    Pada saat-saat tertentu dan dengan alasan yang masih harus dipelajari, mekanisme-mekanisme dan teknik-teknik tersebut menciptakan keuntungan ekonomi ataupun kegunaan politik. Karena itu mereka akan dikuasai dan didukung oleh mekanisme umum kekuasaan dan pada akhirnya menjadi bagian dari keseluruhan sistem Negara. Jika kita fokuskan pada mekanisme dan teknik tersebut, kita dapat memahami keuntungan ekonomis ataupun kegunaan politiknya dan mengapa ia menjadi bagian keseluruhan sistem.

    Borjuasi tidak peduli kepada orang gila, akan tetapi sejak Abad 19 dan melalui perubahan tertentu, prosedur dan teknik untuk menyingkirkan orang gila membuahkan keuntungan politik, atau bahkan kegunaan ekonomis tertentu. Mereka adopsi prosedur dan teknik tersebut dan gunakan untuk keberlangsungan sistem secara keseluruhan. Borjuasi tidaklah tertarik pada orang gila, tetapi tertarik pada kekuasaan yang berlaku pada orang gila. Borjuasi tidak peduli anak-anak bermasturbasi, namun tertarik pada sistem kekuasaan yang mengendalikan seksualitas anak-anak.

    Kelima, sangatlah mungkin mesin besar kekuasaan berjalan diiringi oleh produksi ideologi. Sudah ada, misalnya, ideologi pendidikan, ideologi kekuasaan kerajaan, ideologi demokrasi parlementer dan seterusnya. Namun Foucault berpendapat, bukanlah ideologi yang menjadi landasan di mana menjulangnya berbagai jaringan kekuasaan. Landasan sesungguhnya terletak pada berbagai instrumen efektif pembentuk dan pengumpul pengetahuan: metode observasi, teknik pencatatan, prosedur penyelidikan dan penelitian, alat-alat verifikasi. Intinya, dalam hal kekuasaan menjalankan mekanisme-mekanisme mikronya, ia tidak dapat bekerja tanpa pembentukan, pengorganisasian dan sirkulasi dari sebuah pengetahuan ataupun dari sebuah aparatus pengetahuan yang bukan kelengkapan atau selubung ideologis.

    Kelima batasan metodologis di atas dapat membantu untuk menghindari jebakan yang berputar-putar pada mantel/jubah yuridis dari kedaulatan, aparatus Negara, dan ideologi pendamping kekuasaan. Foucault mengarahkan analisisnya pada sisi dominasi (bukan dari sisi kedaulatan), pada sisi penundukkan, sistem-sistem lokal dari penundukkan, dan seterusnya. Poinnya, kita perlu meninggalkan model Leviathan dalam menganalisa kekuasaan, meninggalkan bidang analisis kekuasaan yang dibatasi oleh kedaulatan yuridis dan kelembagaan Negara, dan mulai menganalisa kekuasaan dari teknik dan taktik dominasi.

    Bertemu dengan Kuasa Disipliner

    Foucault menyatakan bahwa dengan mengikuti kelima batasan tersebut, kita akan menjumpai sebuah “fakta historis yang masif”. Fakta tersebut terkait dengan alasan mengapa kita harus tinggalkan teori hak/kedaulatan. Diskursus tentang hak dan juga kedaulatan muncul pada Abad Pertengahan di Eropa, seiring dengan dihidupkannya kembali sistem hukum Romawi. Sepanjang Abad Pertengahan hingga Revolusi Perancis, teori hak/kedaulatan setidaknya, dalam catatan Foucault, memainkan empat peran.

    Mula-mula, teori ini menjadi referensi untuk berjalannya kekuasaan efektif yang dijalankan oleh kerajaan feodal. Kemudian, ia memerankan peran kedua sebagai instrumen dan justifikasi untuk pembentukkan kerajaan-kerajaan administratif. Berbeda dengan tahap perkembangan kerajaan feodal, di mana secara prinsip raja hanyalah menjalankan fungsi kehakiman/yudisial dan para bangsawan tuan tanah menjalankan fungsi keamanan warga yang mereka naungi, dalam kerajaan atau monarki administratif mulai dijalankan fungsi-fungsi yang kini kita sebut sebagai pemerintahan. Dalam sistem tersebut, teori hak/kedaulatan menjadi lebih ekstensif untuk membenarkan dan menjadi alat sehingga fungsi-fungsi pemerintahan yang mulai mengintervensi kehidupan sehari-hari para warga.

    Pada tahap selanjutnya, teori tersebut memainkan peran ketiga, sebagai alat perjuangan politik dan teoritik pihak-pihak yang memperebutkan kekuasaan. Sejak Abad 16, khususnya Abad 17, teori hak bersirkulasi di antara pihak-pihak yang bertikai, baik untuk membatasi kekuasaan raja ataupun memperkuat kekuasaan raja. Teori hak, seperti teori Kontrak Sosial yang diusung Hobbes, menemukan dirinya bermanfaat di semua pihak tersebut : dalam Perang Agama-Agama (Katolik versus Protestan), diskursus hak dan kedaulatan menemani konflik antara kaum katolik monarkis dan protestan anti-monarkis. Ia juga berseliweran di antara kaum protestan pro monarki maupun yang kurang lebih liberal, berseliweran juga di para katolik pendukung pemenggalan raja atau pergantian dinasti.

    Akhirnya, pada Abad 18, diskursus-diskursus dari teori hak/kedaulatan ini kita temukan juga dalam tulisan-tulisan Rousseau dan intelektual semasanya, untuk memainkan peran yang baru. Diskursus-diskursus hak/kedaulatan dipakai untuk menghantam monarki administratif, otoriter dan absolut, dan membangun sebuah model alternatif yaitu demokrasi parlementer.

    Di tengah pergulatan politik dan teoritik itulah dapat kita tarik sebuah catatan penting. Apapun peran dari teori hak/kedaulatan pada berbagai tahap perkembangan sistem politik, teori tersebut dan diskursus-diskursusnya berkembang sejalan dengan mekanisme umum kekuasaan yang berlangsung, sejalan dengan perkembangan keseluruhan tubuh sosial masyarakatnya. Singkatnya, tetap dalam relasi antara daulat dan rakyatnya, antara raja dan subyeknya. Termasuk pada fase berikutnya, antara Kedaulatan Rakyat dan individu rakyat.

    Selanjutnya, pada saat yang bersamaan dengan berkembangnya monarki administratif dan monarki absolut, berbagai perkembangan teknik kerja dan produksi menjadi landasan tumbuhnya sebuah mekanika kekuasaan yang baru. Mekanika kekuasaan ini memiliki berbagai prosedur berbeda, instrumen-instrumen yang sama sekali baru, dan, secara keseluruhan, tidak berkesesuaian dengan relasi kedaulatan. Mekanika baru ini berbeda karena ia berjalan langsung kepada tubuh manusia dan apa yang bisa dikerjakannya, bukan kepada tanah dan hasil bumi. Mekanika kuasa ini memungkinkan yang berkuasa menghisap waktu dan kerja dari tubuh. Ia tidak lagi menggantungkan dirinya kepada kehadiran fisik sang raja dan kaki tangannya, tetapi berjalan atas sebuah sistem pengawasan yang permanen. Dengan pendekatan yang sistematis, mekanika ini dapat memperhitungkan penggunaan kekuasaan, seperti pemaksaan fisik/material, secara minimum namun mendapatkan hasil yang maksimum. Ia tidak lagi membutuhkan pasal-pasal hukum dari kewajiban warga dan jadwal penyerahan upeti, cukup dengan merumuskan bentuk-bentuk pengawasan berkelanjutan. Mekanika ini adalah penemuan besar masyarakat borjuis, bahkan adalah instrumen fundamental dari berdirinya kapitalisme dan masyarakat industrial. Foucault menamakannya kuasa “disipliner”.

