Tag: Kekuasaan

  • Menggali Genealogi dan Arkeologi Kekuasaan – Catatan dan Komentar (Bagian 1)

    Judul : Foucault : The Birth of Power
    Penulis : Stuart Elden
    Penerbit : Polity Press, Cambridge, UK
    Tahun Penerbitan : 2017

    Relevansi

    Buku yang ditulis Stuart Elden, Profesor Teori Politik dan Geografi Universitas Warwick dan Universitas Monash, seperti bertepatan dengan upaya saya untuk kembali mempelajari dan merefleksikan pemikiran dan observasi Foucault tentang kekuasaan. Buku ini sebenarnya dituliskan dari material-material yang diteliti Elden dalam menyusun buku lain yang berjudul Foucault’s Last Decade (Polity, 2016).

    Elden bermaksud mengkonsolidasikan catatan-catatan yang dimilikinya untuk memahami awalan dan perubahan yang dilalui oleh pemikiran Foucault tentang kekuasaan. Elden berpendapat Foucault mengubah agenda riset yang menyibukannya selama dekade 1960, setelah kembali dari tugas mengajar di Tunisia. Pengalaman mengajar beberapa tahun di sana hingga 1969 dan perlawanan mahasiswa dan buruh pada Mei 1968 yang mendorong pembubaran Republik Perancis ke-IV, dinilai Elden sebagai penanda perubahan Foucault dari teoritis dan metologis menjadi lebih aktivis dan kolaboratif.

    Foucault melibatkan diri dalam riset-riset advokasi, khususnya terkait dengan lembaga penjara dan lembaga kesehatan. Riset-riset tersebut mengkaitkan erat dunia aktivis dan akademis Foucault.

    Catatan-catatan dari buku ini cukup membantu dalam mempelajari pemikiran-pemikiran Foucault tentang kekuasaan yang sedang saya lakukan. Fokus buku ini adalah periode 1969-1974, tahun-tahun pertama Foucault menjabat sebagai pengajar di College de France. Elden sendiri, dalam buku ini mencoba memahami apa yang pada saat itu diupayakan Foucault dan bagaimana ia melakukannya. Pendeknya, genealogi kemunculan pertanyaan tentang kekuasaan dan makna genealogi dalam karya-karya Foucault.

    Susunan Buku

    Elden membagi buku ini ke dalam tujuh bab, termasuk pengantar. Tiga bab setelah Bab Pengantar diberi judul dari tiga konsep yang dijadikan Foucault sebagai fokus pada kuliah berseri di Universitas Katolik Pontifikal Rio de Janeiro, Brazil, pada 21-25 Meil 1973. Ketiga konsep tersebut adalah measure, inquiry, dan examination (kurang lebih dalam bahasa Indonesia: ukuran, penyelidikan, dan pemeriksaan). Measure menjadi tema dasar dalam kuliah La volonté de savoir(Keinginan untuk Tahu, 1970-1971), inquiry muncul pada kuliah Théories et institutions pénales (Teori dan Kelembagaan Penghukuman, 1971-1972), dan examination adalah sebuah fokus dalam la Société punitive (Masyarakat Penghukum, 1972-1973).

    Tiga bab berikutnya diberikan judul sesuai dengan tema-tema penelitian Foucault sebelum karyanya yang terkenal_History of Sexuality_: kegilaan, disiplin dan penyakit. Ketiga tema tersebut merupakan kerja problematisasi Foucault dari apa yang ia sebut sebagai sejarah dari masa kini (histoire au présent). Di beberapa titik, tema-tema tersebut meninjau kembali karya-karya Foucault sebelumnya namun memperdalam dan berhubungan dengan problematisasi kekuasaan di tema lain. Menurut Elden, contoh pada Psychiatric Power menunjukkan diskusi tentang kekuasaan yang terhubung dengan diskusi di buku lain seperti Discipline and Punish, yang merupakan sebuah analisis sejarah, kelembagaan, dan sosial atas bagaimana “pengetahuan berfungsi sebagai kekuasaan”.

    Penyusunan tersebut mungkin mencerminkan catatan Elden pada bab penutup buku, bahwa karya-karya Foucault diarahkan untuk menjadi “kotak alat” di mana pembaca dapat mengambil alat-alat di dalamnya untuk menyelesaikan masalah. Foucault pernah menggambarkan dirinya sebagai seorang artificer (petugas zeni) yang bertugas memetakan pertahanan lawan dan cara mendobraknya, sebagai seseorang yang mengkonsepkan, membangun, membongkar atau membebaskan jalan.
    (Bersambung)

  • Ulasan Buku Vedi Hadiz: Islamic Populism in Indonesia and the Middle East

    Dalam buku terbarunya, Islamic Populism in Indonesia and the Middle East,1 Vedi Hadiz mencoba melihat sebuah trend politik global dari populisme yang kini menjadi tantangan pada berbagai negeri. Hadiz yang kini menjadi Profesor Studi Asia di Universitas Melbourne menawarkan apa yang ia sebut sebagai pendekatan baru dalam mempelajari perpolitikan Islam. Ia mencoba melihat kecenderungan jangka panjang gerakan Islam dari kacamata sosiologi historis dan politik ekonomi, dengan pendekatan komparatif di beberapa negeri berpenduduk mayoritas Muslim: Indonesia, Mesir dan Turki.

