Catatan kuliah Michel Foucault “Il faut défendre la société”
14 Januari 1976, College de France, Paris.
Catatan pembelajaran saya untuk bab pertama buku ini bertanggal 9 Desember 2009. Hampir tujuh tahun untuk benar-benar kembali melihat corat-coret yang telah dibuat mengenai bab ini (saya telah mengunggahnya di situs scribd namun situs tersebut telah mengganti syarat dan ketentuannya). Coretan tersebut tentunya masih sangat membantu resonansi pembelajaran saya ini dalam kehidupan kontemporer, juga membantu proses pemahaman kita atas ide-ide analitis yang disampaikan oleh Foucault. Ini tentunya bukan untuk memberikan penjelasan teoritik atas struktur ataupun peristiwa sosial di mana resonansi tersebut ditemukan. Yang diinginkan adalah pemeriksaan apakah metode yang ditawarkan dapat membantu dalam melakukan analisis atas fenomena kekuasaan yang berlangsung.
Dalam catatan pembelajaran sebelumnya (Pemberontakkan Pengetahuan Melawan Rejim Baru), resonansi dari kuliah pertama 7 Januari 1976 tersebut pada kelanjutan pembangunan rejim di masa pemerintahan Yudhoyono-Boediono (2009-2014). Meski mendapatkan dukungan elit dan populer, pemerintahan tersebut terus menerus diterpa oleh berbagai angin ribut dan badai politik yang hampir semua dimulai dari pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya terlalu lokal, sulit ditentukan keterhubungannya dengan pengetahuan lokal lainnya, seperti pengalaman masing-masing rakyat dalam pencabutan subsidi BBM di mana dampaknya berada di luar taksiran model matematika pemerintahan saat itu. Jenis pengetahuan lainnya yang turut mengundang angin ribut politik adalah pengetahuan-pengetahuan yang didiskualifikasi sebagai “tidak ilmiah”, tidak memenuhi syarat sebagai landasan kebijakan pemerintah, seperti bukti-bukti yang dibawa rakyat dalam memprotes kebijakan pemerintah kedua jenis pengetahuan ini, yang disebut “subjugated knowledge”, dapat saja dan bahkan terjadi menyeruak kepada publik dan menjadi sumber angin ribut politik pada masa itu. Karenanya disebut pemberontakan pengetahuan (“insurrection of the subjugated knowledge”).
Kita telah tiba pada semacam persimpangan untuk meninggalkan atau melanjutkan “ekonomisme” dalam menganalisa kekuasaan. Perkembangan teknologi kekuasaan terlihat terlalu kompleks untuk dianalisa melalui kacamata “ekonomisme” yang mengandaikan kekuasaan adalah hasil dari transaksi (teori kontrak sosial) maupun sebatas alat produksi dan reproduksi relasi ekonomi kapitalisme (konsepsi umum Marxisme tentang kekuasaan). Keteteran dalam menganalisa ini terlihat dalam kegagalan pemikiran-pemikiran tersebut dalam memberi inspirasi untuk menggagalkan kebangkitan Nazisme maupun Stalinisme. Di Indonesia sendiri, para pemikir liberal tahun 1960an dengan pendekatan kedaulatan/hak gagal menganalisa kekuasaan yang berlangsung pada masa kepresidenan Soekarno yang mereka anggap otoriter/diktator dan dengan naif mendukung dan bekerja sama dengan para pengembang teknologi anti kebebasan sipil.
Saya merasa agak beruntung dalam melanjutkan bagian kedua eksplorasi Foucault dan Kekuasaan menemukan contoh praktisnya pada saat itu. Pertama, dilarangnya pemutaran film Balibo oleh Lembaga Sensor Film. Kedua, masih soal breidel-membreidel, Kejaksaan Agung baru saja memutuskan pelarangan lima buku atas nama ketertiban umum.
Sebenarnya bukan karena dua peristiwa itu menunjukkan represifnya pembangunan rejim (yang pada saat itu baru dilanjutkan) yang saya jelaskan dalam catatan pertama, tetapi justru contoh tersebut ditunjukkan di saat berbincang-bincang dengan kawan-kawan yang terlibat dalam (embrio) gerakan mencabut wewenang pelarangan buku pada saat itu. Setidaknya terdapat dua posisi dalam memandang persoalan ini. Di satu sisi, ada yang berpandangan bahwa segala bentuk pelarangan buku (dan juga tentunya sensor dalam berbagai bentuk media) harus ditolak. Masyarakat berkedaulatan untuk menentukan pandangan-pandangannya mengenai sebuah persoalan. Di sisi lain, contoh-contoh naiknya Nazi di Jerman atau genosida di Rwanda dan Burundi yang mengandalkan buku dan media massa mengisyaratkan bahwa ada hal-hal tertentu yang harus dibatasi melalui kekuasaan Negara.
