Tag: Populisme

  • Elit Bergulat Alot

    Manuver Gulat Pra Pilpres

    Selepas pengumuman pencapresan Ganjar Pranowo oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri, dalam hitungan hari terjadi guncangan. Rantai pertemuan berlangsung di berbagai kota, dan melibatkan petinggi-petinggi partai politik dan juga Presiden Joko Widodo. Prabowo Subianto, Ketua Umum dan Calon Presiden dari Partai Gerindra misalnya, pada hari Idul Fitri berkunjung ke kediaman Presiden Joko Widodo di Solo. Pada hari itu juga, sekembalinya dari Solo, Prabowo menemui Airlangga Hartarto, Ketua Umum sekaligus Calon Presiden dari Partai Golkar.

    Estafet pertemuan itu mungkin sesuatu yang di luar harapan para perencana politik di PDI Perjuangan. Menghadapi ketidakpopuleran partainya akibat penolakan terhadap penyelenggaraan Piala Dunia U-20, mereka terlihat mempercepat pengambilan keputusan dan pengumuman Calon Presiden mereka. Apalagi jika kita melihat ketidaksinkronan antara persepsi kepuasan publik terhadap Presiden Joko Widodo dengan elektabilitas PDI Perjuangan.

    Di hari pengumuman 21 April lalu, laksana sebuah penobatan seorang raja, Ketua Umum Megawati memasangkan peci hitam di kepala Ganjar Pranowo. Penetapan waktu, pengkondisian digital, dan diseminasi media didorong semaksimal mungkin agar terjadi sambutan publik. Tersebar kabar bahwa para perencana politik PDI-P ini mengharapkan terjadinya efek perbincangan di Hari Raya, di kampung-kampung, di tengah suasana mudik di kampung halaman.

    Sekembali dari Solo, Presiden Joko Widodo juga melakukan berbagai rangkaian pertemuan dengan para ketua umum dan/atau para calon presiden dari partai-partai koalisi kabinet saat ini. Selain itu, Presiden juga memanggil Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang baru saja mengundurkan diri dari Partai Gerindra. Sandi juga dinilai berbagai pihak memiliki ambisi menjadi calon wakil presiden.

    Kabar terakhir cukup mengejutkan untuk pengamat dan aktor politik, ketika Walikota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang juga merupakan anak pertama Presiden Joko Widodo mengundang pimpinan-pimpinan relawan pendukung dirinya dan ayahnya pada 28 April. Secara terbuka Gibran meminta para relawan tidak buru-buru mendukung calon presiden manapun, baik Ganjar maupun Prabowo. Ini mengejutkan karena Gibran, seperti juga ayahnya, adalah petugas partai PDI Perjuangan. Dalam pakem politik kepartaian, manuver ini sudah berbeda arah dengan keputusan partai.

    Pergulatan Posisi, Sifat Alamiah Manusia Politik Indonesia Dalam Berbagai Perspektif

    Kesulitan utama dalam memahami politik Indonesia terletak pada fluiditas ideologi dan identitas kepartaian yang mencirikannya. Di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, ideologi partai politik dapat dengan jelas ditempatkan dalam spektrum ideologi kiri-kanan atau tradisi politik tertentu. Akan tetapi, di Indonesia, hubungan antara klaim ideologi partai dan posisi resmi mereka terkait regulasi dan kebijakan negara belum begitu jelas. Hal ini menimbulkan tantangan dalam memahami politik dan aktor-aktor yang terlibat di Indonesia.

    Suka tidak suka, norma politik tertulis di Indonesia berada di dalam logika ‘hewan politik’ Aristotelian. Menurut pandangan ini, manusia politik yang membentuk komunitas, berbagi sumber daya, dan terlibat dalam pemerintahan. Manusia politik merupakan makhluk rasional yang mencari kebaikan bersama melalui kerja sama dan dialog. Namun, kenyataan seringkali berbeda, di mana politisi dan politik di Indonesia kerap kali terlihat irasional dan terjebak dalam pola korupsi serta penyelewengan.

    Sejumlah politisi Indonesia dengan latar belakang akademik tinggi dan pengalaman di lembaga non-profit sering menuduh lawan politik mereka sebagai Machiavellian. Namun, banyak dari mereka yang belum sepenuhnya memahami pandangan Niccolò Machiavelli, filsuf politik Italia abad ke-16. Dalam karyanya “The Prince,” Machiavelli memang menawarkan pandangan sinis tentang sifat manusia dan menekankan pentingnya manipulasi, penipuan, dan eksploitasi untuk mempertahankan kekuasaan. Walaupun demikian, tindakan tersebut selalu dilakukan dengan tujuan baik untuk negara, meski metodenya terkadang dianggap tidak bermoral.

    Sejak kerangka moral dapat diabaikan dalam kacamata Machiavellian, cukup menarik jika mencoba melihat perilaku manusia politik dalam kerangka Foucauldian. Michel Foucault, sosiolog dan ahli sejarah pemikiran Perancis tahun 1960-1980an, berpendapat bahwa kekuasaan itu meresap dan beroperasi melalui hubungan dan institusi yang kompleks, yang mempengaruhi subjektivitas, agensi, dan perlawanan individu. Artinya, kerangka moral, regulasi, dan pakem/norma dapat saja mencengkeram seorang manusia politik namun juga bisa saja manusia tersebut memutuskan untuk berstrategi melawan dan membelokkan koridor kekuasaan.

