Tag: Transisi

  • Miskinnya Imajinasi Politik Kita

    Catatan: Tulisan ini dibuat sebagai coret-coret pasca Pileg 2009 dan sebelum Pilpres 2009, dalam kesimpulan bahwa banyak survei politik dan analisa hasil Pemilu, atau analisis kuantitatif dalam studi politik, memiliki kerentanan kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Problem atribusi adalah salah satu akarnya, di mana kemungkinan penyebabnya adalah kemiskinan imajinasi politik. Karena coret-coret, membaca tulisan ini memerlukan kehati-hatian.

    (more…)

  • Pengantar Diskusi Ekonomi, Politik, dan Filsafat Pelurusan Sejarah dalam Masyarakat Transisi

    Latar Belakang
    Dalam Nineteen Eighty-Four, George Orwell mengisahkan Winston Smith yang bekerja untuk Kementerian Urusan Kebenaran (Ministry of Truth). Tugas Smith adalah “menyesuaikan” arsip-arsip sejarah dengan garis pemerintah yang berkuasa. Ia mengganti isi kalimat dan bahkan menghilangkan orang-orang tertentu dalam foto-foto sejarah. Sebagaimana telah diketahui luas, praktek “merekayasa” sejarah inipun tidak terlepas dalam berbagai rejim penguasa dan Rejim Orde Baru adalah salah satu yang mempraktekkan hal ini.

    (more…)

  • Parpol lokal, sejauh mana demokratisasi akan dibawa?

    * Sebuah pengantar untuk diskusi Asikbaca (kelompok pembaca di Banda Aceh)

    MoU Helsinki membawa sebuah dampak perluasan demokrasi di Indonesia. Untuk pertama kali sejak demokrasi parlementer ditutup oleh dekrit presiden 1959, partai lokal kembali mewarnai politik negara ini.

    Meski hanya dibuka di Aceh, partai lokal setidaknya membuka kesempatan untuk aktor-aktor politik yang sebelumnya bermain di luar pertarungan elektoral di Aceh. Jika sebelumnya pilkada Aceh telah dimenangkan oleh kandidat independen, yang sebelumnya di luar jejaring oligarki warisan ORBA, partai lokal di Aceh membawa lebih banyak lagi aktor yang sebelumnya ekstra parlementer (dan bermakna di luar oligarki) namun sekaligus juga komponen oligarki yang melakukan reposisi elektoral.

    (more…)

  • Oktober 1965: Ramai-ramai Menggadai Kedaulatan Politik Luar Negeri

    MENYEBUT Gerakan Tiga Puluh September (G-30-S), tanpa menyertakan nama Partai Komunis Indonesia (PKI), rupanya selalu membuat gatal telinga sastrawan Taufik Ismail. Atas desakkannya (dan tentunya segolongan orang semacam beliau), Departemen Pendidikan Nasional membatalkan kurikulum pengajaran sejarah tahun 2004 dan menarik buku-buku pelajaran sejarah. Taufik Ismail dikabarkan juga, telah menerbitkan sebuah buku yang isinya diperkirakan membeberkan “dosa-dosa” komunisme.
    (more…)

  • The Revolution Will Not [Only] Be Televised

    The revolution will not be right back after a message
    about a white tornado, white lightning, or white people.
    You will not have to worry about a dove in your
    bedroom, a tiger in your tank, or the giant in your toilet bowl.
    The revolution will not go better with Coke.
    The revolution will not fight the germs that may cause bad breath.
    The revolution will put you in the driver’s seat.

    The revolution will not be televised, will not be televised,
    will not be televised, will not be televised.
    The revolution will be no re-run brothers;
    The revolution will be live.

    (The Revolution Will Not Be Televised, Gil Scott-Heron)

    Penyair, musisi, dan rapper Gil Scott-Heron berada dalam gelombang gerakan Black Power ketika menulis lirik lagu di atas. Saat itu, akses informasi melalui televisi begitu terbatas untuk kelompok-kelompok perlawanan terhadap Pemerintah AS. Scott-Heron seperti menyerukan, “Persetan dengan televisi, Buat Revolusi Jalanan.”

    Puluhan tahun setelah lagu tersebut pertama kali dinyanyikan, muncul film yang berjudul sama. Ceritanya mengenai bagaimana stasiun-stasiun televisi memanipulasi berita demi mendukung kelompok-kelompok yang sempat menggulingkan pemerintahan Hugo Chavez Frias. Judul tersebut memang terasa pas, apalagi ketika peristiwa aksi massa yang menuntut Chavez dikembalikan ke Istana Presiden Miraflores dan kehadiran kembali Chavez tersebut tidak diberitakan oleh stasiun-stasiun televisi yang mendukung kudeta. Malahan, RCTV, stasiun televisi swasta terbesar dan tertua di sana, memilih menayangkan film animasi, telenovela dan film-film lama seperti “Pretty Woman”. ((Bart JONES, “Hugo Chavez versus RCTV”, website Los Angeles Times))