    Tak diragukan bahwa buku ini membawa pendekatan baru, terutama dalam konteks studi politik dan budaya muslim di Indonesia yang didominasi pengaruh cultural studies yang dipelopori oleh Clifford Geertz dengan istilah santri, priyayi dan abangan. Atau bahkan lebih jauh lagi dengan masa kejayaan Orientalisme di mana Snouck Hurgronje, penasihat kebijakan kolonial Hindia Belanda, adalah salah satu pelopornya.

    Buku ini merupakan riset Hadiz beberapa tahun sebelumnya, sehingga cukup update dari sisi pendekatan komparasi dengan dua negara lainnya. Lagian, buku ini terbit di saat yang “tepat”, dalam konteks Indonesia, terkait dengan gelombang gerakan kaum Muslimin yang bereaksi terhadap kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki T. Purnama, calon gubernur pentahana DKI Jakarta.

    Beberapa Poin Rangkuman

    Dengan sembilan bab sepanjang total hampir 190 halaman, bangunan argumentasi Hadiz memberikan konteks kesejarahan, dalam beberapa hal mengulas genealogi, melakukan komparasi perkembangan gerakan Muslim di ketiga negeri, dan menyoroti lebih dalam pada beberapa titik kelok dari populisme Muslim. Kombinasi analisis sosiologi historis dan ekonomi politik merajut berbagai pengetahuan sebelumnya dapat bermanfaat untuk mereka yang relatif awam mengenai gerakan Islam politik, terutama di Indonesia.

    Hadiz juga menyadari bahwa populisme sebagai sebuah fenomena politik yang sulit didefinisikan. Studi yang mulai dipopulerkan oleh Ionescu dan Gellner, dan kemudian Canovan diulas cukup baik untuk kemudian disandingkan dalam berbagai studi yang lebih kekinian seperti yang dibawa Laclau. Meski banyak mengamini Laclau yang lebih menekankan rantai ekuivalensi tuntutan-tuntutan yang berasal dari berbagai kelompok masyarakat sebagai pembentuk gerakan populis,2 Hadiz lebih menegaskan kemunculan gerakan populis sebagai produk perjuangan/pertarungan kontemporer atas kekuasaan dan sumber daya material sekaligus sebagai resultat dari konflik yang terjadi dalam berbagai konteks sosial dan historis.

    Argumen tersebut mengantarkan Hadiz kepada satu kesimpulan yang kemudian menjadi pisau analisis dalam buku ini, yaitu populisme sebagai sebuah gerakan lintas kelas sosial yang asimetris. Menurutnya, dalam gerakan populis ada berbagai kepentingan kelas yang bisa jadi antagonistik dan berbeda tingkat artikulasinya.

    Dengan perspektif demikian, Hadiz memaparkan kemunculan populisme Muslim sebagai warisan dari kebangkitan gerakan Pan-Islamisme yang muncul pada awal Abad 20 seiring dengan memudarnya Kekaisaran Utsmaniyah. Tema sentral dari gerakan tersebut adalah pembangunan ummat demi munculnya jaman kejayaan Islam. Hadiz menggarisbawahi bahwa kemunculan gerakan tersebut sebagai reaksi terhadap dua hal. Pertama, “Dominasi Barat” yang pada saat itu direpresentasikan oleh masifnya kekuasaan kolonial negeri-negeri Eropa yang menjajah Afrika dan Asia. Kedua, “Pengaruh Barat” dalam bentuk gaya hidup, sistem nilai bahkan ideologi dan sistem politik/ekonomi seperti kapitalisme, sekularisme, pluralisme dan demokrasi.

    Dalam pandangan Hadiz, kristalisasi gerakan politik Islam terjadi pasca Perang Dunia II di mana ide-ide Pan-Islamisme bergerak ke latar belakang sementara panggung dikuasai oleh ide-ide nasionalisme dan sosialisme. Dominasi kedua ide tersebut terlihat di negeri-negeri Arab, Afrika Utara, dan Indonesia. Kristalisasi gerakan berada di dalam masa kekuasaan otoriter/represif seperti dalam kasus gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir ataupun penumpasan DI/TII dan pembubaran Masyumi pada windu terakhir kekuasaan Sukarno.

    Bekas mendalam yang sama di satu sisi juga ditinggalkan oleh desakan-desakan modernisasi, namun di sisi lain juga oleh pendalaman konflik Perang Dingin di negeri-negeri Dunia Ketiga menyebabkan pertarungan keras antara kelompok-kelompok politik Islam/Muslim dengan kelompok-kelompok Nasionalis/Kiri. Runtuhnya gerakan Kiri juga membuat negara-negara tersebut kembali melakukan represi terhadap politik Islam. Dengan tekanan-tekanan modernisasi yang memperbesar ketimpangan sosial dan ekonomi dan represi negara, terjadi penguatan makna ummat menjadi dekat dengan menjadi bagian dari massa tertindas. Menurut Hadiz, inilah yang menjadi landasan struktural populisme Islam.