    Pertanyaannya kemudian, jika jenis kuasa ini membuat kekuasaan berdasarkan teori kedaulatan menjadi usang, mengapa kuasa ini tidak menggantikan teori kedaulatan? Bahkan pada Abad 19 melalui Kode Penal Napoleon yang menyebar ke seluruh penjuru Eropa, teori hak/kedaulatan menjadi prinsip menata sistem hukum di berbagai negara? Mengapa teori kedaulatan bertahan untuk tetap menjadi ideologi dan penata utama sistem hukum hingga saat ini?

    Foucault mengajukan dua alasan. Pertama, teori kedaulatan adalah instrumen kunci yang permanen untuk menghadapi kekuasaan monarki dan untuk menghadapi semua penghalang yang dapat berlawanan dengan pembangunan masyarakat disipliner. Kedua, teori tersebut, ataupun penataan sistem hukum yang berdasarkan kepadanya memungkinkan untuk menyelubungi mekanisme-mekanisme disiplin dengan sebuah sistem hak. Sistem hak tersebut menyembunyikan berbagai prosedur dan operasi disiplin, menghapuskan apapun yang dimaui dalam dominasi dan teknik dominasi, dan akhirnya, menjamin setiap orang yang dinaungi kedaulatan negara mendapatkan hak-hak kedaulatannya masing-masing.

    Artinya di sini, sistem hukum, apapun teori dan kodenya, membuat mungkin adanya demokratisasi kedaulatan, berdirinya sebuah hukum publik yang diartikulasikan sebagai kedaulatan kolektif, pada saat bersamaan dengan tenggelamnya demokratisasi kedaulatan tersebut ke dalam mekanisme-mekanisme pemaksa disiplin.

    Di sinilah letak tegangan keadaban/masyarakat sipil. Di satu sisi hak-hak publik ditata, diatur berasaskan kedaulatan tubuh sosial (“Kedaulatan Rakyat”), namun di sisi lainnya ia berada dalam kerangkeng ketat pemaksaan disiplin untuk menjamin keutuhan dari tubuh sosial tersebut. Sebuah hak/hukum berdasarkan kedaulatan dan sebuah mekanika disiplin.

    Disiplin memiliki diskursusnya sendiri. Ia menciptakan aparatus pengetahuan dan sekian banyak lapangan keahlian untuk mendukung diskursus tersebut. Diskursus ini jelas mengenai sebuah aturan, namun bukanlah aturan yuridis. Yang dibangun adalah sebuah aturan natural, asali atau alami. Sesuatu yang disebut normal. Ini adalah sebuah diskursus normalisasi, yang merujuk kepada ilmu tentang manusia. Karena itu, yurisprudensi dari diskursus aturan dan normalisasi tersebut adalah pengetahuan yang bersifat klinis, yang melihat manusia dalam sebuah relasi antara dokter dan pasien, masyarakat sebagai sesuatu yang diobati/diberlakukan treatment.

    Normalisasi disipliner dalam negara modern semakin berkonflik dengan sistem yuridis yang bersumber dari kedaulatan. Di banyak sisi, lebih terlihat bahwa diskursus kedaulatan semakin tidak mampu menghadapi penyerobotan oleh mekanika disipliner. Ia semakin impoten menghadapi sebuah kekuasaan yang berdasarkan pengetahuan ilmiah.

    Berhadapan dengan penyerobotan oleh mekanika (kuasa) disipliner, kita berada dalam situasi mandek karena yang tersedia hanyalah mengusung hak hukum yang disusun di seputar teori kedaulatan. Teori kedaulatan ini pun tetap tidak bisa membatasi efek-efek dari kekuasaan disipliner.

    Lebih lanjut, kedaulatan dan disiplin adalah dua hal pembentuk mekanisme- mekanisme umum dari kekuasaan dalam masyarakat saat ini. Karenanya, untuk melawan kuasa disipliner, dalam mencari sebuah kuasa non disipliner, Foucault meyakini bahwa seharusnya tidak kembali kepada hak/hukum kedaulatan yang menjadi usang akibat kuasa disipliner. Ia ingin bergerak menuju sebuah hak baru yang akan anti-disipliner, tetapi juga pada saat yang sama terbebaskan dari prinsip teori kedaulatan.

  • Meninggalkan Analisis Hak dan Teori Kedaulatan

  • Pemberontakkan Pengetahuan Melawan Rejim Baru

    *Catatan Kuliah “Il faut défendre la société” oleh M. Foucault, 7 Januari 1975

    Sebenarnya eksplorasi ini tidak berhubungan dengan Krisis Cicak vs Buaya. Pembaca bisa memeriksa catatan-catatan sebelumnya, untuk melihat latar belakangnya (Sketsa exposisi… dan Foucault dan Geopolitik). Akan tetapi, beberapa perbincangan dengan berbagai kawan lama membuat saya ingin menempatkan Krisis Cicak vs Buaya (KCB) sebagai pintu masuk eksplorasi ini.

    Ada dua hal dalam KCB yang saya amati. Pertama, cepatnya grup Facebook pendukung Bibit-Chandra yang didirikan Usman Yasin meraih 1.200.000 anggota. Angka ini, dengan jumlah hari sejak didirikan, mungkin termasuk grup Facebook yang terbesar dan tercepat dalam perekrutan. Lebih lagi, isu yang diangkat politis, menempatkan 500 orang pertama yang diundang bergabung untuk melakukan tindakan refleks: klik bergabung atau abaikan. Dan jangan lupa, mereka yang pertama bergabung, segera menjadi perekrut gerakan klik. Dalam satu minggu kemudian, setelah didukung pemberitaan media massa, jumlah pendukung grup Facebook ini melampaui satu juta.

    Seorang kawan, Puthut EA, mencatat fenomena ini sebagai gerakan massa yang bahkan lebih besar dari penolakan kenaikan BBM pada masa pemerintahan SBY-JK. Ia menanggapi berbagai rumor dan spekulasi mengenai kejatuhan SBY-Boediyono karena rangkaian skandal Bank Century, Bibit-Chandra, dan tentunya kasus Antasari Azhar. Puthut juga menutup catatannya dengan kesimpulan bahwa SBY-Boediyono tidak akan jatuh kecuali terdapat “terobosan gerakan”.