    Scott-Heron mungkin saat itu tidak menduga bahwa Televisi kemudian menjadi sebuah wilayah perebutan politik yang penting. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, jumlah pemirsa televisi melampaui ratusan kali jumlah pembaca berita tercetak (koran, majalah, internet, dan seterusnya). Televisi bahkan jauh lebih terintegrasi dalam kegiatan sehari-hari masyarakat. Di Venezuela, protes para pendukung RCTV yang cukup besar melalui demonstrasi-demonstrasi kelas menengah (diwarnai oleh mahasiswa) menunjukkan kesulitan mereka melepaskan diri dari siaran-siaran RCTV dibandingkan pertautan ideologis mereka terhadap kebebasan pers. Di titik inilah, nampaknya tepat slogan yang disampaikan oleh Blanca Eekhout, “Don’t watch television, make it!”. Eekhout adalah direktur stasiun Vive TV milik pemerintah yang berdiri tahun 2004 dan isi siarannya seputar tema-tema kebudayaan.

    Berebut Televisi, Pertarungan Kekuasaan
    Tak seperti media cetak dan internet, media televisi dan radio memiliki sebuah perbedaan khusus. Keduanya dibatasi oleh pembagian (alokasi) frekuensi. Kemenangan dalam pertarungan memperebutkan kendali media televisi dan radio menjadi mirip dengan perebutan wilayah, dengan pihak yang kalah kehilangan atau berkurang ruang kekuasaannya. Dan hal ini sudah berlangsung cukup lama untuk kelompok-kelompok yang termarjinalkan. Di media cetak dan internet, mereka lebih mudah membangun corong baru. Koran dibredel, bisa dibangun koran bawah tanah atau berpropaganda di internet.

    Namun, pada pertarungan memperebutkan frekuensi penayangan televisi dan radio, kelompok-kelompok dari kelas-kelas tertindas harus menggunakan kekuatan fisik mereka, bahkan kadang dengan ekstrem mengandalkan pertunjukkan kekerasan fisik untuk mendapatkan porsi yang cukup agar suara mereka terdengar. Kita tentunya masih ingat, peristiwa demi peristiwa penggunaan kekerasan oleh aksi massa dalam melawan blokade aparatus rejim Soeharto, yang membuat pimpinan-pimpinan media massa tak mampu lagi melakukan self-censorship. Akibatnya, imaji kedigdayaan militer dan Soeharto runtuh dalam efek domino yang berakhir dengan Soeharto dipaksa mundur oleh orang-orang yang dua bulan sebelumnya mengelu-elukannya dan memilihnya kembali pada Sidang Umum MPR Maret 1998. Ada pula aksi-aksi massa yang berujung kepada pemaksaan penyiaran di stasiun-stasiun RRI di berbagai ibukota provinsi.

    Semenjak alokasi frekuensi ditentukan oleh sebuah badan negara, tak dapat dilupakan bahwa pertarungan tersebut berada dalam kerangka struktur legal kenegaraan. Dalam sebuah negeri yang orientasi kekuasaannya membela kepemilikkan pribadi atas aset-aset terbatas yang menguasai hajat hidup orang banyak, dapat dipastikan bahwa suara kelas-kelas tertindas tidak akan memiliki kesempatan untuk didengar bahkan oleh kelas-kelas itu sendiri.

    Tetapi Venezuela adalah negeri yang berbeda. Meskipun dibatasi oleh penentangan-penentangan kelas-kelas penguasa modal, negara Venezuela memiliki komitmen untuk memperjuangkan kepentingan kelas-kelas yang ditindas oleh rejim sebelum Chavez: kaum tani, kaum buruh dan miskin kota yang sebagian besar adalah berasal dari ras non kulit putih. “Merelakan” satu stasiun televisi swasta yang dikenal dengan sensasionalisme, gaya hidup telenovela, dan menyuarakan rasisme tersembunyi tampaknya lebih cocok dipandang sebagai langkah menyeimbangkan pertarungan politik (antar kelas) on air dibandingkan sebagai upaya membungkam kelompok-kelompok oposisi. Lagipula, RCTV masih bebas bersiaran di jaringan TV kabel, yang juga merupakan media pilihan keluarga-keluarga kelas menengah di berbagai negeri dunia ketiga.

    Kebebasan (Meng-)Informasi
    Mereka yang memprotes “pembredelan” RCTV, seperti Dr Rainer Adam dan blog www.kedai-kebebasan.org, menutupi sebuah fakta bahwa kebebasan informasi juga berarti kebebasan berekspresi. Artinya setiap orang, selain bebas memperoleh informasi, juga berhak memberikan informasi. Jika semua kanal siaran televisi dikuasai oleh korporasi-korporasi besar dan stasiun-stasiun televisi negara hanya menyuarakan kepentingan rejim yang berkuasa, di manakah kesempatan untuk rakyat biasa, yang kini mulai menyerap sedikit demi sedikit teknologi penyiaran karena produksi massal? Harga sebuah kamera video digital tidaklah semahal sebuah kamera televisi pada dua puluh tahun yang lalu (tentunya dihitung dengan paritas daya beli, PPP).