    Bagian yang kemudian disorot adalah terkait dengan periode kebuntuan perjuangan Negara Islam, di mana kekuatan-kekuatan arus utama Islam (di Indonesia diidentifikasi sebagai jaringan NU dan Muhammadiyah) memilih untuk tidak terlibat di hadapan kekuatan koersif Negara. Kondisi tersebut mempersulit gerakan-gerakan politik Islam dan membuat mereka terpinggirkan dan menghadapi kebuntuan. Beberapa kelompok memilih jalan bawah tanah dan perjuangan bersenjata/kekerasan, sementara banyak lainnya berfokus pada aktivitas dakwah. Perbedaan-perbedaan yang terjadi kemudian mendorong fragmentasi gerakan menjadi organisasi-organisasi atau jaringan-jaringan yang lebih kecil dan lokal.

    Menariknya, Hadiz kemudian mengajukan studi kasus tentang perkembangan gerakan Darul Islam (DI) setelah kekalahannya di 1960an. Ia berpendapat bahwa DI memiliki pengaruh dan inspirasi yang sangat besar hingga sekarang. DI sendiri tidak ada bandingannya dalam komparasi dengan dua negeri lainnya dalam hal regenerasi dan diversifikasi jaringan turunannya (banyak di antaranya terlibat dalam konflik di Poso, Ambon, bahkan jejaring radikal/ekstrimis). Pada bagian ini, terlihat kaitan penting antara keturunan/keluarga anggota DI dengan jaringan/organisasi yang terinspirasi oleh DI. Namun sebagai catatan, problem inkoherensi dalam pewarisan ideologi membuat para “pewaris” cita-cita DI tidak mendapatkan posisi politik yang kuat.

    Sistem politik demokrasi yang berdiri sejak 1999 menciptakan sebuah tantangan baru untuk gerakan politik Islam. Namun sistem elektoral yang tersedia juga membuat mereka harus bersaing dengan sesama mereka sendiri maupun dengan partai-partai yang terkait dengan ormas-ormas Muslim arus utama seperti NU dan Muhammadiyah. Upaya representasi ummat ini pun pada akhirnya memperoleh 18% suara pada Pileg 2004, +/- 25% pada Pileg 2009 dan 31.5% pada 2014. Jika difokuskan pada partai-partai yang secara terbuka memproyeksikan ummat hanya mencapai 15% dari total suara 2014.3 Tercatat juga bagaimana langkah elektoral memiliki pengaruh dan kemenangan dalam politik, seperti perda-perda berbasis syariah. Akan tetapi, kompetisi elektoral, baik dengan partai-partai nasionalis maupun dengan partai-partai terkait arus utama Muslim, menyebabkan mereka memoderasi isu-isu ataupun propaganda/kampanye non elektoral mereka.

    Bersamaan dengan berjalannya demokrasi elektoral, pengaruh diskursus-diskursus ekonomi dan pemerintahan yang beraliran Neoliberal juga meluas. Akses yang baru diperoleh dari politik elektoral/kepartaian juga telah menumbuhkan pengusaha-pengusaha baru, meskipun tidak sebesar para pebisnis besar. Pada abad 20, gerakan politik Islam dekat dengan proteksionisme sebagai alat pelindung kepentingan ummat. Meskipun tetap menyuarakan penolakan/perlawanan, berbagai pimpinan politik dan bisinis Islam juga memperlihatkan penerimaan dan mencari peran-peran baru di luar dari sebagai “korban” globalisasi. Hadiz, mengutip Mohamed Nour, juru bicara Partai Al Nour Mesir yang juga pengusaha teknologi perangkat lunak, tidak selamanya politik Islam bertentangan dengan kapitalisme. Pandanganini menyatakan bahwa etika Islam dapat berperan dalam mengendalikan kerusakan kapitalisme, dalam bentuk bisnis yang bernuansa nilai-nilai Islam. Di Indonesia, salah satu pimpinan politik Islam yang diwawancarai Hadiz malah menyatakan dukungannya untuk bergabung dalam sistem ekonomi kapitalis dunia melalui pengembangan bakat-bakat wirausaha dari ummat.

    Satu catatan kesimpulan yang penting dari buku Hadiz ini adalah tingkat adaptasi yang diambil oleh berbagai aliran dalam politik Islam untuk masuk ke dalam politik elektoral yang sekuler dan terlibat dalam neoliberalisme global. Di lain pihak, kondisi kerentanan akibat kebijakan-kebijakan neoliberal, yang notabene di mana partai-partai politik Islam terlibat di dalamnya, juga berkontribusi di dalam tendensi populis di masyarakat. Kerentanan ini pada akhirnya akan menjadi ruang beroperasinya lembaga-lembaga amal dan kemanusiaan yang baik langsung maupun tidak langsung terafiliasi dengan gerakan politik Islam.

    Menimbang Pendekatan Sosiologi Historis dan Ekonomi Politik dalam Mengkaji Populisme

    Mengamini pembahasan Hadiz dan banyak peneliti/penulis sebelumnya seperti Laclau, populisme sebagai sebuah fenomena politik memang sulit didefinisikan. Ide-ide yang banyak diekspresikan sebagai pendefinisian populisme juga memiliki ambiguitas. Semisal kata Demokrasi yang memiliki akar demos yang berarti rakyat dalam bahasa Yunani. Populisme memiliki akar bahasa Latin dari populus. Keduanya sama-sama berarti rakyat, namun memiliki nuansa politik yang berbeda. Demos memiliki nuansa mulia/noble sedangkan populus lebih bermakna gerombolan/mob.