    Hal kedua, saya melihat adanya kecenderungan, yang sebenarnya tidak luar biasa untuk menjadi catatan, perilaku kelembagaan yang mirip pada Kepolisian dan Kejaksaan dalam menghadapi kasus-kasus seperti Prita vs Omni Internasional ataupun Bibit-Chandra. Lembaga-lembaga negara tersebut tampak seperti menantang tekanan publik, yang lagi-lagi berawal dari dunia internet. Dalam kasus Prita vs Omni Internasional, meski terkuak bahwa Kejaksaan Negeri Tanggerang melakukan kesalahan dalam penyidikan dan penyusunan tuntutan, begitu terlihat determinasinya untuk mengadili Prita yang sebenarnya merupakan korban malpraktik yang kini menjadi terdakwa pencemaran nama baik. Perilaku yang sama juga ditunjukkan, kali ini Kejaksaan dan Kepolisian, dalam kasus tuduhan suap dan penyalahgunaan kekuasaan dua pimpinan KPK, Bibit dan Chandra. Mirip dengan Prita, keduanya kini dibebaskan dari sel tahanan akan tetapi kasus mereka tetap berlanjut ke pengadilan.

    Eksplorasi ini tidak bermaksud menilai jatuh atau tidaknya pemerintahan sekarang. Pertanyaan tersebut tidak pernah menjadi penting, sebenarnya, karena secara kongkrit hanya bisa membedah sebagian kecil dinamika yang tengah dan akan terjadi, dan beresiko besar terperangkap oleh spekulasi-spekulasi yang sering fantastis. Sebaliknya, eksplorasi ini ingin mencari tahu tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya dinamika politik belakangan ini.

    Rejim dan Krisis

    Berlanjutnya SBY ke pemerintahan kedua dengan mulus, memperoleh dukungan mayoritas di parlemen, suara terbanyak dalam pemilihan presiden secara langsung, dan berlanjutnya lingkar kekuasaan yang setia di dalam kabinet kedua menandakan bahwa setelah runtuhnya Rejim Orde Baru, Indonesia kini untuk pertama kalinya dihadiahi sebuah rejim baru. Jalan panjang reposisi dan rekonstitusi kekuasaan yang stabil kini dapat dikatakan relatif final. Berbeda dengan tiga kepresidenan sebelumnya, saat ini pola-pola dan aturan main baru dalam kekuasaan juga sudah mulai terlihat ajeg. Krisis-krisis kelembagaan yang menimpa berbagai segi negara kini selintas sudah terlewati setelah reformasi aparatur negara cukup panjang. Rejim baru ini bukan saja selesai mencari bentuk, namun kini sudah mulai terlihat diskursus-diskursus yang dikembangkan dari para pendukung dan pegawainya untuk mempertahankan kekuasaan.

    Sepintas, ia terlalu kokoh untuk dirobohkan anak-anak kemarin sore (baca: mahasiswa) seperti yang menimpa Soeharto dan Orde Barunya. Dan ini bukan berarti tidak ada upaya untuk melakukannya, berbagai kelompok mahasiswa telah mencoba dan membangun ke arah ini. Namun, metode pembangunan gerakan, strategi dan taktik yang digunakan, hingga slogan-slogan dan nyanyian yang disuarakan, hampir semuanya bentuk-bentuk daur ulang dari pengalaman gerakan politik pro demokrasi tahun 1990an dan dari inspirasi tahun 1998.

    Mirip Orde Baru, sedari awal retak-retak di tembok rejim baru ini sudah ada. Pada awal Orde Baru, retak-retak itu diplaster dengan penyederhanaan sistem perpolitikan untuk membredel ketidakstabilan akibat terlalu banyak pengelompokan elit dalam parlemen. Perlu diingat bahwa Orde Baru juga dimulai dengan pembasmian akar-akar penyebaran kekecewaan di masyarakat, dengan penghancuran organisasi perempuan, petani, buruh, pemuda, dan partai politik yang dicap ‘komunis’.

    Pada rejim baru ini, jalan ceritanya sedikit berbeda. Pembentukkan kembali atau rekonstitusi kekuasaan dimulai dengan kondisi legitimasi negara yang begitu rendah. Impotensi struktur negara yang dibangun Orde Baru begitu terlihat dan klaim-klaim keberhasilan ekonomi yang menjadi legitimasi kekuasaannya meluruh dihantam Krisis Ekonomi 1997. Segala sesuatu yang sebelumnya dikontrol Orde Baru seperti bergerak di luar kendali rejim. Kondisi demikian menyebabkan penggunaan kekerasan sebagai metode bertahanpun tidak manjur karena mereka yang dijadikan sasaran kekerasan menolak patuh, meminjam judul salah satu puisi Wiji Tukul. Perjuangan untuk menundukkan pemberontakkan mental ini yang menyebabkan munculnya istilah “Reformasi Kebablasan” yang disuarakan mereka yang bekerja pada pemerintahan, atau merupakan bagian dari elit politik konservatif.

    Sulitnya perjuangan untuk “mengendalikan” rakyat yang telah menjadi lebih artikulatif dari sebelumnya, setidaknya telah memungkinkan dua hal terjadi. Di satu sisi, peningkatan kemampuan rakyat untuk melakukan penuntutan kepada negara membuat rentannya pemerintahan dan kekuasaan terhadap kritik, bahkan belakangan muncul kritik yang datang dari sisi dalam pemerintahan. Inilah yang terjadi di masa pemerintahan Gus Dur dan kemudian pada pemerintahan Megawati. Praktek-praktek politik yang menelikung kepentingan rakyat (misal, penggelapan uang, kolusi untuk mempengaruhi kebijakan, skandal korupsi) yang sebelumnya “diterima” oleh kepasrahan rakyat, setelah 1998 menjadi kartu politik yang mematikan. Isu korupsi dan demonstrasi anti korupsi menjadi bagian dalam pertarungan, dan diserap oleh aturan permainan pada sistem pemerintahan dengan serangkaian reformasi hukum, di mana KPK adalah salah satu hasilnya.

    Di lain sisi, berada dalam sorotan dan bekerja di tengah ancaman terperangkap dalam kasus korupsi tampaknya juga berhubungan dengan semacam kesadaran anti rakyat dan obsesi mengendalikan hidup rakyat secara fisik dan mental di kalangan pengurus negara, yang dimanifestasikan dalam berbagai pernyataan-pernyataan hingga tindakan-tindakan politik hukum (undang-undang, peraturan daerah, baik yang sudah diberlakukan maupun yang masih berupa rancangan). Di level nasional, kita sudah melihat gatalnya aparatur hukum negara memberlakukan UU ITE dalam kasus Prita vs Omni Internasional, rancangan UU Rahasia Negara, pasal-pasal anti perempuan dan anti kebebasan berekspresi dalam UU Pornografi. Di level daerah, seiring dengan otonomi daerah, kita bisa melihat upaya-upaya mengontrol kebebasan rakyat melalui Perda-Perda bernuansa Syariah dan upaya-upaya penggunaan kekuatan-kekuatan koersif seperti yang kita saksikan dalam meningkatnya penggunaan Satuan Polisi Pamong Praja dalam menghadapi upaya-upaya bertahan hidup kaum miskin kota.