Studi geopolitik yang lebih mendalam, seperti yang dilakukan oleh Online Encyclopedia of Genocide dalam melihat kasus Rwanda, memperlihatkan bahwa relasi antara hatespeech dan genosida bukanlah sesuatu yang langsung. Ternyata masih ada beberapa hal lain yang jauh lebih signifikan dan jauh lebih berpengaruh dibandingkan media ataupun buku. Posisi kekuasaan, kerakusan, representasi dari konflik di masa silam, dendam dan faktor-faktor lain ternyata menjadi penyebab dominan dibanding hatespeech yang disebar media. Dinamika mobilisasi lokal juga lebih besar pengaruhnya dalam rentetan kekejaman yang terjadi.
Kembali ke pendekatan kedaulatan hak dan turunannya teori kontrak sosial, yang kini menjadi sumber ide berbagai tuntutan gerakan Hak Asasi Manusia, kedua posisi yang disebut di atas terlihat secara bersamaan bisa benar sekaligus salah. Artinya, jika kita berkehendak untuk membangun sebuah analisa atas rejim baru tadi, sangat mungkin teori kedaulatan/hak memiliki keterbatasanketerbatasan. Dan kini dari dunia di luar penjelajahan literatur, pengetahuanpengetahuan lokal mengenai praktekpraktek terus bermunculan, selalu memberi tantangan terbuka atas teori kedaulatan/hak dan segala aplikasi turunannya dalam analisa politik.
Dalam catatan sebelumnya, muncul sebuah hipotesa yang sekaligus juga sebuah pertanyaan dalam melakukan analisa politik: Dapatkah kita temukan melalui model peperangan, sebuah prinsip yang dapat membantu kita memahami dan menganalisa kekuasaan politik, menerjemahkan kekuasaan politik dalam bentuk bentuk perang, pergulatan, dan konfrontasi?
Membongkar Akar Kedaulatan
Untuk memulai, perlu dicatat bahwa eksplorasi ini memiliki “bias” Barat yang cukup besar. Studi yang dilakukan Foucault soal kekuasaan memang sedari awal dipaku pada perkembangan kekuasaan di Eropa, karena itu kehatihatian juga diperlukan terutama untuk mencerna penjelasan-penjelasan kesejarahan yang jelas berbeda perkembangannya di Indonesia. Namun, kita tetap dapat menjadikan eksplorasi ini sebagai landasan pengembangan analisa-analisa politik yang baru, karena hubungan-hubungan kolonial yang terjadi selama ratusan tahun telah memperkecil pengaruh perkembangan kekuasaan yang terjadi sebelum penjajahan Eropa dan mengimpor (tentunya dengan berbagai modifikasi kolonial) perkembangan kekuasaan yang lahir di Eropa.
Menurut Foucault, perkembangan pemikiran sistem hukum pada esensinya terpusat kekuasaan raja, bahkan sejak Abad Pertengahan. Sistem hukum dikembang-tumbuhkan atas perintah kekuasaan raja, selain demi kepentingan kekuasaan tersebut, dan untuk dijadikan instrumen kekuasaan ataupun penegak legitimasi kekuasaan itu. Pergulatan kekuasaan di Eropa pada abad-abad selanjutnya memperlihatkan berubahnya struktur dan sistem hukum dari mengabdi kepada kekuasaan raja sekaligus melegitimasinya menjadi berhadapan dengan kuasa kerajaan. Akan tetapi letak pertaruhannya tetaplah tentang kekuasaan raja. Pada kelahiran monarki konstitusional Inggris, telah dikenal Magna Carta yang dituliskan untuk mengatur hak dan kewajiban antara raja dan para bangsawan sebagai awal digunakannya hukum untuk membatasi kekuasaan raja. Singkatnya, baik sebagai alat raja atau pun berhadapan dengan raja, struktur konseptual hukum Barat tetaplah soal raja: hak-haknya, kekuasaannya dan batas-batas yang mungkin dari kekuasaannya.