    Momen-momen kesejarahan populisme juga bervariasi bentuk, proses terjadi, dan kelompok sosial konstitutifnya. Kasus-kasus klasiknya misal di Rusia dengan Narodnaya Volya yang merepresentasikan gerakan agraria di akhir abad 19. Di Amerika, di mana istilah populisme ini berasal adalah gerakan perlawanan petani atas kehancuran harga-harga dan mahalnya pinjaman dan transportasi, juga di akhir abad 19. Periode yang sama juga muncul dua gelombang populisme dengan Bonapartisme (Napoleon III) dan Boulangisme, di mana keduanya adalah resultat dari pertarungan tiga matra yaitu modal versus buruh, desa/tani versus kota, dan elit baru (borjuasi) versus elit lama (bangsawan).

    Yang membedakan pendekatan Hadiz dari literatur yang diulasnya dalam buku ini adalah terlihatnya Hadiz menempatkan populisme Islami sebagai sesuatu yang given, yang perlu dipotret melalui lensa Sosiologi Historis dan Ekonomi Politik, di mana tekanannya, seperti diulas pada bagian sebelumnya tulisan ini, adalah basis kelas konstitutif dan sumber pertarungan politik dan ekonominya. Meskipun cukup menarik dalam literatur tentang populisme hingga kini, pendekatan ini memiliki dua problem dalam analisis selanjutnya.

    Problem pertama, jika dilihat dalam uraian buku ini, banyak diskusi terfokus pada aktor politik (tokoh, organisasi politik) yang terlihat untuk mengkerangkakan mereka sebagai “kaum populis”. Sementara itu, tidak cukup perhatian diberikan kepada fenomena dan dinamika gerakan sosial/politiknya. Akibatnya, potret yang muncul adalah sebuah gerakan sosial dan politik yang terus menerus ada di ketiga negara dan menggabungkan dan sekaligus mengaburkan berbagai tipologi gerakan seperti ekstrimisme, radikal, moderat, dan “imitasi” ke dalam satu keranjang. Padahal, jika ditilik tidak seluruh kontinum waktu tersebut terdapat momen populis ataupun, seperti kasus DI, setiap periode dan diversifikasi gerakan memiliki karakter/kampanye dan ideologi/propaganda yang berbeda dan belum tentu dapat dikatakan populis.

    Problem kedua, meski tetap penting kombinasi kedua pendekatan tersebut untuk memberikan perspektif dalam menghadapi secara material dan strategis, namun tidak cukup memberikan gambaran atas dinamika gerakan populis dalam sebuah momentum politik. Ini terlihat dengan kurangnya elaborasi terkait dengan konsep dan signifikansi dari ummat. Narasi tentang ummat adalah sebuah proyeksi yang suka atau tidak suka dekat dengan konsep bangsa atau nation dalam nasionalisme. Pada konsep ummat lah kita dapat menakar kapan politik Islam adalah sebuah gerakan populis, kapan ia menjadi kontribusi khazanah politik, dan kapan ia hanya menjadi politik sektarian.

    Untuk catatan penutup, ada baiknya kita melihat pendekatan lain dalam mencoba menjelaskan populisme. Dorna4, misalnya, dalam upaya memberikan perspektif psikologi politik mengajukan karakterisasi dari populisme sebagai berikut.

    Proposisi Dorna dimulai dari argumen bahwa kecenderungan populis ada di dalam setiap demokrasi. Munculnya gerakan populisme adalah pertanda dari krisis. Maka wajar gerakan tersebut akan lebih bersifat emosional, dan mensyaratkan penyelidikan dari dimensi psikologis.

    Sebagai respon atas adanya krisis, populisme sebenarnya adalah kritik terhadap status quo. Ia adalah bentuk kemarahan dan ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga (negara) yang dianggap busuk atau korup. Ketika kelembagaan yang ditolak, ini berarti juga termasuk tokoh-tokoh dan mekanisme politik di dalamnya. Ini yang menyebabkan pembesaran gerakan populisme akan diiringi oleh kemunculan seorang pemimpin yang kharismatik.

    Dalam banyak hal, agenda politik yang menggerakkan massa adalah isu-isu yang muncul dari dinamika politik dan bukan program politik yang terdefinisi dengan baik. Mirip dengan nasionalisme, khususnya dalam argumen Imagined Communities Ben Anderson, populisme adalah momen gerakan yang disokong oleh adanya industri media (cetak). Karena itu, dibandingkan ideologi dan program politik, kekuatan dan raison d’être dari populisme adalah seruan (mobilisasi) kepada rakyat.

    1. Hadiz, V. R. (2016). Islamic populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press.
    2. Laclau, E. (2005). On populist reason. London: Verso, hal 129-148.
    3. Hadiz menggunakan kategori “pureIslamic Parties yang diadopsi dari Alamsyah, Andi Rahman. (2013). ‘Islamic Parties at an Impasse, Need Reform to Avoid the Worst’, Jakarta Post, February 25, www.thejakartapost.com/news/2013/02/25/ islamic-parties-impasse-need-reform-avoid-worst.html
    4. Dorna, A. (2004). De l’âme et de la cité: Crise, populisme, charisme et machiavélisme. Paris: L’Harmattan
  • “Warga” sebagai artikulasi gerakan rakyat, proyeksi gerakan atau proyeksi media?