    Banyak komentator politik, terutama yang radikal, berpendapat bahwa relasi antara hal-hal di atas sebenarnya diwariskan Orde Baru. Argumennya mudah, para anggota elit ekonomi dan elit politik, baik di Jakarta maupun di provinsi-provinsi dan kabupaten-kota, dilahirkan oleh Orde Baru. Mereka sudah begitu terbiasanya dengan praktek-praktek kekuasaan Orde Baru, sehingga sulit untuk meninggalkannya. Buktinya juga cukup banyak, kita ambil contoh Keppres 80/2003 soal Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang berulangkali mengalami penambahan dan kini akan mengalami revisi, namun tidak kunjung menghentikan mencuatnya skandal-skandal korupsi setiap tahun.

    Argumen lainnya, yang seharusnya memasukkan hitungan argumen pertama tadi, berlandas pada sebuah adagium “pemerintah boleh berganti, tetapi negara kapitalis tetap berdiri” yang merupakan konsep politik Marxis. Pisau analisa ini mengupas lapis demi lapis argumen-argumen yang mengutamakan perjuangan damai melalui Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden dan posisi-posisi publik lainnya. Ia dengan tepat menunjukkan dalam reformasi di Indonesia, pergantian hanya di Presiden, Kabinet dan staf terdekat, dan tentunya anggota parlemen dan perubahan tersebut tidak mengubah struktur dan sifat dasar Negara Orde Baru. TNI walau telah dipisah dengan Polisi, tetap memiliki struktur-struktur pendudukan dengan Komando Teritorial.

    Namun, sangat terlihat mereka yang berkuasa saat ini, baik di pemerintah nasional maupun di pemerintah lokal, ingin segera menyatakan bahwa mereka sudah berubah, sudah “reformis”, dan kini melanjutkan “semangat reformasi”. Tentunya ini berhubungan dengan representasi kata “reformasi” di tingkat massa yang sering berarti pergantian pemegang kekuasaan. Dengan mengatakan bahwa aparatus negara saat ini sedang melakukan reformasi lanjutan, seperti spanduk-spanduk di kantor-kantor pemerintahan yang menyuarakan ”reformasi birokrasi”, maka tidak perlu ada lagi pergantian pemegang kekuasaan, pergantian rejim. Dengan kata lain, krisis politik berkepanjangan yang diwarnai dengan kesimpang-siuran aturan main, undang-undang dan peraturan daerah yang bertentangan, dan seterusnya dinyatakan sudah berakhir.

    Di sinilah letak persoalan Cicak vs Buaya: di satu sisi, ada semacam diskursus yang berkembang yang ingin menyatakan bahwa telah terjadi banyak perubahan positif di sektor-sektor pemerintahan. Walaupun begitu kenyataan di tingkat lokal dapat terus menerus dipakai sebagai landasan kritik yang mencuat untuk membuktikan kebalikan dari arah diskursus tersebut. Juga berhadapan dengannya, berbagai kritik berlandaskan pada kegagalan berbagai aspek dari proses pembangunan rejim baru dalam memenuhi tujuan-tujuan yang dijanjikan oleh apa yang dipersepsikan sebagai impian reformasi 1998.

    Sampai di sini, terlihat analisa kita berjalan biasa saja. Namun ketika melihat lebih dalam relasi antara klaim diskursus para pembangun rejim baru dengan apa yang dialami masyarakat ketika berhadapan dengan aparat negara, kebuntuan mulai terasa. Selain itu, mereka yang melaksanakan proyek-proyek demokratisasi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dihadapkan pada kenyataan bahwa klaim teoritik yang mengatakan bahwa semakin baik demokrasi akan menunjukkan semakin tinggi partisipasi politik, ternyata tidak terbukti. Meski Pemilu 2009 memiliki asumsi akses konstituensi yang lebih besar, kenyataan memperlihatkan angka golput yang tinggi.

    Persoalannya kemudian, jawaban atas kontradiksi-kontradiksi tersebut hingga saat ini bersifat normatif. Jika kita tengok komentator-komentator politik, kita akan segera melihat pembahasan normatif, benar/salah, dengan kalimat-kalimat seperti “Masyarakat sipil Indonesia masih lemah… ” Atau, “Dibandingkan Indonesia, negeri A memiliki…” Selama 11 tahun terakhir, analisis normatif mewarnai media besar dan hingga kini, manifestasi ide politik terbaik adalah demonstrasi jalanan menyerukan penggulingan kekuasaan. Kenapa terbaik? Karena kelihatannya selalu diulang-ulang pada masa Habibie, Gus Dur (berhasil), Megawati, dan kini SBY.

    Dari Pengamatan Menjadi Metode Analisa

    Jika kita tarik ke belakang, sebutlah 20-30 tahun ke belakang, kita akan melihat letupan-letupan sosial yang terjadi, seperti perlawanan mahasiswa 1974, 1978, dan 1990an, peristiwa Tanjung Priok, Gerakan Mahasiswa 1998, gelombang pemogokkan buruh 1998-1999, Peristiwa Semanggi I dan II, dan seterusnya menampakkan sebuah benang merah. Hampir semua mobilisasi kekuatan rakyat tersebut bermula dari hal-hal yang berkarakter lokal. Perlu dicatat, karakter lokal ini tidak berlawanan makna dengan “nasional”. Artinya, gerakan tersebut sangat spesifik, baik dari tema/isu maupun dari segi tempat dan waktu. Selain itu, selalu nampak juga kegagalan kelompok-kelompok radikal untuk membawa gerakan massa yang termobilisasi tersebut untuk perubahan mendasar pada sistem sosial, ataupun bahkan ke arah sistem politik yang benar-benar baru yang diimpikan mereka.

    Di sini kemudian terlihat bahwa diskontinuitas atau keterputusan justru merupakan faktor utama, bahkan di dalam pergerakan perlawanan tersebut. Kita bisa lihat dari perlawanan massa terhadap kekuasaan yang berada dalam isu-isu berbeda, munculnya karakter-karakter lokal pergerakan seperti kedaerahan dan etnis, kelas dan sektor masyarakat. Dan kita bisa lihat juga keterputusan dalam makna ditinggalkannya pengetahuan-pengetahuan yang diberikan oleh kekuasaan (Memasuki Era Tinggal Landas, Gemah Ripah Loh Jinawi, Stabilitas, Perempuan adalah Ibu Anak-anak Bangsa) dan diadopsinya pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya disensor kekuasaan (Pembantaian Rakyat di Aceh, Timor Leste dan Papua, “Peranan Wanita” lebih mirip dengan domestifikasi).

    Banyak kalangan menganggap hal ini tidak spesial. Konotasi yang berkembang pada makna ”moderasi”, ”spontanitas massa”, ”ekonomisme”, atau bahkan ”sosial demokrat”, berawal dari perjuangan tanpa akhir kelompok radikal dalam menghindari apa yang diasumsikan sebagai kemunduran-kemunduran pergerakan dan juga jebakan-jebakan sifat lokal dari pergerakan massa. Dengan kata-kata tersebut, penggalian atas penjelasan mengapa dan bagaimana ”massa” menjadi ”spontan” lebih banyak dipenuhi oleh pandangan-pandangan asumtif dan teoritik yang tingkat validitasnya rendah. Media massa juga tak kurang sumbangsihnya, ”amuk massa” menjadi kata yang cukup mematikan diskusi mengenai dinamika yang mempengaruhi seseorang, sekelompok orang, ataupun bahkan sebuah kelas sosial, bergerak menantang bentuk-bentuk kekuasaan yang sebelumnya mereka terima ataupun mereka dukung.