    Fluiditas posisi politik, dan bahkan pergulatan tanpa akhir atas posisi politik, mengingatkan kita kepada konsep Mandala yang disadari oleh sejarawan Oliver W. Wolters saat melakukan studi tentang kerajaan-kerajaan Asia Tenggara di Abad Pertengahan. Beradaptasi dari konsep ini, manusia politik dibentuk oleh jaringan kompleks kesetiaan, penghormatan, dan perlindungan yang setiap titik pangkal atau node dari jaringan tersebut adalah pusat kekuasaan yang bersifat personal, yaitu raja. Loyalitas kadipaten kepada sebuah imperium/kerajaan bukanlah sesuatu yang legal, namun merupakan ikatan personal antara adipati dengan satu atau dua raja terdekat. Manusia politik, dalam hal ini adipati, memiliki fleksibilitas, struktur terdesentralisasi, dan penekanan pada hubungan pribadi antara penguasa dan bawahannya.

    Dan sebagaimana pertarungan politik elektoral adalah bagian dari geopolitik, yaitu rivalitas kekuasaan di atas sebuah wilayah. Partai-partai, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan koalisi calon presiden berusaha memenangkan dukungan publik untuk meraih kursi, baik di tingkat lokal (Kabupaten/Kota dan Provinsi) maupun di tingkat Daerah Pemilihan. Aktor politik harus menampilkan perbedaan mereka agar dapat dipilih oleh pemilih. Keberhasilan awal mereka tergantung pada sejauh mana ciri-ciri mereka menciptakan representasi yang diinginkan oleh masyarakat terkait bentuk kekuasaan. Dalam konteks persaingan ini, citra dan imaji menjadi faktor kunci, sehingga perebutan posisi simbolik menjadi sangat penting. Aktor politik berusaha mempengaruhi persepsi publik demi memenangkan pertarungan politik ini dan mencapai tujuan mereka dalam menguasai kekuasaan.

    Analisis Momentum 21 April 2023

    Pengumuman 21 April 2023 oleh Ketua Umum PDI Perjuangan adalah sebuah manuver cepat selayak sebuah kup dari mandala yang berpusat pada Megawati terhadap pihak-pihak eksternal dan internal yang mengorbit kepada mandala lainnya yang berpusat pada Presiden Joko Widodo. Kup ini mendisrupsi upaya mandala Jokowi dalam menjadi ‘king maker’ dan merupakan langkah asertif untuk memastikan negosiasi kekuasaan pra pemilu berada di tangan Megawati dan mandalanya.

    Ibarat pertandingan catur, para protagonis yang memiliki mandala yang cukup sentral seperti Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, dan Surya Paloh ataupun tokoh-tokoh yang mandalanya lebih periferikal seperti Muhaimin Iskandar, Zulkifli Hasan, dan Susilo Bambang Yudhoyono melakukan perhitungan ulang atas rencana-rencana manuver mereka. Kesibukan komunikasi yang dipertontonkan di media massa menunjukkan konfigurasi relasi/jaringan antar mandala sedang mengalami penyesuaian.

    Dengan memperhatikan relasi-relasi simbolik dari setiap protagonis, komunikasi dilakukan untuk meracik rumusan-rumusan strategis dari mulai kombinasi koalisi maupun persiapan kontra-manuver. Para perencana politik di setiap mandala juga kini disibukkan untuk memastikan apakah setiap gestur politik ataupun pesan yang tersampaikan adalah intensi sejati ataukah hanya muslihat Machiavellian.

    Gimnastik politik ini seringkali juga menciptakan problem baru. Kinerja pemerintahan dapat terganggu di saat kebijakan, anggaran, regulasi, dan program dijadikan ‘bargaining chip’ antar protagonis. Belum lagi ‘dosa/kasus masa lalu’ yang dapat digunakan untuk mencegah kontra manuver lawan.

    Yang sangat disayangkan sebenarnya, konstelasi dan relasi antar mandala ini sepertinya melupakan tujuan-tujuan dari politik itu sendiri. Tidak satupun mandala yang sedang sibuk bermanuver saat ini membicarakan agenda-agenda kebangsaan masa depan, aspirasi-aspirasi rakyat yang harus jadi program prioritas para capres, dan tentunya karakter pemerintahan ke depan yang jelas akan berhadapan dengan pengaruh ketidakpastian ekonomi global akibat perang di Eropa dan persaingan geopolitik regional Asia Pasifik.

  • Ulasan Buku Vedi Hadiz: Islamic Populism in Indonesia and the Middle East

    Dalam buku terbarunya, Islamic Populism in Indonesia and the Middle East,1 Vedi Hadiz mencoba melihat sebuah trend politik global dari populisme yang kini menjadi tantangan pada berbagai negeri. Hadiz yang kini menjadi Profesor Studi Asia di Universitas Melbourne menawarkan apa yang ia sebut sebagai pendekatan baru dalam mempelajari perpolitikan Islam. Ia mencoba melihat kecenderungan jangka panjang gerakan Islam dari kacamata sosiologi historis dan politik ekonomi, dengan pendekatan komparatif di beberapa negeri berpenduduk mayoritas Muslim: Indonesia, Mesir dan Turki.

    Tak diragukan bahwa buku ini membawa pendekatan baru, terutama dalam konteks studi politik dan budaya muslim di Indonesia yang didominasi pengaruh cultural studies yang dipelopori oleh Clifford Geertz dengan istilah santri, priyayi dan abangan. Atau bahkan lebih jauh lagi dengan masa kejayaan Orientalisme di mana Snouck Hurgronje, penasihat kebijakan kolonial Hindia Belanda, adalah salah satu pelopornya.