    Dengan menggunakan alat awan-kata (word cloud), aksi-aksi protes yang diberitakan sepanjang Januari 2013 yang dikumpulkan oleh lembaga Praxis, kita dapat menemukan kata “warga” sebagai kata yang paling digunakan dalam pemberitaan media, selain kata “aksi”. Kata “warga” jauh lebih banyak daripada kata “masyarakat” dan “rakyat”. Kategori sektoral yang tertinggi adalah “mahasiswa”, tidak mengherankan karena demonstrasi terbanyak, meski jumlah “massa” hanyalah “puluhan”, dilakukan oleh sektor tersebut.

    2013Jan.jpg

  • Catatan mengenai negara dan wilayah

    Berbagai catatan awal berkaitan dengan ide-ide dalam geografi politik dan geopolitik.

    [scribd id=204466324 key=key-qclgjw3zr7lkxk215ex mode=book]

  • Pembatasan Diri Sebagai Pandangan Etis Pemerintahan

    Pengantar: Artikel ini ditulis sebagai tugas akhir Mata Kuliah Etika dalam Program Matrikulasi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Jadi ia tak bisa dikatakan sebagai karya, yang memiliki ide sendiri yang ingin dikembangkan pada saat ia diserahkan tanggal 19 November 2013. Namun dalam pembuatannya ada beberapa argumen menarik, dari sisi etika politik. Karenanya saya publikasikan di situs ini.

    Pendahuluan

    Berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada Mei 1998 juga merupakan sebuah pertanda berakhirnya sebuah rejim, dalam makna keseluruhan dari kelembagaan, praktik-praktik, dan ide-ide yang melingkupi cara bagaimana negara dan masyarakat berjalan. Sejak saat itu, Indonesia berada dalam masa transisi yang panjang, sebuah proses pembangunan rejim baru: lembaga-lembaga pemerintahan yang baru, praktik-praktik tata kelola negara yang baru, dan tentunya ide-ide baru tentang bagaimana roda pemerintahan dijalankan.

    Dalam sebuah transisi seperti pembangunan rejim baru yang berlangsung hingga kini, sangat wajar jika terjadi pergulatan-pergulatan mengenai problem-problem kontemporer yang dihadapi masyarakat tersebut. Dunia politik adalah arena di mana pergulatan-pergulatan tersebut berlangsung, dan partai politik serta politisi, atau dalam pembacaan masa kini, aktor-aktor politik, adalah para petarung yang berupaya menang. Dalam pola pikir semacam ini, sewajarnya pergantian penguasa hasil pemilu dinantikan dengan harapan atas akan adanya perubahan kebijakan. Penguasa yang bercitra kerakyatan, yang memajukan simbol-simbol dekat dengan wong cilik, wajar dinantikan untuk menyediakan kebijakan-kebijakan memudahkan rakyat biasa. Atau juga, calon-calon penguasa yang selalu terlihat dekat dengan para pedagang wajar dinantikan untuk mengeluarkan titah-titah yang memudahkan perdagangan dan pengumpulan kekayaan pribadi.

    Terlepas dari pendambaan atau penantian tadi, berjalannya pembangunan rejim saat ini seperti mengabaikan pakem tersebut. Siapapun yang berkuasa, secara umum kebijakan yang berkaitan dengan penghidupan orang banyak berjalan dalam koridor yang sama: peran korporasi-korporasi besar dalam layanan-layanan publik diperbesar, pelayanan negara dijalankan dalam perhitungan untung rugi, dan terlihat upaya untuk mengurangi peran negara secara umum dalam penghidupan setiap anggota masyarakatnya (semisal, subsidi BBM).

    Menariknya, argumen-argumen pendukung koridor kebijakan tersebut bertumpu pada dua hal. Pertama, adanya obsesi untuk meningkatkan daya saing Indonesia, terutama dalam mendapatkan investasi asing, di antara negeri-negeri lainnya yang sederajat atau berada dalam satu kawasan atau kategori yang sama. Obsesi mengenai daya saing ini mempercayai dengan adanya kompetisi maka akan terjadi perbaikan kualitas. Tumpuan kedua, yang juga terkait dengan yang pertama, adalah pandangan yang memasukkan hubungan-hubungan dagang/komersial sebagai panduan atas semua  hubungan-hubungan yang sehari-hari terjadi dalam tubuh masyarakat.

    Dalam tataran praktis, kehidupan bernegara (civil society atau tata negara) kemudian diukur dengan seberapa jauh negara atau pemerintah mengatur kehidupan warganya. Negara yang dianggap terlalu banyak mengatur dikatakan tidak baik. Negara yang dianggap terlalu banyak terlibat dalam kehidupan warganya juga dikatakan tidak baik. Mengapa? Negara yang bertindak semacam itu akan mengganggu tatanan masyarakat yang berdasarkan pada kompetisi dan hubungan dagang (yang diasumsikan bebas). Pemerintah yang baik, yang bijak (good government), adalah pemerintah yang dapat mengendalikan negara sehingga tidak mengganggu kompetisi dan pasar. Pemerintah yang baik, seharusnya, terus menerus memastikan kompetisi dan pasar berlangsung dan menjaga keduanya agar tidak menjadi malapetaka. Inilah nilai etis utama dari koridor kebijakan-kebijakan negara di masa transisi ini.