    Ada pula sebagian kalangan, terutama eks-aktivis mahasiswa 98, yang meyakini adagium “Di mana ada penindasan, di sana pasti ada perlawanan” (atau perumpamaan “Semut pasti melawan jika diinjak”). Repotnya, meskipun kadang terdengar heroik, kacamata seperti ini tidak banyak bisa menolong dalam mencari penjelasan penurunan kualitas dan kuantitas Gerakan 98 secara drastis di akhir 1999 ataupun “pilihan” rakyat pada Pemilu 2004 dan 2009. Paling maksimum, kita cuma dapat pemberitahuan dari berbagai pihak bahwa rakyat masih belum terdidik alias “bodoh”.

    Menariknya lagi, jika kita mencoba menggeret eksplorasi politik ini ke belakang, teori-teori politik dari penulis-penulis besar cukup mewarnai media dan buku-buku dalam satu dekade ini. Kebanyakan menawarkan penjelasan-penjelasan menyeluruh (holistik), jika tak ingin dibilang totaliter, atas krisis “multidimensi” yang melanda Indonesia. Mungkin karena kata “Multidimensi” inilah banyak orang tanpa sadar mencari jawaban puncak (ultimate answer) yang bisa menyelesaikan seluruh problematika “multidimensional” secara paralel di dalam teori-teori politik tadi. Ini bukan berarti bahwa teori-teori totaliter tadi tidak pernah memberikan arahan yang berguna dalam pengembangan metode analisa ataupun penyusunan strategi dan taktik politik. Marxisme, dengan segala aliran di dalamnya, adalah contoh yang baik untuk hal ini. Namun dalam situasi spesifik dan lokal, sering sekali teori-teori totaliter tersebut terpaksa harus dijungkirbalikkan, dikerdilkan oleh definisi-definisi, dilokalisasikan dan seterusnya, sehingga dapat bermanfaat dalam konteks spesifik dan lokal tadi. Perlu juga dilihat, bahwa teori-teori tersebut tidak berangkat dari pengetahuan-pengetahuan yang dikumpulkan dari pengalaman-pengalaman setempat.

    Artinya, kita memiliki dua jenis pengetahuan di sini. Pertama, sehubungan dengan absennya penjelasan soal “spontanitas”, kita bisa jadi menemukan banyak pengetahuan-pengetahuan di tingkat yang sangat lokal yang mungkin menjelaskan spontanitas, tetapi pengetahuan tersebut dikubur, disembunyikan, dibawa ke balik tabir oleh sistematisasi, organisasi. Belum tuntasnya nasib warga korban lumpur Lapindo, misalnya, dinyatakan tidak relevan dengan kesuksesan program-program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Grup Bakrie. Fakta bahwa 700 ribu pelajar SD putus sekolah setiap tahunnya tidaklah valid (meski masuk dalam iklan CSR Garuda Indonesia-Depdiknas) karena pemerintah telah membuat gratis Pendidikan Dasar dan Menengah Pertama. Statistik adalah salah satu contoh bagaimana bias kelembagaan dapat mengubur pengetahuan-pengetahuan seperti dampak kenaikan BBM yang lebih jauh dibandingkan dengan yang diperkirakan model matematis dan angka PHK yang lebih besar daripada data pemerintah. Contoh lainnya, studi komunikasi politik mengubur telanjangnya penggunaan koersi fisik di tengah kepercayaan bahwa rejim baru berkuasa ditopang oleh imaji.

    Jenis pengetahuan yang kedua adalah pengetahuan-pengetahuan yang sedari awal sudah didiskualifikasi sebagai sesuatu yang tidak penting, tidak ilmiah karena rendahnya tingkat sistematisasi penalarannya. Pengetahuan-pengetahuan ini menyeruak dalam pertarungan-pertarungan antara mereka yang ditundukkan dan mereka yang berkuasa. Kritik terhadap hubungan antara kekuasaan eksploitatif dan kemiskinan tidak akan muncul tanpa gerakan-gerakan perlawanan sektoral yang dilakukan bagian demi bagian buruh yang berserikat dan kaum miskin kota. Kritik atas hubungan ketidakadilan transaksi antara desa dan kota dengan tekanan untuk urbanisasi dan migrasi tidak akan muncul tanpa mengikuti kisah-kisah orang pedesaaan yang mencari peruntungan di kota ataupun menjadi buruh migran.

    Kedua jenis pengetahuan inilah yang disebut oleh Michel Foucault, dan kemudian dipinjam oleh Vandana Shiva, sebagai “subjugated knowledges”, atau pengetahuan-pengetahuan yang ditundukkan.

    Pertanyaannya kemudian bagaimana memposisikan keberadaan pengetahuan-pengetahuan ini dalam sebuah metode analisa politik? Bagaimana mereka dapat digunakan dalam refleksi tentang kekuasaan?

    Penelusuran keduanya, pengetahuan yang dikubur dan yang didiskualifikasi, dapat membuat kita mengetahui ingatan-ingatan akan pertarungan-pertarungan di waktu silam. Secara umum, kedua pengetahuan ini menjadi garis-garis besar agenda penelusuran asal-muasal (genealogi) bentuk-bentuk kekuasaan yang berlaku saat ini, untuk memperoleh kembali ingatan-ingatan dan pengetahuan-pengetahuan sejarah yang selama ini dikuburkan atau didiskualifikasi oleh kekuasaan dan sains (atau sains sebagai institusi?). Dan kemudian, pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat dimanfaatkan dalam taktik-taktik politik kontemporer.

    Jika kita hubungkan dengan perkembangan dua dekade terakhir di Indonesia, tergalinya pengetahuan dan ingatan mengenai pertarungan politik pada masa kepresidenan Soekarno menjadi komponen penting dalam kembalinya aksi massa sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap kekuasaan, seperti dieksplorasi oleh Max Lane dalam bukunya “Bangsa Yang Belum Selesai”. Mengedepankan kisah-kisah represi yang terjadi pada periode 1980an juga berperan penting dalam menghancurkan legitimasi kekuasaan Soeharto.

    Yang menarik, ketakutan atas bangkitnya pengetahuan dari masa silam juga terlihat dari para pendukung Rejim baru yang saya utarakan di atas. Belum hilang ingatan kita peristiwa pembatalan Kurikulum Sejarah Nasional Indonesia 2004 oleh Mendiknas Bambang Soedibyo dan pembakaran buku-buku sejarah berdasarkan kurikulum tersebut yang dipelopori oleh pejabat-pejabat negara seperti Walikota Depok Nurmahmudi Ismail. Contoh paling baru adalah pelarangan tayang film Balibo oleh Lembaga Sensor Film dengan alasan sensitivitas atas “luka-luka lama”.