Pada makna pertama, kekuasaan raja harus ditunjukkan sebagai kuasa yang tertanam di dalam jubah hukum. Bahwa raja adalah tubuh hidup dari kedaulatan dan kekuasaannya, secara utuh sejalan dengan sebuah hak dasar. Pada makna kedua, kekuasaan raja harus ditunjukkan sebagai kuasa yang harus dibatasi. Kekuasaan tersebut harus tunduk kepada aturan-aturan tertentu. Dan jika kekuasaan tersebut ingin menjaga legitimasinya, ia harus dijalankan dalam batas-batas tertentu.
Peran dari teori hak, simpul Foucault, sejak abad pertengahan adalah menentukan legitimasi kekuasaan, dengan kata lain persoalan utama teori hak adalah problem kedaulatan. Dengan demikian, teori hak (bahasa kerennya saat ini: supremasi hukum) merupakan payung untuk serangkaian diskursus dan teknik untuk menggantikan dan menghapuskan dominasi dengan dua hal: hak-hak sah dari yang berdaulat dan kewajiban hukum untuk mematuhinya.
Pada tahun-tahun sebelumnya, Foucault telah membelejeti “hal-hal kecil” terkait dengan kekuasaan. Hal ini ia lakukan untuk membalikkan arah umum analisis dari teori hak sejak Abad Pertengahan: dari penguraian persoalan-persoalan kedaulatan dan legitimasi menjadi pembelejetan fakta-fakta dominasi dalam seluruh brutalitas dan kerahasiaannya. Ini menunjukkan bukan hanya teori hak (hukum?) adalah instrumen dominasi tetapi juga bagaimana, sampai di titik mana, dan dalam bentuk apa hukum menjadi kendaraan dan menjalankan relasi-relasi yang sebenarnya bukan relasi kedaulatan melainkan relasi-relasi dominasi.
Foucault menggarisbawahi bahwa ia tidak hanya bicara hukum sebagai perangkat peraturan tertulis (perundang-undangan) tetapi juga keseluruhan aparatus, kelembagaan, dan pengaturan yang melaksanakan hukum. Dan mengenai dominasi, yang dimaksud adalah bukan fakta besar dari “sebuah” dominasi masif dari seseorang atas yang lainnya, ataupun dari sekelompok terhadap kelompok lainnya. Foucault bicara tentang berbagai wujud dominasi yang dapat berlangsung di dalam sebuah masyarakat. Jadi bukan hanya sang Raja dalam posisi sentralnya, tetapi juga para subyek/warga dalam relasi timbal-baliknya. Bukan hanya kedaulatan dalam jubah khususnya (perundang-undangan, kelembagaan hukum), tetapi juga berbagai penundukkan (subjugation/assujettissement) yang berada dan berjalan di dalam tubuh sosial (masyarakat).
Koridor Metodologis
Dengan sistem hak dan sistem yuridis menjadi kendaraan permanent dari relasi-relasi dominasi, dari teknik-teknik penundukkan dengan berbagai bentuk, Foucault meyakini bahwa teori hak haruslah dilihat dari sisi berbagai prosedur penundukkan Yang dijalankannya. Melihat hak dari sisi legitimasi yang harus ditetapkan malah akan menghambat analisis kekuasaan. Bagi Foucault, kini persoalannya adalah bagaimana menerabas atau menghindari problem tersebut. Karena itu dibutuhkan sebuah koridor metodologis yang akan dipaparkan dalam poin-poin berikut ini.
Pertama, tujuan kita bukanlah menganalisa bentuk-bentuk kekuasaan yang absah dan berdasarkan peraturan, yang memiliki sebuah pusat tunggal. Bukan juga untuk menganalisa mekanisme umumnya ataupun efek-efeknya. Kita akan menganalisa pada titik-titik terjauhnya, dalam bentuk-bentuk dan kelembagaan yang paling terlokalisir. Terutama di mana kekuasaan tersebut melanggar aturan-aturan hak yang menata dan membatasinya.
Kita harus melihat bagaimana praktik-praktik tersebut tertanam di dalam lembaga-lembaga, terwujudkan dalam teknik-teknik kuasa dan menjalankan berbagai instrumen intervensi material yang kadang-kadang menggunakan kekerasan. Sebagai contoh, daripada membahas di mana atau bagaimana kekuasaan untuk menghukum mendapatkan dasarnya dalam kedaulatan, Foucault memilih untuk melihat bagaimana hukuman ataupun kekuasaan untuk menghukum mewujudkan dirinya dalam berbagai lembaga lokal, regional, material. Intinya, kita membidik di mana pelaksanaan kekuasaan untuk menghukum menjadi semakin tidak yuridis.
