Melihat perkembangan dalam berbagai kolom opini dan pernyataan tokoh-tokoh di beberapa media massa saat ini, ada kesan bahwa perbincangan yang paling mendominasi adalah di seputar dua persoalan: penegakkan hukum dan etika-moralitas. Di hadapan para pembaca, pihak yang mengamini penghentian proses hukum atas Soeharto dan yang menolaknya sama-sama mengajak ke arah pertimbangan baik-buruk, adil-tidak, bahkan sampai ke persoalan jasa dan dosa Soeharto sebagai Presiden.
Tak kalah mengesankan beberapa pernyataan yang tercuat di media massa. Marilah ampuni beliau untuk keselamatan bersama, begitu ucapan seorang tokoh agama. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono bahkan menyatakan dia akan mengambil sikap “seperti yang ada dalam pepatah Jawa, mikul dhuwur mendhem jero (memikul tinggi-menanam dalam-red) dalam menyelesaikan kasus mantan Presiden Soeharto.” (Kompas, Senin, 22 Mei 2006)
Pengadilan Soeharto kemudian dikaitkan dengan upaya rekonsiliasi nasional, maaf-memaafkan yang kesan substansialnya adalah dalam frasa “menutup buku lama, membuka lembaran baru”. Ide-ide yang berkembang bahkan sampai kepada pengeluaran keputusan presiden berupa abolisi terhadap proses hukum terhadap Soeharto. Tekanan yang diberikan dalam hal ini adalah bahwa Presiden Yudhoyono tidak mau menyalahkan atau menganggap salah para penduhulunya.
Gambaran Yang Lebih Besar
Mungkin karena bobotnya sebagai mantan Kepala Negara dari Indonesia, terkesan adanya personifikasi yang kuat sejarah masa lalu dalam diri Soeharto. Itulah sebabnya pengadilan atas Soeharto menjadi pusat perhatian yang besar, terlepas dari peran media massa yang mengemasnya. Namun, ada sebuah alasan yang malah kurang diangkat: keberanian mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Negara dan aparaturnya, yang dipimpin Soeharto, sedari awal Orde Baru berdiri.
Dalam bukunya yang berjudul Vive la Nation!, profesor emeritus Universitas Paris 8 dan pembaharu utama aliran geopolitik Perancis Yves Lacoste mendeskripsikan bahwa sebuah bangsa yang ingin menghindari kemunduran haruslah tetap memperjuangkan nilai-nilai universal dan fundamental yang telah menggerakkan banyak orang ke dalam sebuah ide-kekuatan geopolitik yang bernama nation atau bangsa.
Situasi penjajahan dan Perang Dunia II jelas telah membuat nilai-nilai kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan menggerakkan jutaan orang untuk suka rela mengorbankan segalanya demi sebuah ide geopolitik yang bernama Indonesia. Namun selama Orde Baru, dalamnya nilai-nilai tersebut tersebut begitu dikebirinya sehingga menjadi Pancasila yang setiap senin pagi diucapkan beramai-ramai oleh para pelajar SD hingga SMA. Universalitasnya dicerabuti sedemikian rupa dengan segala indoktrinasi pem-beo-an.
Wajarlah jika tertanam di kepala kita bahwa nilai-nilai yang telah diperdangkal tersebut hanyalah unik yang melekat di identitas ke-Indonesia-an kita. Wajarlah jika kemudian simpati atas kemerdekaan, empati terhadap keadilan, dan kemanusiaan kita juga hilang ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang berbeda ukuran moralitas ataupun dengan mereka yang tidak ingin lagi berbagi rumah yang bernama Indonesia.
Dibenamkannya ketiga nilai dasar dan universal itu setidak-tidaknya telah merusak perilaku Indonesia sebagai bangsa yang akan bergerak maju dengan belajar mengakui kesalahan masa lalunya.