    Mari kita kembali ke keberadaan 1.000.000 Facebookers pendukung Bibit-Chandra dan tekanan politik yang dihasilkannya. Sejuta suara yang sebenarnya belum terlihat jelas komitmen perjuangannya menunjukkan mereka melawan diskursus yang dikembangkan oleh para pembangun rejim bahwa reformasi telah terjadi. Dampaknya juga terlihat jelas, para pembangun rejim dengan cepat melangkah, namun seraya mencari justifikasi agar tidak terlihat mudah ditekan, untuk membalikkan situasi yang dialami Bibit dan Chandra. Tentunya, sambil juga mencari konsesi-konsesi yang bisa diperoleh.

    Jika contoh-contoh yang saya sebutkan bisa digunakan untuk menguji validitas peran pengetahuan tertundukkan dalam melawan kekuasaan, tampaknya sebuah langkah menuju analisa politik, analisa mengenai pertarungan kekuasaan, telah terjadi. Penggalian atau pengungkapan pengetahuan yang tertundukkan di hadapan khalayak luas memiliki peranan yang sangat kuat dalam perlawanan terhadap kekuasaan, dalam semangat “Melawan Lupa” mengembalikan ingatan-ingatan pertempuran terakhir, garis-garis demarkasi dalam konfrontasi-konfrontasi masa silam yang dalam masa kini disembunyikan oleh pengaturan-pengaturan fungsional ataupun penataan-penataan sistematik yang di(re)produksi kekuasaan.

    Lebih lanjut lagi, kita memperoleh semacam benang merah pertama dan sekaligus ekspresi yang bisa mewakili eksplorasi ini: pemberontakkan pengetahuan-pengetahuan yang ditundukkan (insurrection of subjugated knowledges).

    Tapi mengapa pengetahuan-pengetahuan ini harus memberontak untuk mendorong perlawanan terhadap kekuasaan? Apa yang sebenarnya menjadi pertaruhan, ketika kekuasaan mensistematisasikan pengetahuan ke dalam sains sambil menundukkan pengetahuan-pengetahuan yang bertentangan dengannya? Mengapa analisa-analisa tentang kekuasaan yang telah ada tidak mampu menciptakan agenda-agenda yang bisa membebaskan pengetahuan dari lembaga sensor dan lembaga sains dan pendidikan? Atau lebih luas lagi, karena kekuasaan merentangkan otot-ototnya juga ke dunia pengetahuan, apakah kita bisa menjabarkan aparatus-aparatus kekuasaan yang bekerja di berbagai tingkatan masyarakat, di dalam berbagai dunia kehidupan, dan dengan berbagai bentuk perpanjangan?

    “Ekonomisme”

    Hingga saat ini metode analisa atas kekuasaan yang mendominasi wacana politik berada dalam dua aliran besar. Pertama, aliran yang kini menjadi arus utama transisi demokratik di Indonesia. Kita tentu bisa melihat bahwa andalan utama para pembangun rejim dan juga kalangan “masyarakat sipil” yang mendorong reformasi adalah slogan “Penegakkan Hukum” atau “Rule of Law”. Kita melihat bahwa dengan semangat ini, pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan semua mengarah pada proses legislasi, penerbitan undang-undang. Sejak 1998, sudah ratusan undang-undang yang diterbitkan yang mengatur berbagai aspek kekuasaan.

    Landasan berpikir aliran ini berada dalam kerangka hak dan kewajiban di mana hubungan ideal dari keduanya diatur oleh “kontrak sosial”. Masyarakat menyerahkan sebagian haknya kepada sebuah lembaga ataupun seseorang agar semua dapat diatur demi kepentingan bersama. Artinya, aliran berpikir ini mengasumsikan kekuasaan sebagai sesuatu yang dapat dimiliki seperti barang dagangan. Karena itu, kekuasaan dapat diserahterimakan atau dirampas, sebagian ataupun seluruhnya, melalui tindakan hukum ataupun tindakan yang dianggap sah, dengan penyerahan (pertukaran) sesuatu yang lain atapun berdasarkan sebuah kontrak. Itulah sebabnya dalam memandang proses pembentukkan kekuasan, “kontrak sosial” menjadi fokus pembahasan yang klasik. Melihat langgam perubahan yang dipengaruhi pemikiran ini, tidaklah salah jika saya meminjam kembali label yang diberikan Foucault kepada aliran pemikiran ini “liberal-yuridis”.

    Aliran besar kedua berangkat dari konsepsi umum Marxisme tentang kekuasaan. Kritik Marxis atas Orde Baru sangat berpengaruh dalam proses panjang yang mengakhiri kekuasaan Soeharto. Meskipun dilarang oleh Orde Baru, didiskualifikasi oleh para intelektual liberal, komponen-komponen pengetahuan atas sistem kapitalisme dalam hubungannya dengan kekuasaan Orde Baru yang militeristik terserap dalam tema-tema yang diusung oleh gerakan sosial. Kritik Marxis juga sangat berpengaruh dalam gerakan anti-neoliberalisme mulai awal dekade 2000an. Pada saat itu, kritik ini berhadapan terbuka dengan konsepsi liberal-yuridis yang memfasilitasi berbagai undang-undang memberikan akses lebih besar kepada perusahaan-perusahaan besar dalam sumber daya alam, keuangan, kelembagaan dan seterusnya (baca: liberalisasi ekonomi).

    Konsepsi Marxisme mengenai kekuasaan bertitik berat pada teori negara yang merupakan fungsi dari kehidupan ekonomi (produksi-konsumsi sebuah masyarakat). Kekuasaan berperan baik untuk melanggengkan relasi-relasi produksi dan juga untuk mereproduksi sebuah dominasi kelas yang dimungkinkan oleh perkembangan kekuatan-kekuatan produksi dan oleh cara-cara kekuatan-kekuatan tersebut dikuasai. Artinya, kekuasaan politik memiliki raison d’etre dan prinsip-prinsip atas bentuk konkrit dan cara kerjanya dalam kehidupan ekonomi.

    Meski terdapat banyak perbedaan-perbedaan mendasar, ada kesamaan dalam dua aliran ini. Kedua-duanya menghubungkan erat gerak kekuasaan dengan ekonomi, dengan kata lain memiliki “ekonomisme”. Karena terlalu terkait ataupun dimodelkan dari kehidupan produksi-pertukaran-konsumsi, keduanya kehilangan makna “politis” di saat digunakan sebagai panduan analisa politik dalam dunia di mana teknologi kekuasaan telah berkembang jauh setelah Perang Dunia II. Di sinilah terletak benang merah kedua dari eksplorasi ini.

    Keterbatasan-keterbatasan segera menyeruak ketika mencoba menganalisa pertarungan kekuasaan, seperti dalam menganalisa kemenangan Fasisme dan Stalinisme, pemikiran liberal-yuridis maupun Marxis dipaksa menerbitkan definisi-definisi baru yang mereduksi klaim-klaim koherensi yang mereka usung. Mengapa? Kemenangan Fasisme dan Stalinisme memperkenalkan pada dunia berbagai teknik dan teknologi kekuasaan yang lebih canggih. Sistem pendidikan universal dan nasional, media massa yang sudah lengkap teks, audio, dan visual, teknik sensus dan polling, penggunaan terror negara yang lebih sistematis, dan lain sebagainya, berkembang lebih cepat daripada ide-ide dan metode menganalisa kekuasaan.