Kedua, tujuannya adalah bukan menganalisa kekuasaan dari dalam (kepemilikan, maksud dan tujuan), tetapi menganalisanya dari wajah luarnya. Dalam praktik-praktik nyata dan efektif di mana kekuasaan berhubungan langsung dengan obyek kuasanya, di mana kekuasaan menanamkan dirinya dan menghasilkan efek-efek nyata. Foucault di sini ingin melihat bagaimana berbagai wujud tubuh, kekuatan, energi, materi, hasrat, pemikiran dan lain sebagainya dibentuk secara perlahan namun pasti, nyata dan material menjadi subyek. Menyelidiki kejadian material dari penundukkan sebagai pembentukkan subyek jelaslah berlawanan dengan apa yang ingin dilakukan oleh Hobbes dalam Leviathan. Para ahli hukum atau dalam konteks Indonesia ahli tata negara, seperti Hobbes, melihat bagaimana terbentuknya sebuah kehendak ataupun bahkan tubuh tunggal dari berbagai wujud individu dan kehendak, meski digerakkan oleh sebuah ruh yang bernama Kedaulatan. Dalam skema ini, Leviathan sebagai sebuah manusia buatan, hanyalah sebuah gabungan atau koagulasi dari sekian banyak perorangan yang terpisah-pisah, yang disatukan oleh berbagai elemen pembentuk Negara. Namun pada kepalanya terdapat sesuatu yang membentuknya seperti itu, yaitu kedaulatan yang Hobbes sebut sebagai ruh dari Kedaulatan. Daripada menganalisa problem ruh utama tersebut, Foucault memilih mempelajari bagian-bagian pinggiran dan jamak yang sebenarnya dibentuk oleh efek-efek kekuasaan menjadi subyek.
Ketiga, kekuasaan bukanlah sebuah fenomena dominasi masal dan homogen. Yang dianalisis di sini bukanlah kekuasaan suatu individu di atas individu-individu lainnya, atau sebuah kelas sosial di atas kelas-kelas sosial lainnya. Kecuali dilihat dari posisi sangat tinggi di atas ataupun sangat jauh, kekuasaan tidaklah terbagi antara mereka yang memilikinya secara eksklusif dan mereka yang tidak memilikinya dan menjadi subyeknya. Kekuasaan berjalan dalam sirkulasi, rantaian dan jaringan. Perseorangan/individu adalah relay kekuasaan, mereka tidaklah diam ataupun menjadi target kekuasaan yang bersetuju dengannya. Kekuasaan bergerak melalui perorangan, bukan diterapkan atas mereka.
Menurut Foucault, adalah salah menilai perorangan sebagai nukleus elementer, atom primitif, ataupun berbagai materi yang diam di mana kekuasaan diterapkan. Ataupun perorangan sebagai sesuatu yang dihantam oleh kekuasaan yang merendahkan ataupun menghancurkan perorangan. Argumen Foucault, kekuasaan memungkinkan tubuh, perilaku, diskursus, dan hasrat diidentifikasikan dan dibentuk sebagai sesuatu yang perorangan (individual). Perorangan adalah produk pertama dari efek-efek kekuasaan. Artinya, kekuasaan bergerak melalui perorangan yang telah dibentuknya.
Keempat, meski kita dapat mengatakan, “Kekuasaan berjalan, bersirkulasi, membentuk jaringan” ataupun “Kita semua memiliki fasisme dalam kepala kita” atau bahkan lebih mendasar “Kita semua memiliki elemen-elemen kekuasaan dalam tubuh kita”, kita tidak dapat langsung menyatakan atau menyimpulkan bahwa kekuasaan itu adalah sesuatu yang terdistribusikan dengan baik, atau sesuatu yang terdistribusikan secara luas. Artinya dalam menganalisa kekuasaan, adalah penting untuk tidak melakukan deduksi atas kekuasaan dengan memulai dari pusatnya lalu mencoba sejauh mana ia bergerak, atau sejauh mana ia direproduksi ataupun diperbaharui di dalam elemen-elemen paling atomistik dari masyarakat.