    Buku ini merupakan riset Hadiz beberapa tahun sebelumnya, sehingga cukup update dari sisi pendekatan komparasi dengan dua negara lainnya. Lagian, buku ini terbit di saat yang “tepat”, dalam konteks Indonesia, terkait dengan gelombang gerakan kaum Muslimin yang bereaksi terhadap kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki T. Purnama, calon gubernur pentahana DKI Jakarta.

    Beberapa Poin Rangkuman

    Dengan sembilan bab sepanjang total hampir 190 halaman, bangunan argumentasi Hadiz memberikan konteks kesejarahan, dalam beberapa hal mengulas genealogi, melakukan komparasi perkembangan gerakan Muslim di ketiga negeri, dan menyoroti lebih dalam pada beberapa titik kelok dari populisme Muslim. Kombinasi analisis sosiologi historis dan ekonomi politik merajut berbagai pengetahuan sebelumnya dapat bermanfaat untuk mereka yang relatif awam mengenai gerakan Islam politik, terutama di Indonesia.

    Hadiz juga menyadari bahwa populisme sebagai sebuah fenomena politik yang sulit didefinisikan. Studi yang mulai dipopulerkan oleh Ionescu dan Gellner, dan kemudian Canovan diulas cukup baik untuk kemudian disandingkan dalam berbagai studi yang lebih kekinian seperti yang dibawa Laclau. Meski banyak mengamini Laclau yang lebih menekankan rantai ekuivalensi tuntutan-tuntutan yang berasal dari berbagai kelompok masyarakat sebagai pembentuk gerakan populis,2 Hadiz lebih menegaskan kemunculan gerakan populis sebagai produk perjuangan/pertarungan kontemporer atas kekuasaan dan sumber daya material sekaligus sebagai resultat dari konflik yang terjadi dalam berbagai konteks sosial dan historis.

    Argumen tersebut mengantarkan Hadiz kepada satu kesimpulan yang kemudian menjadi pisau analisis dalam buku ini, yaitu populisme sebagai sebuah gerakan lintas kelas sosial yang asimetris. Menurutnya, dalam gerakan populis ada berbagai kepentingan kelas yang bisa jadi antagonistik dan berbeda tingkat artikulasinya.

    Dengan perspektif demikian, Hadiz memaparkan kemunculan populisme Muslim sebagai warisan dari kebangkitan gerakan Pan-Islamisme yang muncul pada awal Abad 20 seiring dengan memudarnya Kekaisaran Utsmaniyah. Tema sentral dari gerakan tersebut adalah pembangunan ummat demi munculnya jaman kejayaan Islam. Hadiz menggarisbawahi bahwa kemunculan gerakan tersebut sebagai reaksi terhadap dua hal. Pertama, “Dominasi Barat” yang pada saat itu direpresentasikan oleh masifnya kekuasaan kolonial negeri-negeri Eropa yang menjajah Afrika dan Asia. Kedua, “Pengaruh Barat” dalam bentuk gaya hidup, sistem nilai bahkan ideologi dan sistem politik/ekonomi seperti kapitalisme, sekularisme, pluralisme dan demokrasi.

    Dalam pandangan Hadiz, kristalisasi gerakan politik Islam terjadi pasca Perang Dunia II di mana ide-ide Pan-Islamisme bergerak ke latar belakang sementara panggung dikuasai oleh ide-ide nasionalisme dan sosialisme. Dominasi kedua ide tersebut terlihat di negeri-negeri Arab, Afrika Utara, dan Indonesia. Kristalisasi gerakan berada di dalam masa kekuasaan otoriter/represif seperti dalam kasus gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir ataupun penumpasan DI/TII dan pembubaran Masyumi pada windu terakhir kekuasaan Sukarno.

    Bekas mendalam yang sama di satu sisi juga ditinggalkan oleh desakan-desakan modernisasi, namun di sisi lain juga oleh pendalaman konflik Perang Dingin di negeri-negeri Dunia Ketiga menyebabkan pertarungan keras antara kelompok-kelompok politik Islam/Muslim dengan kelompok-kelompok Nasionalis/Kiri. Runtuhnya gerakan Kiri juga membuat negara-negara tersebut kembali melakukan represi terhadap politik Islam. Dengan tekanan-tekanan modernisasi yang memperbesar ketimpangan sosial dan ekonomi dan represi negara, terjadi penguatan makna ummat menjadi dekat dengan menjadi bagian dari massa tertindas. Menurut Hadiz, inilah yang menjadi landasan struktural populisme Islam.

    Bagian yang kemudian disorot adalah terkait dengan periode kebuntuan perjuangan Negara Islam, di mana kekuatan-kekuatan arus utama Islam (di Indonesia diidentifikasi sebagai jaringan NU dan Muhammadiyah) memilih untuk tidak terlibat di hadapan kekuatan koersif Negara. Kondisi tersebut mempersulit gerakan-gerakan politik Islam dan membuat mereka terpinggirkan dan menghadapi kebuntuan. Beberapa kelompok memilih jalan bawah tanah dan perjuangan bersenjata/kekerasan, sementara banyak lainnya berfokus pada aktivitas dakwah. Perbedaan-perbedaan yang terjadi kemudian mendorong fragmentasi gerakan menjadi organisasi-organisasi atau jaringan-jaringan yang lebih kecil dan lokal.