    Esai ini mencoba mengupas pandangan etika pemerintahan yang kini menjadi arus utama dalam masa pembangunan rejim baru. Untuk dapat memahami hal tersebut, kita perlu memahami konsepsi ideal negara yang kini diperkenalkan sekaligus konsekuensi-konsekuensi etis dari konsepsi ideal tersebut. Kemudian, esai ini akan mencoba melihat problem etis pemerintahan dan maknanya dalam tata negara.

    Peran Negara yang Ideal dan Etika Pemerintahan

    Kesulitan utama dalam membahas apakah sebuah kebijakan diambil melaui pertimbangan etis yang masak atau tidak, semisal pencabutan subsidi yang berdampak besar dalam penghidupan rakyat, adalah dalam kondisi masa kini sebuah argumen etis mengasumsikan definisi atau narasi atas peran negara yang ideal atau seharusnya. Dengan adanya berbagai macam ideologi politik atau ideologi tata negara, dapat dipastikan beradunya argumen-argumen etis yang berasumsi berbeda-beda. Pencapaian kesepakatan dalam salah satu aspek kebijakan menjadi sulit. Perbedaan ideologi dan pandangan etis ini ditunjukkan bukan untuk mendukung argumen relativitas etis, namun memperlihatkan bahwa kebijakan publik adalah sebuah arena, seperti halnya dunia politik yang tadi ditunjukkan.

    Artinya peran negara yang ideal itu adalah sebuah perdebatan dan akan terus menerus berubah seiring dominasi sebuah ideologi tertentu dalam kekuasaan politik. Potret dari pergulatan ini tentunya dapat kita tangkap dalam konstitusi dan perangkat turunannya, seperti Undang-Undang ataupun Peraturan Pemerintah. Peran negara yang ideal, setidaknya secara resmi (yang artinya menurut mereka yang berkuasa) dapat dilihat di Undang-Undang No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. UU RPJP menurunkan tujuan yang tercantum di Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi delapan misi pembangunan hingga tahun 2025. Dari kedelapan misi tersebut, kita dapat mencatat bahwa setidak-tidaknya ada beberapa peran negara yang idealnya dipenuhi oleh negara. Pertama, negara sebagai pendidik dan pengayom masyarakatnya (misi 1, 2, 3, dan 7). Kedua, negara sebagai penjamin berlangsungnya prinsip kehidupan sosial-politik yang ideal (misi 2, 3, 5, dan 8). Ketiga, negara sebagai penjamin keberlangsungan tatanan masyarakat yang dinaunginya (misi 4, 6, 7, dan 8). Cukup menarik kiranya untuk melihat bahwa misi kedua dari pembangunan nasional adalah mewujudkan bangsa yang berdaya saing.

    Tentunya, ide tentang peran negara yang resmi tetap berada dalam pertarungan dengan ide-ide alternatif, ide-ide yang bergerak dan menyebar di dalam wacana publik. Sebagai contoh, di kalangan pegiat masyarakat sipil, negara yang dibayangkan adalah negara kesejahteraan (Welfare State, État providence) atau negara yang menyediakan fasilitas dan layanan dasar untuk semua warganya. Di kalangan kelas menengah atas yang memiliki usaha-usaha komersial, negara yang dibayangkan adalah negara yang tidak banyak aturan dan berfokus kepada keamanan dan penegakkan hukum.

    Dengan memiliki perbedaan-perbedaan dalam konsep negara ideal menurut pihak-pihak yang berdebat, sangat mungkin kebijakan yang diambil, atau yang memenangkan pertarungan, dapat saja mewakili bukan hanya satu pandangan etis kenegaraan tertentu, tetapi dua atau tiga pandangan sekaligus yang bisa saja saling bertentangan. Sebagai contoh, pilihan pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat didukung oleh dua pandangan, pandangan mengenai negara tidak boleh terlalu dibebani dengan melibatkan diri (atau menjadi sumber daya) dalam penghidupan masyarakat, dan pandangan yang berpendapatan bahwa negara bertugas untuk menjamin keberlangsungan penghidupan masyarakatnya.

    Lalu bagaimana melihat pilihan-pilihan etis dengan situasi mereka yang berdebat memiliki cita-cita negara yang berbeda? Pada akhirnya, seperti dalam banyak kasus, negara modern melakukan perdebatan itu dalam anggaran negara atau kebijakan fiskal. Kembali ke contoh kebijakan subsidi BBM dan mekanisme kompensasi pengurangan subsidi tersebut, argumen yang kemudian mengisolasi persoalan tersebut dari persoalan-persoalan lainnya adalah argumen anggaran: “200 trilyun dibakar”, misalnya. Argumen ini bukan argumen baru, ini adalah argumen ekonomi politik yang diperkenalkan oleh para physiocrat (kelompok intelektual yang meletakkan dasar studi ekonomi pada akhir monarki absolut Perancis).

    Ekonomi politik membuat pengambil kebijakan negara mempertimbangkan batasan-batasan kebijakan negara. Studi ekonomi politik, seperti studi yang dilakukan Adam Smith dalam The Wealth of Nations, menempatkan negara dan tindakannya dalam rasionalitas sehubungan dengan apa yang disebut sebagai hukum-hukum alam dari kegiatan ekonomi. Dengan menyadari dan mematuhi “hukum-hukum alami” dari ekonomi, ekses-ekses kekuasaan yang dialami pada masa Monarki Absolut dapat dihindari, dan negara dijalankan atas prinsip frugal government (negara hemat). Prinsip ini diajukan oleh Thomas Jefferson dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden ketiga Amerika Serikat pada 1801. Ia berpendapat bahwa pemerintahan yang baik (good government) adalah yang mencegah warganya dari saling melukai, membiarkan warganya mengatur sendiri usaha dan perkembangannya, serta tidak mengambil apa-apa yang telah dihasilkan oleh warganya.