Sebaliknya, Foucault menilai pentingnya melakukan analisis menanjak, memulai dari mekanisme terkecil (dengan sejarah, perjalanan, teknik dan taktik mereka sendiri) dan melihat bagaimana mekanisme kekuasaan tersebut, bersama dengan soliditas dan teknologinya, telah dan sedang ditanamkan, dikolonisasikan, digunakan, dibelokkan, diubah, dipindahkan, diperluas, dan seterusnya oleh mekanisme kekuasaan yang semakin umum dan bentuk-bentuk dominasi keseluruhan. Pertanyaannya adalah bagaimana mekanisme-mekanisme terkecil tersebut ditanamkan/ditambahkan oleh fenomena kuasa keseluruhan, dan bagaimana keuntungan lanjutan secara kekuasaan dan ekonomi dapat menyelinap ke dalam permainan teknologi kekuasaan ini yang pada saat bersamaan relatif otonom dan merupakan satuan terkecil.
Poin metode ini merupakan poin terpenting buat Foucault sehingga ia menunjukkan dua contoh untuk menggambarkannya, yaitu persoalan seksualitas anak-anak dan kegilaan di Eropa pada abad 19. Keduanya terkait problematika kekuasaan dan kepentingan borjuasi yang banyak diangkat oleh para intelektual Eropa.
Kedua contoh tersebut bertautan dengan studi-studi yang telah atau pada saat itu sedang dilakukan olehnya. Tema kegilaan adalah subyek pertama dari studi yang dilakukan Foucault, tesis doktoralnya yang ditulis di Swedia sewaktu mengajar bahasa Perancis di sana pada paruh pertama dekade 1950. Sedangkan mengenai seksualitas anak-anak merupakan studi yang sedang dilakukan dan akan menjadi sebuah trilogi studi tentang seks dan kekuasaan yang terbit di tahun-tahun setelah kuliah umum ini.
Seksualitas Anak-Anak dan Kegilaan
Fakta berkuasanya borjuasi dimulai pada akhir Abad 16 sampai Abad 17 menjadi pembahasan begitu penting di studi politik, sosiologi dan ekonomi. Begitu banyak perubahan sosial, politik dan ekonomi yang dikaitkan dengan dominasi baru tersebut oleh kalangan intelektual Eropa dan Amerika Utara. Contoh pertama tentang konsep kegilaan dan perlakuan terhadap orang gila diajukan Foucault untuk menunjukkan ambiguitas analisis berdasarkan teori hak dan alur pikir deduksi.
Bagaimana kita dapat mendeduksikan penangkapan dan pemenjaraan orang gila terkait dengan kekuasaan borjuasi? Foucault meledek terlalu banyak yang dengan mudah mengaitkan bahwa karena orang gila tidak berguna dalam ekonomi industri, maka borjuasi merasa harus membereskan mereka.
Begitu juga dengan contoh kedua, mengapa pada Abad 18 dan 19 terdapat kampanye besar-besaran untuk merepresi seksualitas anak-anak (utamanya masturbasi). Jawaban yang didapat adalah karena sejak Abad 17 dan 18 tubuh manusia telah menjadi tenaga produktif yang menggerakkan ekonomi industri, karena itu semua bentuk penggunaan tubuh yang tidak berguna, atau tepatnya tidak dapat dimasukkan ke dalam relasi produksi, haruslah dilarang, dikeluarkan dan direpresi. Namun, menurut Foucault, argumen tersebut terlalu lemah dan mudah, karena ia bisa mengajukan argumen tandingan dengan mendeduksikan dari berkuasanya borjuasi. Borjuasi sebagai kelas dominan bisa juga tidak menginginkan kontrol atas seksualitas ataupun seksualitas anak-anak. Yang mereka butuhkan, dalam garis argumen tandingan ini, adalah pendidikan seks, pelatihan seks, atau bahkan seks usia dini dengan tujuan mereproduksi tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Pada Abad 19, banyak ekonom percaya bahwa makin besar populasi kelas buruh, makin hebat sistem produksi kapitalis bekerja penuh dan efisien.