Sampai saat ini tidak ada pengakuan resmi dan permintaan maaf dari Negara atas tindakan-tindakan yang dilakukannya sepanjang 1965-1998 terhadap mereka yang dituduh melakukan pemberontakkan pada Oktober 1965. Padahal yang dilakukan Negara jelas-jelas melanggar Hak Asasi Manusia dengan menjebloskan ratusan ribu orang ke dalam penjara dan kamp konsentrasi tanpa proses pengadilan yang jelas. Jangankan meminta maaf, beberapa elemen aparatur negara malah tetap mencurigai para orang-orang yang sudah berumur lanjut tersebut.
Negara Indonesia juga tidak pernah mengakui kesalahan atas penyerbuan dan pendudukkan yang dilakukannya terhadap bangsa Timor Leste, sebuah tindakan yang jelas-jelas melanggar kalimat yang membuka UUD 1945 dan asas non-intervensi yang menjadi komitmennya sejak Konferensi Asia-Afrika 1955.
Itu juga harus ditambah sederetan operasi-operasi militer, terbuka ataupun tertutup, terhadap mereka yang tidak sepakat dengan Soeharto dan para pejabat-pejabatnya. Begitu banyak daftar pelanggaran yang telah dilakukan Negara atas nilai-nilai yang dahulu mendirikannya. Apakah ini semua bukan kesalahan yang harus diakui secara resmi?
Sisi Praktis
Hal-hal tersebut di atas membuat proses hukum atas Soeharto, meskipun baru masih terbatas kepada kasus-kasus yang berhubungan dengan Korupsi-Kolusi-Nepotisme, tidak lagi sebatas persoalan antara tega-kasihan, adil-tidak adil, pengabdian ke politik atau ke hukum, yang semuanya masih pada tataran elementer. Pengadilan terhadap Soeharto bermakna pembukaan pintu terhadap pengakuan kesalahan-kesalahan yang dilakukan negara di masa pemerintahannya.
Dalam tataran praktis atas makna proses hukum Soeharto yang masih untuk kasus KKN yang dilakukannya, setidak-tidaknya bisa dibongkar lebih jauh bagaimana ia dan sekutu-sekutu ekonomi dan politiknya melakukan tindakan-tindakan yang merugikan negara. Karena bagaimanapun Soeharto tidaklah sendirian dalam memanfaatkan kekuasaannya, pastinya ada kolaborator-kolaborator terdekat selama kekuasaannya yang harus diperiksa sehubungan dengan kasus tersebut. Bukan tidak mungkin bahwa mereka juga diseret ke pengadilan, yang juga menyeret kolaborator-kolaborator lainnya. Dengan demikian, pembersihan negara dari unsur-unsur yang menegakkan rejim korup terlama di negeri ini dapat dilakukan.
Kedua, juga di tataran praktis, proses hukum tersebut juga harus diikuti dengan pembukaan di depan publik semua dokumentasi negara yang dapat diperoleh (jika ada dan tidak dimusnahkan) termasuk yang paling rahasia sekalipun atas segala keputusan-keputusan politik yang menyertai tindakan-tindakan KKN tersebut. Dengan begitu, masyarakat luas juga dapat mencatatkan dalam sejarah pemerintahan Soeharto dari sisi dalam, bukan sebatas lagi sisi luar yang selalu berhubungan dengan kekerasan.
Meski baru dari sisi tindakan KKN yang dilakukan oleh Soeharto saja sudah sekian banyak yang dapat dicatat dalam memori kolektif Indonesia, dipelajari dan dipahami bahwa pemerintahan seperti Soeharto harus dihindari, bahkan Negara yang dikuasainya harus dilawan dengan nilai-nilai universal dan fundamental yang dulu mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan. Generasi Indonesia di masa mendatang juga bisa berkata bangga, kami tidak akan mengulangi pemerintahan Soeharto lagi. Hanya keledai yang terperosok pada lubang yang sama.
Leave a Reply