    Bisa dilihat kemudian bahwa ide frugal government menjadi etika pembatasan diri negara-negara modern dalam berhubungan dengan masyarakat di mana mereka berada.

    Problem Pembatasan Diri Pemerintah dan Makna Tata Negara (Civil Society)

    Pembatasan diri pemerintah memiliki dua makna. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pembatasan diri (self-limitation) menjadi sebuah prinsip etis dalam menjalankan pemerintahan dalam negara modern. Pembatasan diri juga bermakna dalam mekanisme negara modern, dalam bentuk penyusunan anggaran tahunan. Dengan studi ekonomi politik, para pengambil kebijakan dapat mengetahui sumber daya yang tersedia dalam bentuk gross domestic product (GDP) dan potensi pendapatan negara, seperti pajak dan royalti.

    Etika pembatasan diri ini juga didukung dengan rasionalitas yang dibangun melalui pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan oleh ekonomi politik. Teori tentang inflasi dan perputaran uang memungkinkan pengambil kebijakan negara menghindari bencana yang diakibatkan oleh pencetakkan uang yang berlebihan akibat dari ambisi membiayai intervensi yang dilakukan negara. Pengetahuan mengenai statistika memungkinkan para politisi membicarakan prediksi-prediksi sumber daya di masa mendatang, merencanakan pembangunan fasilitas-fasilitas negara.

    Akan tetapi, pandangan etis yang didukung oleh rasionalitas ini bukan tanpa masalah, terutama saat menghadapi krisis ekonomi. Pandangan etis pembatasan diri dalam menjalankan pemerintahan adalah salah satu alasan utama “dikorbankannya” kepentingan warga negara yang dianggap tidak produktif dan berkontribusi kecil terhadap ekonomi secara keseluruhan. Melalui kacamata etis tersebut, negara harus mengalokasikan anggaran untuk menyelamatkan sektor perbankan yang macet di masa krisis, dibandingkan menyediakan anggaran untuk memastikan layanan-layanan dasar seperti air bersih, energi, kesehatan dan seterusnya tersedia untuk warga negara yang miskin. Dengan etika pembatasan diri, krisis digunakan sebagai alasan untuk “merestrukturisasi” pelayanan negara kepada warga. Pada krisis ekonomi 1997-1998 di Indonesia, negara memilih memotong subsidi-subsidi yang sebelumnya menjadi sistem pendukung kehidupan warga miskin (petani, buruh, nelayan, dan miskin perkotaan) di saat yang sama menyediakan ratusan trilyun rupiah untuk menyelamatkan sektor perbankan yang menjadi salah satu penyebab krisis. Krisis ekonomi global pada tahun 2008 juga menyaksikan hal yang sama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Yunani.

    Dampak dari kebijakan-kebijakan itu luar biasa besar di kalangan warga yang miskin. Kehidupan mayoritas yang miskin kehilangan martabat hidup mereka, kekurangan gizi pada anak-anak dan ibu rumah tangga, angka bunuh diri yang meningkat dan seterusnya.

    Bagaimana sebuah pandangan etis yang bertujuan untuk menjaga tata negara (civil society) malah merusak segi-segi kemaslahatan umum yang menjadi tujuan tata negara?

    Etika pembatasan diri pemerintahan sebenarnya telah berkembang jauh, dari sebelumnya bersifat lebih pasif seperti motto seorang Perdana Menteri Inggris abad 18 Sir Robert Walpole yang mengatakan “quieta non movere” atau “jangan ganggu anjing yang sedang tidur” (Foucault, 2004: 29), menjadi negara yang berperan aktif untuk memastikan kompetisi, ekonomi pasar, dan frugal government berlangsung mengikuti hukum-hukum “alami” dari ekonomi.

    Perubahan dari pasif dalam mengawasi ekonomi laissez-faire melalui invisible hand dapat dilihat dari peran aktif lembaga-lembaga negara membentuk warga yang berdaya saing, kompetitif. Perubahan ini merupakan jawaban atas Krisis Ekonomi Global 1930, di mana pasifnya negara mengakibatkan kompetisi berubah menjadi monopoli yang pada akhirnya menjadi bibit-bibit bangkitnya fasisme dan sosialisme.

    Dalam pandangan pendukungnya, seperti Foldvary (Foldvary, 1978), pasar bebas adalah  sebuah entitas yang bernilai etis, karena pertukaran untuk produksi dan konsumsi berlangsung bebas dari paksaan karena barang dan jasa memiliki nilai sesuai dengan yang dipercaya dan sesuai dengan kemauan membayarnya. Intervensi atas pasar tidak dapat dibenarkan secara etis seperti halnya tidak dibenarkannya tindakan-tindakan kriminal, karena merupakan bentuk pemaksaan kehendak. Tugas negara kemudian adalah memastikan bahwa pasar bebas berjalan, artinya pasar bebas menjadi tujuan adanya negara.