Artinya, kita bisa mendapatkan berbagai kesimpulan asal-asalan dari analisis deduktif atas berkuasanya borjuasi. Karena itu, untuk menghindari alur pikir asal-asalan ini kita perlu melakukan analisis yang berlawanan arah dengan deduksi. Analisis tersebut haruslah bergerak dari bawah dan memperhatikan kesejarahan, bagaimana mekanisme kontrol dapat berperan dalam penyingkiran kegilaan ataupun memberantas dan membasmi seksualitas anak-anak. Bagaimana fenomena-fenomena penyingkiran atau pembasmian ini menemukan instrumen dan logikanya, sekaligus memenuhi kebutuhan di satuan masyarakat terkecil (semisal keluarga dan tetangganya). Kita harus dapat menjelaskan siapa saja pelaku-pelaku (agen) dari fenomena tersebut pada titik mikro, semisal dokter, anggota keluarga, orang tua, petugas kepolisiandan seterusnya. Dan kita harus dapat menjelaskan bagaimana mekanisme-kekuasaan ini pada saat dan dengan perubahan-perubahan tertentu menjadi menguntungkan secara ekonomi dan berguna secara politik.
Kekuasaan Borjuasi dan Mekanisme Kuasa
Jika kita benar-benar menelusuri aras argumentasi di atas, kita akan sadar bahwa sulit menyatakan adanya “borjuasi” dan “kepentingan borjuasi” yang menginginkan kegilaan disingkirkan ataupun seksualitas anak-anak diberantas. Namun dalam kedua fenomena tersebut terdapat mekanisme-mekanisme yang dapat menyingkirkan orang gila ataupun teknik-teknik yang dapat mengawasi seksualitas anak-anak.
Pada saat-saat tertentu dan dengan alasan yang masih harus dipelajari, mekanisme-mekanisme dan teknik-teknik tersebut menciptakan keuntungan ekonomi ataupun kegunaan politik. Karena itu mereka akan dikuasai dan didukung oleh mekanisme umum kekuasaan dan pada akhirnya menjadi bagian dari keseluruhan sistem Negara. Jika kita fokuskan pada mekanisme dan teknik tersebut, kita dapat memahami keuntungan ekonomis ataupun kegunaan politiknya dan mengapa ia menjadi bagian keseluruhan sistem.
Borjuasi tidak peduli kepada orang gila, akan tetapi sejak Abad 19 dan melalui perubahan tertentu, prosedur dan teknik untuk menyingkirkan orang gila membuahkan keuntungan politik, atau bahkan kegunaan ekonomis tertentu. Mereka adopsi prosedur dan teknik tersebut dan gunakan untuk keberlangsungan sistem secara keseluruhan. Borjuasi tidaklah tertarik pada orang gila, tetapi tertarik pada kekuasaan yang berlaku pada orang gila. Borjuasi tidak peduli anak-anak bermasturbasi, namun tertarik pada sistem kekuasaan yang mengendalikan seksualitas anak-anak.
Kelima, sangatlah mungkin mesin besar kekuasaan berjalan diiringi oleh produksi ideologi. Sudah ada, misalnya, ideologi pendidikan, ideologi kekuasaan kerajaan, ideologi demokrasi parlementer dan seterusnya. Namun Foucault berpendapat, bukanlah ideologi yang menjadi landasan di mana menjulangnya berbagai jaringan kekuasaan. Landasan sesungguhnya terletak pada berbagai instrumen efektif pembentuk dan pengumpul pengetahuan: metode observasi, teknik pencatatan, prosedur penyelidikan dan penelitian, alat-alat verifikasi. Intinya, dalam hal kekuasaan menjalankan mekanisme-mekanisme mikronya, ia tidak dapat bekerja tanpa pembentukan, pengorganisasian dan sirkulasi dari sebuah pengetahuan ataupun dari sebuah aparatus pengetahuan yang bukan kelengkapan atau selubung ideologis.
Kelima batasan metodologis di atas dapat membantu untuk menghindari jebakan yang berputar-putar pada mantel/jubah yuridis dari kedaulatan, aparatus Negara, dan ideologi pendamping kekuasaan. Foucault mengarahkan analisisnya pada sisi dominasi (bukan dari sisi kedaulatan), pada sisi penundukkan, sistem-sistem lokal dari penundukkan, dan seterusnya. Poinnya, kita perlu meninggalkan model Leviathan dalam menganalisa kekuasaan, meninggalkan bidang analisis kekuasaan yang dibatasi oleh kedaulatan yuridis dan kelembagaan Negara, dan mulai menganalisa kekuasaan dari teknik dan taktik dominasi.
Bertemu dengan Kuasa Disipliner
Foucault menyatakan bahwa dengan mengikuti kelima batasan tersebut, kita akan menjumpai sebuah “fakta historis yang masif”. Fakta tersebut terkait dengan alasan mengapa kita harus tinggalkan teori hak/kedaulatan. Diskursus tentang hak dan juga kedaulatan muncul pada Abad Pertengahan di Eropa, seiring dengan dihidupkannya kembali sistem hukum Romawi. Sepanjang Abad Pertengahan hingga Revolusi Perancis, teori hak/kedaulatan setidaknya, dalam catatan Foucault, memainkan empat peran.