    Menariknya, Hadiz kemudian mengajukan studi kasus tentang perkembangan gerakan Darul Islam (DI) setelah kekalahannya di 1960an. Ia berpendapat bahwa DI memiliki pengaruh dan inspirasi yang sangat besar hingga sekarang. DI sendiri tidak ada bandingannya dalam komparasi dengan dua negeri lainnya dalam hal regenerasi dan diversifikasi jaringan turunannya (banyak di antaranya terlibat dalam konflik di Poso, Ambon, bahkan jejaring radikal/ekstrimis). Pada bagian ini, terlihat kaitan penting antara keturunan/keluarga anggota DI dengan jaringan/organisasi yang terinspirasi oleh DI. Namun sebagai catatan, problem inkoherensi dalam pewarisan ideologi membuat para “pewaris” cita-cita DI tidak mendapatkan posisi politik yang kuat.

    Sistem politik demokrasi yang berdiri sejak 1999 menciptakan sebuah tantangan baru untuk gerakan politik Islam. Namun sistem elektoral yang tersedia juga membuat mereka harus bersaing dengan sesama mereka sendiri maupun dengan partai-partai yang terkait dengan ormas-ormas Muslim arus utama seperti NU dan Muhammadiyah. Upaya representasi ummat ini pun pada akhirnya memperoleh 18% suara pada Pileg 2004, +/- 25% pada Pileg 2009 dan 31.5% pada 2014. Jika difokuskan pada partai-partai yang secara terbuka memproyeksikan ummat hanya mencapai 15% dari total suara 2014.3 Tercatat juga bagaimana langkah elektoral memiliki pengaruh dan kemenangan dalam politik, seperti perda-perda berbasis syariah. Akan tetapi, kompetisi elektoral, baik dengan partai-partai nasionalis maupun dengan partai-partai terkait arus utama Muslim, menyebabkan mereka memoderasi isu-isu ataupun propaganda/kampanye non elektoral mereka.

    Bersamaan dengan berjalannya demokrasi elektoral, pengaruh diskursus-diskursus ekonomi dan pemerintahan yang beraliran Neoliberal juga meluas. Akses yang baru diperoleh dari politik elektoral/kepartaian juga telah menumbuhkan pengusaha-pengusaha baru, meskipun tidak sebesar para pebisnis besar. Pada abad 20, gerakan politik Islam dekat dengan proteksionisme sebagai alat pelindung kepentingan ummat. Meskipun tetap menyuarakan penolakan/perlawanan, berbagai pimpinan politik dan bisinis Islam juga memperlihatkan penerimaan dan mencari peran-peran baru di luar dari sebagai “korban” globalisasi. Hadiz, mengutip Mohamed Nour, juru bicara Partai Al Nour Mesir yang juga pengusaha teknologi perangkat lunak, tidak selamanya politik Islam bertentangan dengan kapitalisme. Pandanganini menyatakan bahwa etika Islam dapat berperan dalam mengendalikan kerusakan kapitalisme, dalam bentuk bisnis yang bernuansa nilai-nilai Islam. Di Indonesia, salah satu pimpinan politik Islam yang diwawancarai Hadiz malah menyatakan dukungannya untuk bergabung dalam sistem ekonomi kapitalis dunia melalui pengembangan bakat-bakat wirausaha dari ummat.

    Satu catatan kesimpulan yang penting dari buku Hadiz ini adalah tingkat adaptasi yang diambil oleh berbagai aliran dalam politik Islam untuk masuk ke dalam politik elektoral yang sekuler dan terlibat dalam neoliberalisme global. Di lain pihak, kondisi kerentanan akibat kebijakan-kebijakan neoliberal, yang notabene di mana partai-partai politik Islam terlibat di dalamnya, juga berkontribusi di dalam tendensi populis di masyarakat. Kerentanan ini pada akhirnya akan menjadi ruang beroperasinya lembaga-lembaga amal dan kemanusiaan yang baik langsung maupun tidak langsung terafiliasi dengan gerakan politik Islam.

    Menimbang Pendekatan Sosiologi Historis dan Ekonomi Politik dalam Mengkaji Populisme

    Mengamini pembahasan Hadiz dan banyak peneliti/penulis sebelumnya seperti Laclau, populisme sebagai sebuah fenomena politik memang sulit didefinisikan. Ide-ide yang banyak diekspresikan sebagai pendefinisian populisme juga memiliki ambiguitas. Semisal kata Demokrasi yang memiliki akar demos yang berarti rakyat dalam bahasa Yunani. Populisme memiliki akar bahasa Latin dari populus. Keduanya sama-sama berarti rakyat, namun memiliki nuansa politik yang berbeda. Demos memiliki nuansa mulia/noble sedangkan populus lebih bermakna gerombolan/mob.

    Momen-momen kesejarahan populisme juga bervariasi bentuk, proses terjadi, dan kelompok sosial konstitutifnya. Kasus-kasus klasiknya misal di Rusia dengan Narodnaya Volya yang merepresentasikan gerakan agraria di akhir abad 19. Di Amerika, di mana istilah populisme ini berasal adalah gerakan perlawanan petani atas kehancuran harga-harga dan mahalnya pinjaman dan transportasi, juga di akhir abad 19. Periode yang sama juga muncul dua gelombang populisme dengan Bonapartisme (Napoleon III) dan Boulangisme, di mana keduanya adalah resultat dari pertarungan tiga matra yaitu modal versus buruh, desa/tani versus kota, dan elit baru (borjuasi) versus elit lama (bangsawan).