    Akan tetapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Ha-Joon Chang (Chang, 2010:  Thing 1), pasar bebas itu sendiri tidak ada. Ekonomi yang berlandaskan pasar bebas pada kenyataannya memiliki batasan-batasan yang ditentukan secara politik. Penentuan upah, misalnya, ditentukan oleh keputusan politik dan jikapun kebijakan upah minimum dihapuskan di Eropa, buruh-buruh Asia yang lebih murah tidak akan bisa menawarkan tenaganya karena aturan imigrasi, yang ditentukan oleh mereka yang juga mendukung pasar bebas. Dalam perdagangan saham, sebagai contoh lainnya, seseorang tidak bisa langsung menjual saham perusahaannya begitu saja. Ia harus melewati proses verifikasi, mematuhi sekian banyak regulasi, dan sertifikasi untuk dapat dianggap setara dengan emiten saham lainnya. Pasar bebas kemudian dapat dikatakan sebagai mitos, atau sebuah utopia di mana negara-negara kini didorong secara bersama-sama untuk mewujudkannya.

    Seorang presiden, yang memiliki kekuasaan eksekutif begitu besar dengan sumber daya yang tak kalah besarnya, kini dihadapkan pada problem pilihan politis di masa krisis ekonomi. Apakah ia harus menyelamatkan bank-bank yang memiliki resiko sistemik yang tinggi, dalam arti menyelamatkan lembaga yang menopang keberlangsungan ekonomi pasar seperti diamanatkan oleh tujuan resmi negara? Dengan kata lain, apakah ia memilih menyelamatkan perilaku ekonomi yang sebenarnya juga adalah sumber dari krisis? Ataukah ia akan memilih untuk melakukan penyelamatan penghidupan rakyat banyak, dengan memastikan layanan dasar tetap tersedia dan inisiatif-inisiatif ekonomi rakyat kecil dapat terus berlangsung? Pilihan yang diambil jelas bukan saja pilihan politis semata yang berada dalam tekanan dari berbagai aktor, namun juga sebuah pilihan etis. Namun jika pandangan etis yang dominan adalah sebuah imperatif untuk menyelamatkan pasar, maka kita telah tahu apa makna kalimat: “Saya mengerti bahwa saya mengambil kebijakan yang tidak populer.” Presiden tersebut telah, secara politis dan preferensi etis, memilih suatu pandangan etis, demi pembatasan diri negara, di atas kepentingan menjaga tata negara dan mencederai rasa keadilan rakyat.

    Kesimpulan

    Etika politik memang sebuah ruang pertarungan dan perdebatan. Pilihan-pilihan yang diambil oleh seorang pejabat negara tidak lah cukup lagi hanya mempertimbangkan pandangan-pandangan etis yang sudah diserap dan dituliskan dalam konstitusi dan perundang-undangan. Pandangan-pandangan etis tersebut tetaplah harus dilihat secara kritis asal muasal dan konsekuensi-konsekuensinya dalam dunia nyata.

    Catatan lainnya adalah sebuah pandangan etis dalam politik tetaplah sebuah pendapat politis yang memiliki kepentingan politis, keketatan berpikir dan kecanggihan teoritis dalam metode yang digunakan tetap saja hanyalah alat membantu rasio untuk mencerna dan memformulasikan pandangan tersebut. Dalam etika di sebuah republik, tata negara dalam makna civil society tetaplah bermakna kemaslahatan publik yang tidak dapat direndahkan atau ditundukkan oleh pemikir-pemikir canggih dan elitis.

    Catatan
    1. Misi Pembangunan dalam RPJP 2007 adalah: (1) Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila; (2) Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing; (3) Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum; (4) Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu; (5) Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan; (6) Mewujudkan Indonesia asri dan lestari; (7) Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional; dan (8) Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.

    Referensi
    Amable, B. (2011) “Morals and Politics in the Ideology of Neo-liberalism”,  Socio-Economic Review, 9, hlm 3-30.
    Foldvary, F. E (1978, April 1). Is the Free Market Ethical?. Foundation for Economic Education. Diakses di http://www.fee.org/the_freeman/detail/is-the-free-market-ethical#axzz2l9UccKoA pada 16 November 2013.
    Foucault, M. (2004) The Birth of Biopolitics. Lectures at The Collège de France, 1978–1979 (trans. 2008), New York, Palgrave Macmillan.
    Chang, H-J. (2010) 23 Things They Don’t Tell You about Capitalism, London, Pinguin Books
    Jefferson, T. (1801) Inaugural Address. Diakses di http://ahp.gatech.edu/jefferson_inaug_1801.html pada 16 November 2013.
    Wolff, J. (1996) An Introduction to Political Philosophy, Oxford, Oxford University Press.
    Republik Indonesia. (2007) Undang-Undang no 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

  • Miskinnya Imajinasi Politik Kita

    Catatan: Tulisan ini dibuat sebagai coret-coret pasca Pileg 2009 dan sebelum Pilpres 2009, dalam kesimpulan bahwa banyak survei politik dan analisa hasil Pemilu, atau analisis kuantitatif dalam studi politik, memiliki kerentanan kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Problem atribusi adalah salah satu akarnya, di mana kemungkinan penyebabnya adalah kemiskinan imajinasi politik. Karena coret-coret, membaca tulisan ini memerlukan kehati-hatian.

    (more…)