Mula-mula, teori ini menjadi referensi untuk berjalannya kekuasaan efektif yang dijalankan oleh kerajaan feodal. Kemudian, ia memerankan peran kedua sebagai instrumen dan justifikasi untuk pembentukkan kerajaan-kerajaan administratif. Berbeda dengan tahap perkembangan kerajaan feodal, di mana secara prinsip raja hanyalah menjalankan fungsi kehakiman/yudisial dan para bangsawan tuan tanah menjalankan fungsi keamanan warga yang mereka naungi, dalam kerajaan atau monarki administratif mulai dijalankan fungsi-fungsi yang kini kita sebut sebagai pemerintahan. Dalam sistem tersebut, teori hak/kedaulatan menjadi lebih ekstensif untuk membenarkan dan menjadi alat sehingga fungsi-fungsi pemerintahan yang mulai mengintervensi kehidupan sehari-hari para warga.
Pada tahap selanjutnya, teori tersebut memainkan peran ketiga, sebagai alat perjuangan politik dan teoritik pihak-pihak yang memperebutkan kekuasaan. Sejak Abad 16, khususnya Abad 17, teori hak bersirkulasi di antara pihak-pihak yang bertikai, baik untuk membatasi kekuasaan raja ataupun memperkuat kekuasaan raja. Teori hak, seperti teori Kontrak Sosial yang diusung Hobbes, menemukan dirinya bermanfaat di semua pihak tersebut : dalam Perang Agama-Agama (Katolik versus Protestan), diskursus hak dan kedaulatan menemani konflik antara kaum katolik monarkis dan protestan anti-monarkis. Ia juga berseliweran di antara kaum protestan pro monarki maupun yang kurang lebih liberal, berseliweran juga di para katolik pendukung pemenggalan raja atau pergantian dinasti.
Akhirnya, pada Abad 18, diskursus-diskursus dari teori hak/kedaulatan ini kita temukan juga dalam tulisan-tulisan Rousseau dan intelektual semasanya, untuk memainkan peran yang baru. Diskursus-diskursus hak/kedaulatan dipakai untuk menghantam monarki administratif, otoriter dan absolut, dan membangun sebuah model alternatif yaitu demokrasi parlementer.
Di tengah pergulatan politik dan teoritik itulah dapat kita tarik sebuah catatan penting. Apapun peran dari teori hak/kedaulatan pada berbagai tahap perkembangan sistem politik, teori tersebut dan diskursus-diskursusnya berkembang sejalan dengan mekanisme umum kekuasaan yang berlangsung, sejalan dengan perkembangan keseluruhan tubuh sosial masyarakatnya. Singkatnya, tetap dalam relasi antara daulat dan rakyatnya, antara raja dan subyeknya. Termasuk pada fase berikutnya, antara Kedaulatan Rakyat dan individu rakyat.
Selanjutnya, pada saat yang bersamaan dengan berkembangnya monarki administratif dan monarki absolut, berbagai perkembangan teknik kerja dan produksi menjadi landasan tumbuhnya sebuah mekanika kekuasaan yang baru. Mekanika kekuasaan ini memiliki berbagai prosedur berbeda, instrumen-instrumen yang sama sekali baru, dan, secara keseluruhan, tidak berkesesuaian dengan relasi kedaulatan. Mekanika baru ini berbeda karena ia berjalan langsung kepada tubuh manusia dan apa yang bisa dikerjakannya, bukan kepada tanah dan hasil bumi. Mekanika kuasa ini memungkinkan yang berkuasa menghisap waktu dan kerja dari tubuh. Ia tidak lagi menggantungkan dirinya kepada kehadiran fisik sang raja dan kaki tangannya, tetapi berjalan atas sebuah sistem pengawasan yang permanen. Dengan pendekatan yang sistematis, mekanika ini dapat memperhitungkan penggunaan kekuasaan, seperti pemaksaan fisik/material, secara minimum namun mendapatkan hasil yang maksimum. Ia tidak lagi membutuhkan pasal-pasal hukum dari kewajiban warga dan jadwal penyerahan upeti, cukup dengan merumuskan bentuk-bentuk pengawasan berkelanjutan. Mekanika ini adalah penemuan besar masyarakat borjuis, bahkan adalah instrumen fundamental dari berdirinya kapitalisme dan masyarakat industrial. Foucault menamakannya kuasa “disipliner”.