    Yang membedakan pendekatan Hadiz dari literatur yang diulasnya dalam buku ini adalah terlihatnya Hadiz menempatkan populisme Islami sebagai sesuatu yang given, yang perlu dipotret melalui lensa Sosiologi Historis dan Ekonomi Politik, di mana tekanannya, seperti diulas pada bagian sebelumnya tulisan ini, adalah basis kelas konstitutif dan sumber pertarungan politik dan ekonominya. Meskipun cukup menarik dalam literatur tentang populisme hingga kini, pendekatan ini memiliki dua problem dalam analisis selanjutnya.

    Problem pertama, jika dilihat dalam uraian buku ini, banyak diskusi terfokus pada aktor politik (tokoh, organisasi politik) yang terlihat untuk mengkerangkakan mereka sebagai “kaum populis”. Sementara itu, tidak cukup perhatian diberikan kepada fenomena dan dinamika gerakan sosial/politiknya. Akibatnya, potret yang muncul adalah sebuah gerakan sosial dan politik yang terus menerus ada di ketiga negara dan menggabungkan dan sekaligus mengaburkan berbagai tipologi gerakan seperti ekstrimisme, radikal, moderat, dan “imitasi” ke dalam satu keranjang. Padahal, jika ditilik tidak seluruh kontinum waktu tersebut terdapat momen populis ataupun, seperti kasus DI, setiap periode dan diversifikasi gerakan memiliki karakter/kampanye dan ideologi/propaganda yang berbeda dan belum tentu dapat dikatakan populis.

    Problem kedua, meski tetap penting kombinasi kedua pendekatan tersebut untuk memberikan perspektif dalam menghadapi secara material dan strategis, namun tidak cukup memberikan gambaran atas dinamika gerakan populis dalam sebuah momentum politik. Ini terlihat dengan kurangnya elaborasi terkait dengan konsep dan signifikansi dari ummat. Narasi tentang ummat adalah sebuah proyeksi yang suka atau tidak suka dekat dengan konsep bangsa atau nation dalam nasionalisme. Pada konsep ummat lah kita dapat menakar kapan politik Islam adalah sebuah gerakan populis, kapan ia menjadi kontribusi khazanah politik, dan kapan ia hanya menjadi politik sektarian.

    Untuk catatan penutup, ada baiknya kita melihat pendekatan lain dalam mencoba menjelaskan populisme. Dorna4, misalnya, dalam upaya memberikan perspektif psikologi politik mengajukan karakterisasi dari populisme sebagai berikut.

    Proposisi Dorna dimulai dari argumen bahwa kecenderungan populis ada di dalam setiap demokrasi. Munculnya gerakan populisme adalah pertanda dari krisis. Maka wajar gerakan tersebut akan lebih bersifat emosional, dan mensyaratkan penyelidikan dari dimensi psikologis.

    Sebagai respon atas adanya krisis, populisme sebenarnya adalah kritik terhadap status quo. Ia adalah bentuk kemarahan dan ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga (negara) yang dianggap busuk atau korup. Ketika kelembagaan yang ditolak, ini berarti juga termasuk tokoh-tokoh dan mekanisme politik di dalamnya. Ini yang menyebabkan pembesaran gerakan populisme akan diiringi oleh kemunculan seorang pemimpin yang kharismatik.

    Dalam banyak hal, agenda politik yang menggerakkan massa adalah isu-isu yang muncul dari dinamika politik dan bukan program politik yang terdefinisi dengan baik. Mirip dengan nasionalisme, khususnya dalam argumen Imagined Communities Ben Anderson, populisme adalah momen gerakan yang disokong oleh adanya industri media (cetak). Karena itu, dibandingkan ideologi dan program politik, kekuatan dan raison d’être dari populisme adalah seruan (mobilisasi) kepada rakyat.

    1. Hadiz, V. R. (2016). Islamic populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press.
    2. Laclau, E. (2005). On populist reason. London: Verso, hal 129-148.
    3. Hadiz menggunakan kategori “pureIslamic Parties yang diadopsi dari Alamsyah, Andi Rahman. (2013). ‘Islamic Parties at an Impasse, Need Reform to Avoid the Worst’, Jakarta Post, February 25, www.thejakartapost.com/news/2013/02/25/ islamic-parties-impasse-need-reform-avoid-worst.html
    4. Dorna, A. (2004). De l’âme et de la cité: Crise, populisme, charisme et machiavélisme. Paris: L’Harmattan
  • Taming the Leviathan

     

    Indonesia’s Presidential Election 2014 is probably a landmark moment in the country’s democracy. Never before in the last decade saw a big surge of public political participation. Thousands of volunteers’ organisations from villages to the national stage sprouted like mushrooms in rainy seasons. A combination between the hope of a new beginning and the fear of past dictatorship propelled the apolitical citizens to take side in supporting the winning pair Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

    New Governments are usually expected to bring breakthrough in governance and public life. During the Presidential Race, campaign promises attracted Indonesian voters in terms of change in people’s welfare: health, education and income. Those appeals articulated the new hope and the votes of 9 July 2014. But questions remain: What the winners of the race will actually deliver? What changes will arrive before 2019? How civic engagements of CSOs can push more social, political and cultural changes through the new government?

    The Electoral Balance of Power

    Before we can answer the questions, we have to do a quick scan of the political balance in Jakarta.The President and Vice President are supported by a minority coalition. The four parties (PDI-P, NASDEM, PKB and HANURA) represents only 37% of parliamentary seats elected in April 2014. However, the pair managed to garner 53% of popular votes. This means that while the new Chief of State won the public support, he will face a relatively hostile Parliament.