    Dan jika kita melihat perdebatan yang terjadi antara dua aliran pemikiran mengenai satu moment politik, seperti hubungan antara Krisis Cicak vs Buaya dan isu Bank Century, kita bisa lihat begitu banyak “blindspots”. Ambillah contoh soal Anggoro dan kawanan Makelar Kasus, imajinasi popular yang terbentuk oleh media dan juga manuver pejabat negara adalah adanya sekelompok predator yang menguasai sistem hukum. Sangat sedikit yang bertanya, jangan-jangan keseluruhan sistemnya memang lahir sebagai sistem para pemangsa. Puluhan tahun institusi hukum berdiri, dengan serangkaian perkembangan internal, bukankah mungkin saja bahwa mereka yang bekerja di dalam lembaga tersebut berkepentingan untuk membentuk sistem yang menguntungkan mereka, memudahkan mereka untuk “memangsa”, dan melanggengkan sistem “pemangsaan” ini? Tentunya ini bukan persoalan kebohongan atau kemunafikan, namun kelemahan metodologis.

    Akibatnya, meskipun keduanya bermanfaat dalam batas-batas ekspresi perlawanan mereka, tanpa sadar perbedaan ideologis tidak menghalangi penggunaan kedua cara berpikir ini. Ketika kaum liberal berada di garis depan melawan tirani sistem monarki, kelompok-kelompok (neo)liberal masa kini menggunakan kekerasan negara sebagai alat melancarkan jalan mereka. Di masa revolusi, partai kiri meneriakkan “pembebasan rakyat”, namun pimpinan-pimpinan partai-partai Stalinis seperti memuja disiplin keras berdasarkan hukum atau AD/ART dan melarang pemogokkan buruh atas nama revolusi kelas pekerja. Dan bukan rahasia juga negara-negara yang mengusung kedua ideologi ini, melanggar kredo mereka yang seharusnya menjaga kehidupan manusia dan kemanusiaan.

    Persoalannya kemudian, apakah bisa kita menganalisa kekuasaan selain dari pendekatan “ekonomis”? Mungkin kita perlu formulasikan lebih lanjut pertanyaan ini:

    Pertama, apakah kekuasaan selalu nomor dua setelah ekonomi? Apakah tujuan akhirnya selalu ditentukan oleh ekonomi? Apakah tujuan keberadaannya (raison d’etre) dan peranannya pada intinya untuk mengabdi kepada ekonomi? Apakah ia dirancang untuk mendirikan, menguatkan, menjamin keberlangsungan, dan mereproduksi hubungan-hubungan yang menjadi bagian ekonomi dan merupakan esensi bekerjanya ekonomi?

    Kedua, apakah kekuasaan dimodelkan dari komoditas? Apakah ia sesuatu yang dapat dimiliki ataupun diperoleh, yang dapat diserahkan melalui kontrak maupun dengan kekuatan paksa, yang dapat diasingkan maupun dibangkitkan kembali, yang beredar dan menyuburkan satu daerah tetapi juga dapat menghindari daerah lainnya?

    “Politik adalah kelanjutan dari perang”

    Pada masa ide ini disebarluaskan (1975) belum terlalu banyak alat-alat yang dapat memeriksa kesahihannya. Namun, sebelum kita menelusuri perkembangannya lebih lanjut dalam rentang waktu 34 tahun, ada baiknya kita memulai dua jawaban langsung yang muncul pada saat itu.

    Pertama, kekuasaan bukanlah sesuatu yang diberikan, dipertukarkan, ataupun diambil kembali. Ia adalah sesuatu yang dilakukan dan ia hanya berada atau eksis dalam tindakan. Kedua, kekuasaan juga bukan hanya keberlangsungan dan keterbaruan relasi-relasi ekonomi, tetapi paling utama ia adalah relasi-relasi kekuatan.

    Ini memberikan pertanyaan lanjutan kepada kita. Apa yang dimaksud dengan penggunaan kekuasaan? Apa yang menjadi mekanismenya?

    Kenyataan saat ini, melihat penggunaan kekuasaan yang nyata dirasakan rakyat, kita bisa berkesimpulan bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang menindas. Namun tidak ada yang baru di sini. Hegel, Freud dan Reich telah menyatakannya di waktu silam. Apakah analisa “non-ekonomis” tentang kekuasaan bermakna sebagai analisa mengenai mekanisme-mekanisme penindasan?

    Selanjutnya, jika kekuasaan adalah bentuk pelaksanaan dan penggunaan hubungan kekuatan, ataupun pemaksaan, daripada menganalisa kekuasaan dalam bentuk-bentuk kontrak, penyerahan, pengasingan, ataupun daripada dalam bentuk-bentuk fungsional seperti reproduksi hubungan-hubungan produksi, bukankah lebih baik kita menganalisanya, terutama dalam bentuk konflik, konfrontasi, dan perang? Setidaknya ini memberikan alternatif dari hipotesa pertama (kekuasaan adalah penindasan) dan menemukan hipotesa kedua: Kekuasaan adalah Perang. Jika Clausewitz dikenal dengan kalimat “Perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara-cara lain”, kita memulai analisa ini dengan perspektif “Politik adalah perang dengan cara-cara lain.”

    Pembalikan Clausewitz ini memiliki tiga makna. Pertama, memang benar bahwa keputusan politik menghentikan perang, namun kekuasaan itu sendiri berdiri di dalam dan melalui perang. Politik menerbitkan dan mereproduksi ketidakseimbangan kekuatan yang muncul dalam perang.

    Kedua, perjuangan politik haruslah ditafsirkan sebagai kelanjutan dari perang, di mana pihak-pihak yang menang dan kalah tetap berada dalam posisi saling menyerang, saling berupaya melemahkan dan menggeser kesetimbangan kekuatan demi keuntungan masing-masing.

    Ketiga, keputusan akhir hanya dapat diperoleh dari perang. Perubahan-perubahan yang lebih permanen, yang tidak mudah dijungkirbalikkan, hanya didapat dari perang. Dalam hal ini, kita bisa lihat penegakkan kekuasaan, pendirian rejim baru hanya bisa didapat dan mengikuti hasil-hasil pertempuran terakhir dari perang. Dan ini juga bermakna, kenyataan politik sebagai kelanjutan dari perang, akan berakhir jika perang baru muncul.

    Membuat Analisa Politik Menjadi Politis

    Tantangannya kemudian bagaimana menantang teori-teori politik arus utama, menantang skema analisa politik yang menjadikan hukum sebagai landasan kekuasaan?

    Sekarang, marilah kita mencoba menjabarkan beberapa kesimpulan sementara.

    Pertama, sejarah perubahan dalam suatu masyarakat diwarnai oleh diskontinuitas. Dan dibandingkan pergeseran linear yang selalu dikatakan oleh historiografi yang diajarkan sistem pendidikan kita, yang sering terjadi adalah berantakannya sistem pengetahuan arus utama sebagai akibat pemutusan atau disrupsi oleh pengetahuan-pengetahuan baru yang sering kali memang tidak menjelaskan secara keseluruhan (totalitarian). Maknanya, bukanlah kerja teoritik yang mendorong perubahan sosial, namun pengetahuan-pengetahuan yang dibebaskan melalui kerja-kerja teoritik dan yang mencuat secara langsung dari pengalaman bersama lah yang membongkar sains yang menegakkan kekuasaan.