Pertanyaannya kemudian, jika jenis kuasa ini membuat kekuasaan berdasarkan teori kedaulatan menjadi usang, mengapa kuasa ini tidak menggantikan teori kedaulatan? Bahkan pada Abad 19 melalui Kode Penal Napoleon yang menyebar ke seluruh penjuru Eropa, teori hak/kedaulatan menjadi prinsip menata sistem hukum di berbagai negara? Mengapa teori kedaulatan bertahan untuk tetap menjadi ideologi dan penata utama sistem hukum hingga saat ini?
Foucault mengajukan dua alasan. Pertama, teori kedaulatan adalah instrumen kunci yang permanen untuk menghadapi kekuasaan monarki dan untuk menghadapi semua penghalang yang dapat berlawanan dengan pembangunan masyarakat disipliner. Kedua, teori tersebut, ataupun penataan sistem hukum yang berdasarkan kepadanya memungkinkan untuk menyelubungi mekanisme-mekanisme disiplin dengan sebuah sistem hak. Sistem hak tersebut menyembunyikan berbagai prosedur dan operasi disiplin, menghapuskan apapun yang dimaui dalam dominasi dan teknik dominasi, dan akhirnya, menjamin setiap orang yang dinaungi kedaulatan negara mendapatkan hak-hak kedaulatannya masing-masing.
Artinya di sini, sistem hukum, apapun teori dan kodenya, membuat mungkin adanya demokratisasi kedaulatan, berdirinya sebuah hukum publik yang diartikulasikan sebagai kedaulatan kolektif, pada saat bersamaan dengan tenggelamnya demokratisasi kedaulatan tersebut ke dalam mekanisme-mekanisme pemaksa disiplin.
Di sinilah letak tegangan keadaban/masyarakat sipil. Di satu sisi hak-hak publik ditata, diatur berasaskan kedaulatan tubuh sosial (“Kedaulatan Rakyat”), namun di sisi lainnya ia berada dalam kerangkeng ketat pemaksaan disiplin untuk menjamin keutuhan dari tubuh sosial tersebut. Sebuah hak/hukum berdasarkan kedaulatan dan sebuah mekanika disiplin.
Disiplin memiliki diskursusnya sendiri. Ia menciptakan aparatus pengetahuan dan sekian banyak lapangan keahlian untuk mendukung diskursus tersebut. Diskursus ini jelas mengenai sebuah aturan, namun bukanlah aturan yuridis. Yang dibangun adalah sebuah aturan natural, asali atau alami. Sesuatu yang disebut normal. Ini adalah sebuah diskursus normalisasi, yang merujuk kepada ilmu tentang manusia. Karena itu, yurisprudensi dari diskursus aturan dan normalisasi tersebut adalah pengetahuan yang bersifat klinis, yang melihat manusia dalam sebuah relasi antara dokter dan pasien, masyarakat sebagai sesuatu yang diobati/diberlakukan treatment.
Normalisasi disipliner dalam negara modern semakin berkonflik dengan sistem yuridis yang bersumber dari kedaulatan. Di banyak sisi, lebih terlihat bahwa diskursus kedaulatan semakin tidak mampu menghadapi penyerobotan oleh mekanika disipliner. Ia semakin impoten menghadapi sebuah kekuasaan yang berdasarkan pengetahuan ilmiah.
Berhadapan dengan penyerobotan oleh mekanika (kuasa) disipliner, kita berada dalam situasi mandek karena yang tersedia hanyalah mengusung hak hukum yang disusun di seputar teori kedaulatan. Teori kedaulatan ini pun tetap tidak bisa membatasi efek-efek dari kekuasaan disipliner.
Lebih lanjut, kedaulatan dan disiplin adalah dua hal pembentuk mekanisme- mekanisme umum dari kekuasaan dalam masyarakat saat ini. Karenanya, untuk melawan kuasa disipliner, dalam mencari sebuah kuasa non disipliner, Foucault meyakini bahwa seharusnya tidak kembali kepada hak/hukum kedaulatan yang menjadi usang akibat kuasa disipliner. Ia ingin bergerak menuju sebuah hak baru yang akan anti-disipliner, tetapi juga pada saat yang sama terbebaskan dari prinsip teori kedaulatan.