    This is seen during post-election politics: the outgoing parliament managed to pass two controversial bills (Law on The Peoples Assembly, House of Representatives, House of the Provinces’ Representatives, and Local House of Representatives – or UU MD3, and Bill on The Elections of Provincial and District/Municipal Governments – or UU PILKADA). The two bills are clearly beneficial to the Coalition Opposition (Coalition Red-White, KMP) who controls the national and local parliaments. Through UU MD3, the opposition managed to secure the leadership of the Parliament. UU PILKADA eliminates direct local government elections and gives the mandate to local parliaments to elect local leadership. UU PILKADA, however, is not successful as it was vetoed by the outgoing President Yudhoyono.

    The continuing debates and protests on UU PILKADA also highlight the power structure that will facilitate or hinder the success of the new government. First of all, Indonesia is not a federal state but a unitary state. Thus, the new government’s successes rely on how its policies and programmes are implemented by the provinces (level 1) and districts and cities (level 2) in the highest coherent and integrated manner. One of the main challenges is that the local governments are not controlled by the same ruling coalition, and the binary relationship of government-opposition is not translated in the same manner at the provinces and districts/cities. A governor in a Sulawesi province might be coming from the party that is part of the opposition coalition, but his/her election was supported by parties coming from both ruling and opposition coalitions in Jakarta. And starting in 2015, the race to control the provinces, districts and cities will start. As stated by the National Election Commission, 214 regional head elections will be conducted in that year alone.

    Taming the Leviathan (or the “Deep State”)

    Besides the balance of power at the national and local level, there is also another important feature of contemporary Indonesia’s democracy. The transition to democracy, started in 1998, has also a focus on the bureaucracy reform. A professional, clean and impartial bureaucracy force has been in the vision The reform itself was implemented in many ways, such as the creation of Ombudsman Indonesia, the Anti-Corruption Commission, and more recently, the Law of National Civil Apparatuses.

    Jokowi has a strong track record in driving the bureaucracy reform in Solo and Jakarta. On the other hand, the bureaucracy both at the center and in the regions also have a track record of, often in subtlety, sabotaging the government agenda that they consider not in their favor. It happened in the Habibie, more severe in the successive terms of Wahid (1999-2001), Megawati (2001-2004) and Yudhoyono (2004-2014). From this side of the political landscape, it is equally naive if we expect Jokowi-JK administration running the business as usual scenario in fulfilling their campaign promises.

    At least there are four strategic complexities faced by Jokowi-JK to run the government:

    The first complexity is related to the regulatory barriers successfully enacted by the key bureaucrats to limit bureaucratic reform. One example is the case of the Civil Law of the State Apparatus. Efforts to encourage the formation of a competent bureaucracy and a merit system based on competence and performance are diluted by the interests of key bureaucrats. They want to perpetuate a bureaucracy model based on seniority and other formal aspects.

    This complexity has a serious impact in the performance of the new government after 20 October 2014. The President and the ministers, who are the State’s executive, would have difficulties to quell the resistance from senior bureaucrats in the ministries. As previously stated, the bureaucrats have track record of sabotage. And the only way to eliminate the resistance by replacing those senior officials is also made ​​more difficult. The replacements must have sufficient seniority. The government will also face difficulties to cut sectoral ego in the ministries, with their silos or small kingdoms, which has been making the government inefficient and wasteful due to inability to operate across ministries and to reduce overlaps.

    The second complexity is born from the pattern of regional autonomy. As mentioned earlier, the programs of Jokowi-JK must be synchronized by the programs that are currently running in 511 districts and 34 provinces and cities. Two key Jokowi-JK flag campaign promises, Smart Indonesia Card and Healthy Indonesia Card (basically cash transfer programs related to health and education), require strong coordination between several ministries in the central government and relevant regional departments to implement the dissemination, planning, and execution of the two programs.

    The reduction and conversion of fuel subsidies in the transport sector clearly needs a big role the provincial and district/city governments to make sure the shock of the fuel subsidy reduction can be isolated. In the current pattern of regional autonomy, it is inconceivable how the central government bureaucrats described above can ensure adoption. We can see an example, how the central government failed in pushing the Government of DKI Jakarta under Fauzi Bowo to run 17 policy steps to reduce the Capital’s acute traffic jam. Most of those steps are finally implemented even after Jokowi elected in 2012.

    The third complexity is the problem of legacy programs from Yudhoyono administration which are detrimental or potentially detrimental to the people’s welfare. We can see examples such as the presidential aircraft and Mercedes Benz for the ministers. They are a small sample and insignificant in comparison with some other programs such as the Master Plan for Acceleration of Indonesian Economic Development (MP3EI). Already hundreds of projects have been started by the umbrella of MP3EI Public Private Partnership with multi-year financing scheme. Also, social and ecological impact that occurs in these projects will be a stumbling block on the course of the next administration.

    MP3EI legacy projects will also reduce the fiscal space. Until now, the observations made by some non-governmental organizations, government participation is still much larger than the expected private capital in PPP. Most of the projects are actually financed by the public domestic and foreign debts.

    The fourth and last complexity is not less strategic. This problem lies in the dominant narrative and discourse in the role of the state which has now been adopted by the bureaucracy, they are both reformers and conservatives.