    Dalam konteks negara maju, mungkin persoalan ini tidak terlalu masalah dengan adanya konsep Web 2.0 di mana setiap orang bisa mengekspresikan dirinya di dalam website, blog, youtube, dan seterusnya. Namun dalam konteks negara berkembang, yang sebagian besar rakyatnya belum memiliki jalur internet untuk berekspresi, kanal-kanal publik televisi dan radio adalah jawabannya. Dan kehendak ini begitu besar, dengan derasnya alienasi dalam lingkungan kerja oleh kapitalisme, sehingga menjadi satu pasar tersendiri: menjamurnya reality show, acara yang sangat memanipulasi keinginan orang atas popularitas. Apakah para “pembela kebebasan informasi” tersebut lebih memilih acara-acara reality show tersebut daripada beberapa kanal publik yang membuka kesempatan untuk produser-produser acara independen dan merakyat? Kebebasan meng-informasi untuk pengusaha rasis-seksis yes!, untuk film-film buatan rakyat jelata no!, itukah slogan sesungguhnya para pembela kebebasan informasi?

    Merebut Televisi
    Pertarungan kelas dalam memperebutkan kanal siaran publik di Venezuela membawa kita ke sebuah pelajaran yang lain. Gerakan Kiri Indonesia seperti selalu bergerak di pinggiran pertarungan. Slogan-slogan revolusioner dicoretkan di tembok-tembok di pinggir-pinggir jalan protokol yang setiap saat bisa ditutupi cat oleh rejim ataupun pemilik rumah yang sebal. Selebaran-selebaran yang berfungsi hanya sehari, dan koran-koran organisasi yang menjangkau hanya 5000 orang saja. Ketika ingin
    berbicara dengan massa rakyat yang jumlahnya ratusan juta, perlu bersusah payah mengumpulkan puluhan ribu orang untuk mendapatkan liputan sekian menit di televisi nasional, syukur-syukur bisa diundang dalam talkshow televisi atau radio. Efek komunikasinya, raib dalam satu dua hari – kecuali memang suasana politiknya sudah benar-benar matang.

    Sebelum 1998, pemutar DVD dan VCD belum menjamur seperti sekarang, kamera handycam masih begitu merepotkan dan mahal untuk menggandakan hasilnya, dan pertukaran informasi tertulis baik elektronik maupun tercetak masih dibatasi oleh sensor rejim. Namun sekarang? Sembilan tahun yang penuh percepatan di media.

    “Don’t watch television, make it!” Kalimat ini betul-betul luar biasa. Anda bisa bayangkan kalau kelompok-kelompok tani bercerita mengenai kemauan mereka di televisi menurut versi mereka sendiri? Atau daripada menonton sinetron yang gambarnya cuma mimpi-mimpi menjadi orang kaya, orang menonton cerita-cerita rakyat dan revolusi di belahan dunia lain? Atau film dokumenter tentang sejarah perlawanan rakyat? Atau juga parodi para politisi dari berbagai wilayah Indonesia? ((Pemerintah di Eropa pada abad 19 sangat takut dengan pertunjukkan boneka semacam guignol perancis, karena membuat orang mentertawakan kerajaan dan menggulingkannya))

    Namun langkah menuju membuat televisi mungkin masih agak jauh. Gerakan kiri harus mempersiapkan pengambil alihan televisi dengan memikirkan dan membangun media alternatif seperti podcast, film komunitas yang disebarkan dalam bentuk VCD atau DVD, siaran-siaran radio melalui internet, dan seterusnya.

    The Revolution, brother Gil, will not only be televised.

  • Mayor Alfredo

    Nanti malam (Kamis, 24 Mei 2007), acara Kick Andy di Metro TV akan menghadirkan Mayor Alfredo. Ia adalah salah satu tokoh kunci dalam serangkaian kerusuhan yang diakhiri dengan dicopotnya Mari Alkatiri dari posisi Perdana Menteri Timor Leste. Mayor Alfredo hingga saat ini dinyatakan buron oleh Pemerintah Timor Leste. Talkshow ini mungkin bisa menjadi update atas dua tulisan saya sebelumnya (Setelah Dekolonisasi Dili dan Representasi Berbahaya).

    (more…)

  • Setelah Dekolonisasi Dili

    Gerombolan-gerombolan pemuda berparang berkelana di jalan-jalan kota Dili, Timor Leste. Pembunuhan, pembakaran, penjarahan terjadi di berbagai pelosok kota. Kantor-kantor pemerintahan tak luput dari gelombang kekerasan. Unit-unit militer dan polisi negara, yang mestinya mengendalikan situasi, justru malah berbaku tembak.

    (more…)

  • Adili Soeharto, Evaluasi Perkembangan Historis Indonesia

    Melihat perkembangan dalam berbagai kolom opini dan pernyataan tokoh-tokoh di beberapa media massa saat ini, ada kesan bahwa perbincangan yang paling mendominasi adalah di seputar dua persoalan: penegakkan hukum dan etika-moralitas. Di hadapan para pembaca, pihak yang mengamini penghentian proses hukum atas Soeharto dan yang menolaknya sama-sama mengajak ke arah pertimbangan baik-buruk, adil-tidak, bahkan sampai ke persoalan jasa dan dosa Soeharto sebagai Presiden.
    (more…)