    Kedua, karena kekuasaan memiliki efek-efek pada sains, teori-teori tentang kekuasaan yang disirkulasikan oleh sistem sosial memiliki bias kekuasaan. Artinya, untuk mempelajari kekuasaan juga membutuhkan pemberontakkan pengetahuan politik. Kita membutuhkan pengungkapan pengetahuan-pengetahuan yang kini disembunyikan oleh sistematisasi ilmu politik, ilmu hukum dan seterusnya.

    Ketiga, ketika kita ingin keluar dari skema ekonomistis dalam menganalisa kekuasaan, dan beranjak ke pendekatan yang membahas kekuasaan sebagai pelaksanaan hubungan-hubungan kekuatan (atau pemaksaan), kita menemukan ada dua sistem yang mungkin dapat diaplikasikan. Yang pertama, penindasan merupakan mekanisme kekuasaan. Yang kedua, hubungan-hubungan kekuasaan berlandaskan pada benturan mirip peperangan antar kekuatan-kekuatan.

    Sistem yang pertama, jika kita lihat, berangkat keyakinan para pemikir Eropa abad 17 yang disuarakan Lord Acton tahun 1887: “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutly.” Sumbernya tentu adalah pemikiran politik liberal-yuridis, yang berasumsi bahwa kekuasaan itu bisa diserahkan dengan kontrak sebagai kerangka kekuasaan politik. Ketika kekuasaan melanggar batas, pelanggaran itu disebut penindasan. Kekuasaan menjadi persoalan sah atau tidak sah (legitimate atau illegitimate).

    Sistem yang kedua, berangkat dari tanda-tanda dari pemberontakkan pengetahuan-pengetahuan yang ditundukkan, yang masih perlu diuji dan dieksplorasi lebih jauh. Posisinya adalah, represi bukanlah berhubungan dengan pelanggaran kontrak sosial, namun adalah implementasi hubungan kekuatan yang berkepanjangan. Karena itu, kekuasaan menjadi persoalan perlawanan dan penyerahan.

    Sebenarnya agak menarik ketika melihat dua sistem ini ternyata bukan tidak terdamaikan. Malahan, memiliki semacam hubungan logis. Represi merupakan hasil politik dari perang, sedangkan penindasan adalah hasil dari penyalahgunaan kedaulatan dalam ranah hukum. Dan ketika kita mengamati pertarungan politik dengan segala dinamika dan eskalasi yang terjadi, kita bisa lihat bagaimana sah atau tidaknya suatu kebijakan, kursi politik, atau tindakan dijadikan sebagai landasan klaim untuk memulai pertarungan. Rasa keadilan/ketidakadilan menjadi obyek manipulasi mereka yang bertarung. Akan tetapi, begitu pertarungan dimulai, begitu sumber daya dimobilisasi untuk memenangkannya, isu sah atau tidak sah, ataupun rasa adil dan tidak adil tidak lagi menjadi perbincangan (selain untuk merekrut lebih luas sumber daya). Kita malah melihat bahwa strategi dan taktik menjadi diskusi yang dominan di masing-masing kekuatan yang bertarung. Kita melihat teknik dan teknologi berperan besar dalam kemenangan dan kekalahan.

    Beberapa Catatan

    Jika kita melihat kembali perkembangan politik Indonesia, khususnya dalam Krisis Cicak vs Buaya yang kini berkembang menjadi Krisis Century, dengan kacamata “politik adalah kelanjutan dari perang”, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan dalam eksplorasi ini.

    • “Penyalahgunaan wewenang/kekuasaan” seperti korupsi dan kriminalisasi bukanlah masalah utama dalam krisis ini, tetapi adalah simptom atau keretakkan-keretakkan, tanda-tanda problem mendasar dalam rejim baru. Krisis politik ini berhubungan dengan baru berdirinya sebuah rejim, yang mendaurulang keluaran-keluaran Orde Baru. Peristiwa-peristiwa seperti yang dialami Prita, JJ Rizal (dianiaya Polres Depok), dan beberapa korban lainnya menunjukkan karakter sesungguhnya dan asal muasal rejim baru ini. Selain itu, seperti ada semacam keinginan untuk menyiangi perangkat-perangkat yang sebenarnya aksesoris demokrasi dan bukanlah barometer yang baik seperti KPK, selayaknya benalu yang mengganggu agenda-agenda yang menjadi kepentingan para pembangun rejim baru ini.
    • Di sisi lain, kritik-kritik baru, dan menariknya di luar arus utama pergerakan politik, bermunculan dan mendorong tipe-tipe partisipasi politik baru, seperti Facebook dan pengumpulan koin untuk Prita. Kalau dilihat, kritik-kritik ini sama sekali tidak membutuhkan keabsahan dari teori-teori besar untuk menemukan dirinya dalam tindakan politik. Mereka juga tidak dibangun dari pola pergerakan politik yang membutuhkan pengorganisasian massa seperti partai politik ataupun gerakan mahasiswa. Kritik-kritik ini bersifat lokal, dari tempat maupun waktu, dan mendorong tindakan yang terbatas dan tidak membutuhkan komitmen partisipasi jangka panjang.
    • Klaim-klaim demokratik yang diusung rejim baru kini dipatahkan oleh kritik-kritik lokal, spontanitas-spontanitas yang menyuarakan pengetahuan yang dialami berbagai bagian rakyat. Ini bermakna bahwa ada kondisi-kondisi tertentu yang sebelumnya tidak terlalu disadari oleh banyak pengamat politik yang mengedepankan kesimpulan bahwa kemenangan SBY disebabkan oleh pembangunan imaji yang kuat. Meski itu mungkin saja bagian dari strategi yang diambil oleh tim sukses SBY, namun munculnya kritik-kritik ini menunjukkan bahwa kesimpulan ini tidak sepenuhnya benar. Pengaruhnya cukup besar terhadap dinamika pertarungan politik seputar berdirinya rejim baru. Petinggi-petinggi dan para pembangun rejim merasa mendapatkan tekanan untuk bertindak, dan guliran dari fenomena-fenomena ini ternyata membuka lapangan-lapangan pertarungan politik baru. Perlu dicatat, pemerintah pertama rejim baru ini adalah pemerintah tercepat yang berada dalam posisi terkepung (embattled), dan pengepungan terjadi bukan berawal dari lawan-lawannya.
    • Kerangka berpikir liberal-yuridis lebih banyak berperan untuk menghanyutkan mereka yang dilibatkan dalam pertarungan dibandingkan untuk melihat gambar yang lebih besar maupun melihat pengetahuan-pengetahuan yang bisa dibebaskan untuk menghantam kekuasaan yang berlangsung. Perlu diingat bahwa kerangka ini bukan hanya dianut oleh kelompok liberal, berbagai kelompok kiri juga malah mendasarkan narasi taktis yang mereka usung dari kerangka ini.