    Previously, the logic of bureaucracy are in ideological veil of mengayomi or “nurturing”. The bureaucracy considers itself as higher, more knowledgable, more competent than the people, thus it devotes itself to guide the people. The problem is, the people at that time did not have the right to know how the bureaucrats and their cronies enriched themselves from pengayoman or “the nurture”. Today, amid the public pressure and scrutiny, the bureaucracy has found a new veil, the “empowerment”. Previously, the State was responsible of everything. Now, the State is responsible for fewer things as needed, because the people need to be empowered. By this logic, the role of the State is minimized and service delivery roles are handed back to the people through market mechanism.

    This means, the ideology of government Jokowi-JK with the agenda Nawa Cita (in short, a strong and present State) will face two opponents and competitors: the ideology that thinks the public goods should be managed by market mechanism (adopted by the reformists) and the ideology of a bureaucratic regime who is busy saving its own interests. These three perspectives of political interests will obviously make difficult policy formulation. It is very likely that the fight will not escalate into severe political crisis, but most likely this will make government policies incoherent, multi-interpretation and eventually ineffective.

  • Boulanger

    * Sebuah Catatan untuk Pemilu 2009

    Majalah Tempo edisi 27 Juli 2008 mengulas tentang tokoh-tokoh yang mengajukan diri sebagai kandidat Presiden RI pada Pemilu 2009. Empat di antaranya adalah pensiunan jenderal Angkatan Darat: Sutiyoso, Wiranto, Prabowo, dan Kivlan Zen. Tampilnya keempat tokoh militer ini akan menantang tentunya SBY yang akan maju kembali. Kehadiran mereka serasa mengingatkan kembali kepada sebuah kategori politik dalam gerakan pro-demokratik pra-kejatuhan Suharto: para kapitalis bersenjata. Penggolongan ini sangatlah kuat dalam desakan anti-militerisme dalam transisi demokratik di Indonesia, karena menyatakan bahwa Dwifungsi ABRI didasari oleh kepentingan bisnis para perwira tinggi dengan Jendral Besar Suharto sebagai puncak simbolisnya. Sorotannya juga tajam, menguak bisnis-bisnis para perwira, baik sebagai perseorangan maupun melalui yayasan/koperasi, yang ternyata memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan ekonomi Indonesia di jaman Suharto.

    Kemunculan para mantan perwira ini seperti menyimbolkan sebuah upaya untuk mengesahkan kembali peran militer secara personal dan institusional dalam politik sipil Indonesia. Mungkin ini semacam pembuktian kepada khalayak luas bahwa anti-militerisme itu sama sekali tidak beralasan dan salah, bahwa didikan militer adalah superior dibanding non-militer, bahwa Indonesia lebih baik dipimpin militer, dan seterusnya. Upaya ini semakin terlihat “janggal” dengan diambilnya Hugo Chavez, president Venezuela, sebagai perbandingan. Program-program Chavez yang kiri, dan didukung bahkan oleh sekelompok aktivis komunis (musuh militer Indonesia hingga saat ini), direpresentasikan sebagai “nasionalis”, untuk mematut-matut diri di hadapan para penentang kenaikan harga BBM.

    Tampilnya mereka dan kecenderungan mereka memanfaatkan “kebijakan tidak populer” SBY, membuat saya teringat seorang figur politik Perancis di masa Republik Ketiga: Jenderal Georges Boulanger.

    “Populisme Berpedang”

    Boulanger tampil mencuat di pentas politik Perancis pada awal periode Republik Ketiga (1871-1941), yang berdiri setelah kekalahan Perancis oleh Prusia (Jerman) dan di atas pembantaian rakyat Paris setelah dihancurkannya Komune Paris (1871). Ia juga termasuk dalam pimpinan militer Republik Ketiga di bawah komando Jenderal Patrice Mac-Mahon yang terlibat pembantaian tersebut. Dalam sebuah demokrasi parlementer yang mengakomodasi juga pelaku pelanggaran HAM (Mac-Mahon sempat menjadi Presiden sebelum 1879), Boulanger menjadi Menteri Peperangan pada masa kepresidenan Jules Féry (1879-1885), didukung oleh Partai Radikal.

    Masa akrab Boulanger dengan kelas politik Perancis berakhir ketika ia dipecat oleh PM Maurice Rovier karena melakukan provokasi perang terhadap Prusia, dengan ambisi untuk mengembalikan wilayah Alsace-Lorraine ke tangan Perancis. Akan tetapi sang jenderal sudah terlampau populer sebagai simbol pembela harga diri bangsa Perancis. Ia populer di mata buruh karena menolak menggunakan kekerasan dalam mengatasi krisis pemogokkan pada masa itu. Ia dipuja-puja oleh para prajurit rendahan karena melakukan serangkaian pembaharuan dalam sistem ketentaraan yang dianggap menguntungkan para prajurit. Massa rakyat yang masih dalam aura kekalahan Komune Paris seolah menemukan satria piningitnya, yang membela orang kecil dan sekaligus mengobati luka harga diri mereka sebagai bangsa yang diinjak-injak oleh tentara Jerman yang pada 1871 (sebelum Komune Paris berdiri) angkuh berparade di kota Paris, mendeklarasikan Kekaisaran Jerman di Istana Versailles, dan merampas Alsace-Lorraine.

    Tak mengherankan jika pada masa depresi ekonomi panjang (1880-1895) dan terpecah-belahnya kelompok kiri di tengah gelombang pemogokkan buruh, tokoh Boulanger diterima baik oleh banyak kelompok di kalangan radikal. Boulanger menjadi “tokoh alternatif”, dalam istilah terkini di Indonesia, koran-koran pada masa itu yang tidak puas dengan Republik Ketiga yang parlementer, yang tak habis-habisnya diwarnai skandal dan perebutan jabatan Perdana Menteri. Dan dipecatnya Boulanger menjadi sebuah momentum sebuah gerakan politik yang anti-elit, anti-parlemen, yang didukung oleh mereka yang keluar dari Partai Radikal, para pengikut Blanqui, dan tokoh-tokoh akar rumput di daerah-daerah yang secara tradisional republikan dan kiri. Liga Kaum Patriot yang beranggotakan 200.000 orang menjadi tulang punggung gerakan ini.

    Program Politik Boulanger dirancang oleh para pendukung radikalnya untuk menyatukan orang-orang yang kecewa dengan Republik Ketiga. Meskipun tidak begitu tajam, program ini menjadi senjata Boulanger untuk melawan pemerintah yang sedang buntu. Pada intinya adalah bagaimana mengubah konstitusi, dalam arti pembubaran parlemen dan revisi konstitusional melalui sebuah Konstituante. Namun karena dirancang oleh aktivis-aktivis politik veteran, refleksi yang mendasari program gerakan ini menyuarakan fakta-fakta aktual dan bukanlah dilakukan secara dangkal.

    Meskipun tampil sebagai bentuk protes massa rakyat terhadap elit politik, Boulanger sendiri mendapat dukungan dari kaum monarkis yang mencoba menghentikan laju republikanisme dan sisa-sisa pendukung Louis Bonaparte (Napoleon III) yang sebelumnya jatuh setelah bertekuk lutut di hadapan Prusia. Dengan dukungan uang kedua kelompok tersebut, caleg-caleg gerakan Boulanger dapat melakukan kampanye besar-besaran dan menang terpilih di berbagai kota Perancis. Rakyat yang marah dan berharap kedatangan satria piningit adalah pemilih mereka, sebuah hal yang umum dalam pertumbuhan gerakan populis. Engels, mengutip Bebel, sempat mencatat sebuah fakta: seorang kandidat sosialis hanya memperoleh 17.000 suara, sementara Boulanger memperoleh 244.000 suara.

    Kejatuhan Boulangisme

    Gerakan Boulanger tidak berusia panjang, tidak juga hidup sang jenderal.

    Elit yang berkuasa merasa terancam dengan agitasi gerakan ini yang meluas menjadi protes massa dan krisis politik, di mana intimidasi massa terhadap elit politik begitu besar dan pemogokkan demi pemogokkan terjadi di Paris. Di saat itu pemilu dua putaran terjadi di kota Paris, benteng kaum pertahanan kaum kiri dan republiken. Boulanger menang dengan 57% suara. Kepolisian dan birokrasi juga sudah kerasukan boulangisme. Muncul kesempatan untuk melakukan kudeta bergaya 18 Brumaire (yang dilakukan Napoleon Bonaparte dan diulangi Napoleon III pada 1852). Namun Boulanger tidak memanfaatkan situasi itu, entah karena kesetiaan pada janji republikanisme, ataupun kepercayaannya pada “keamanan dan ketertiban”.

    Dalam menunggu putaran kedua, kaum monarkis dan bonapartis mulai merasa tidak nyaman dengan situasi dan massa radikal ini. Upaya Boulanger untuk menenangkan mereka malah mengakibatkan pendukung lainnya merasa sebal. Melihat kesempatan ini, pemerintah berkuasa serta merta meningkatkan tekanan terhadap Boulanger. Ia dituduh melakukan persekongkolan melawan Negara, korupsi, dan gangguan terhadap keamanan. Dengan pikiran untuk dapat mengendalikan pertarungan elektoral dengan tenang, Boulanger mengasingkan diri ke Belgia.

    Tekanan dari pemerintah semakin kuat, membuat para pendukungnya semakin putus asa hingga menyebarkan tuduhan bahwa pemerintah diisi oleh orang-orang Yahudi dan Freemason tanpa kesetiaan tanah air. Larinya sang jenderal ke Belgia juga meruntuhkan pandangan massa rakyat terhadapnya, dan seolah membuktikan segala tuduhan atas dirinya. Kewarganegaraan Boulanger kemudian dicabut pemerintah sehingga tidak dapat dipilih rakyat, dan kaum monarkis menghentikan dukungan keuangan mereka menjelang putaran kedua pemilihan umum. Kontras dengan putaran pertama, hanya 40 pendukung Boulanger yang terpilih di Parlemen.

    Pada tanggal 30 September 1891, Georges Boulanger mengakhiri hidupnya dengan pistol di Brusel, di atas makam kekasihnya yang meninggal satu bulan sebelumnya.

  • Keresahan Rakyat, Populisme, dan Fondasi (Baru) Fasisme di Indonesia

    Roysepta Abimanyu*

    Delapan tahun sudah transisi demokratik berjalan di Indonesia. Tuntutan demi tuntutan demokratik dan kerakyatan sudah dikedepankan dan mampu meruntuhkan simbol-simbol kekuasaan otoritarian yang sebelumnya seperti tak tersentuh. Sampai tahun 2003, Soeharto menjadi tuntutan yang ditagih berbagai macam kelompok rakyat. Dwifungsi militer telah disoroti sedemikian rupa sehingga tanpa campur tangan Amerika Serikat dan Perang Global Kontra Terorisme, mustahil Angkatan Darat Indonesia dapat mengirimkan kembali Bintara Pembina Desa ke kehidupan masyarakat.

    (more…)